Kalau anda, para pembaca yang budiman berpikir saya hanya lagi ‘sensi’ atau omongan kenalan saya, yang merupakan warga jakarta ber-KTP DKI yang komentarnya di Facebook (FB) menyentak saya itu hanya 0,000 sekian persen dari perlakuan yang segelintir ‘orang jakarta’ yang ‘somse’ melarang-larang komen Pilkada DKI di medsos, sebenarnya sih ngga juga. Kenalan saya yang komen ‘somse’ itu memang tidak mewakili teman-teman saya warga jakarta lain, yang saya kenal baik, dan memang sikap orang-orangnya juga baik-baik.
Tapi, FYI, saya juga bukan satu-satunya orang yang terkena semprotan penolakan dan larangan berkomentar. Mungkin ada lebh banyak. Saya coba ambil satu lagi.
Saya Bukan Satu-satunya
Teman saya, yang juga pