Ketika saya memperbarui status facebook (FB) saya pada bulan September 2016, saya mengulas tentang proses demokrasi Pilkada serentak di Indonesia pada tahun 2017. Termasuk di dalamnya Pilkada pada beberapa provinsi. Saat itu yang saya ingat cuma Pilkada berlangsung di beberapa daerah, seperti Gorontalo, Banten, dan tentu saja DKI Jakarta.
Diskusi Berbau Politik di Medsos Akhir-akhir Ini
Sebenarnya sih jadi agak traumatis mengutarakan pandangan politik di media sosial seperti FB. Karena pandangan sebagian orang tentang politik itu ya politik praktis. Jadi pertanyaan orang akan langsung menukik, dan ngomong “oh, jadi lo dukung si anu??”.
Politik praktis ya ngga jauh-jauh dari proses Pilpres, Pilkada, partai apa menguasai posisi apa di DPR, koalisi partai apa saja yang pada akhirnya untuk mendapat posisi menteri yang mana-mana saja. Sebatas itu. Lalu pendidikan politiknya dimana? Ya cukup lewat talkshow seminggu sekali di TV Merah dan TV Biru, yang isi talkshow-nya bisa jadi debat kusir atau malah monolog dari salah satu pihak karena pihak lainnya dikeroyok argumennya.
Wajar juga sih, tidak banyak pilihan pada media massa yang mampu diakses oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Kebanyak media elektronik, yaitu TV. Selebihnya media online, yang kadang-kadang offside pemberitaan-nya. Paham kan ya seringnya offside media online? Macam waktu Ahmad Dhani dibilang akan “potong burung” kalau Jokowi menang Pilpres, suatu pemberitaan yang katanya berdasarkan cuitan Dhani di twitter, yang ternyata tidak benar Dhani pernah mencuitkan kalimat itu. Dan sekitar 7 media online harus minta maaf secara terbuka kepada Dhani.
Beli media cetak mahal. Lagipula buat apa nambah biaya Rp.2000 – Rp.5000 untuk berita yang dapat diakses secara online. Haduh, padahal media cetak itu menurut saya kualitasnya lebih baik karena mereka punya waktu lebih untuk melakukan kaidah-kaidah jurnalistik, dibandingkan media online yang mungkin lebih mengutamakan kecepatan daripada ketepatan.
Status yang saya post di FB adalah “resmi dimulai! Sudah banyak buzzer pilkadal rupanya, masing-masing menonjolkan apa yang disebut logika, apa yang disebut kebenaran, apa yang disebut kinerja… hihihihihi….. dadah dadah dulu deh sampe 4 bulan kedepan *lambang lambaian tangan”. Respon yang saya terima didapat dari 2 orang kenalan saya. Yang satu orang dari Kota Serang dan satu lagi orang DKI. Yang orang Kota Serang (merespons status saya) menulis “mohon masukan paduka yang dipertuan agung”, sedangkan yang orang DKI menulis “bukan orang jakarta dilarang comment.. pls deh…”.

KTP DKI Adalah Previlese
Komentar salah satu kenalan saya yang ber-KTP DKI itu agak menyentak saya. Selain mengenai ego saya sebagai orang yang (seharusnya merasa) boleh komentar apapun di media sosial saya sendiri, tetapi lebih jauh dari itu saya merasakan mungkin kenalan saya yang orang DKI itu berpikir bahwa: 1) jakarta hanya milik orang yang ber-KTP DKI; 2) dirinya berhak menjadi hakim/juri/wasit yang memutuskan siapa yang boleh komen dan yang tidak boleh komen, dan 3) dirinya sama sekali mengabaikan latar belakang siapa-siapa yang komen.
Kalau kita berpikir bahwa jakarta hanya milik orang ber-KTP jakarta, mungkin harus ditelaah lagi apa yang dimaksud dengan “milik” itu. Dan apakah “jakarta” itu suatu properti? Suatu lahan dengan batas tertentu. Atau “jakarta” itu suatu identitas? Bahwa segenlintir manusia di muka bumi itu dapat menjadi “orang jakarta” karena refleksi diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi (sesuai definisi identitas menurut Stella Ting Toomey) yang menghasilkan segelintir manusia itu berhak menyandang gelar “orang jakarta. Atau “jakarta” atau “orang jakarta” itu merupakan suatu “status”, sehingga kalau di acara Sebelas Duabelas, Pandji Pragiwaksono nanya ke atris pendatang baru ketika membahas suatu film baru, “jadi kalian kalau nongkrong ketemu dimana? Rumah lo katanya agak jauh juga kan?” dan ketika dijawab oleh si aktris pendatang baru sambil senyum-senyum ,“ya lumayan jauh sih” lalu Pandji terus mengejar, “coba deh kasih tau kita” ; dan akhirnya aktris itu jawab “ciawi”; lalu Pandji, bintang tamu yang lain, dan penonton tertawa. Di situ kita menangkap perbedaan status “jakarta” dan “ciawi”.
Saya ngga akan cengeng soal perbedaan “status” antara jakarta dengan kota-kota lain di Indonesia. Laah wong ibukota gitu loh… pusat pemerintahan dan pusat bisnis gitu loh… Sehingga kalau ada dua orang guru usia 20-an ketemu dalam suatu pelatihan guru tingkat nasional, guru yang berasal dari Kecamatan Kranggan-Kota Bekasi (yang berbatasan dengan DKI) pas ketemu sama warga Denpasar-Bali, pasti si guru dari Kecamatan Kranggan-Kota Bekasi itu pasti ngaku-nya orang jakarta.
Realistis saja, dengan adanya Galeri Nasional, Taman Ismail Marzuki (TIM), Gedung Kesenian Jakarta, Komunitas Salihara, serta puluhan bioskop, warga DKI sense of art nya pasti adiluhung. Jujur saja dengan adanya Perpustakaan Naional, Arsip Nasional, Perputakaan Daerah Prov. DKI yang luas dan ber-AC, museum-museum, pasti kepintaran dan kecerdasan warga DKI superior. Belum lagi dengan fasilitas mall, bus transjakarta, KRL, maka betapa tinggi tingkat peradaban warga jakarta. Belum lagi toko buku terbesar se-Asia Tenggara di Gramedia Matraman, belum lagi studio RCTI di Kebon Jeruk yang dibsa buat syuting Dasyat dan ditonton orang se-Indonesia. Ye ye ye, lalala..
Ngga percaya? Bahkan sastrawan W.S. Rendra dan Sapardi Djoko Damono saja hijrah dari Yogyakarta ke jakarta. Betapa puisi dan cerpen sastrawan Indonesia akan melambung nilai ke-susastraan-nya kalau sudah dimuat di rubrik-rubrik “sastra hari mingggu” harian Kompas yang terbit (pastinya) di jakarta.
Jadi mungkin, pada poin jakarta hanya “milik” orang jakarta memang benar adanya. Bayangkan ada orang-orang dari Ciawi, Bekasi, atau Rangkasbitung yang dengan kurangajarnya berani-berani komentar tentang Pilkada jakarta, sungguh betapa tidak level nya akal dan kecerdasan mereka-mereka itu. Sungguh lancang ! Memiliki KTP DKI itu memang sungguh merupakan prvilese, suatu hak istimewa. Dan KTP DKI itu sebagai hijab, sebagai batas antara warga bermartabat tertinggi dengan apapun martabat yang ada di bawahnya, yang selain dirinya, yang di luar dirinya.
Nyambung lagi ke komentar kenalan saya ‘orang jakarta’ yang komen di status saya, bahwa “bukan orang jakarta dilarang komen” itu merujuk ke diri saya sendiri. Dan bahwa kenalan saya ‘orang jakarta’ itu mengabaikan bahwa kami (saya dan dia) pernah satu sekolah waktu SMP di salah satu SMP Negeri di Rawa Buaya-Jakarta Barat, bahkan satu SMA di salah satu SMAN di Kali Deres-Jakarta Barat, dan dia tahu banget bahwa saya lahir dan besar di jakarta, sampai kuliah di Universitas Negeri di Jakarta. Dan dia masih bilang saya “bukan orang jakarta”, maka itu semakin menunjukkan: kalaupun anda lahir dan besar di jakarta, 25 tahun hidup di jakarta pun, menikah dengan orang jakarta pun, memiliki semua teman masa kecil sampai kuliah di jakarta pun, anda tiap seminggu sekali bolak-balik dari banten ke jakarta pun, tapi kalau anda sudah berganti atau pindah tidak lagi ber-KTP DKI berarti anda buan orang jakarta, dan anda sebaiknya tutup mulut karena status mu bukan sebagai warga jakarta yang adiluhung itu lagi.. what a previledge indeed for being jakartans.
Ahmad Muttaqin











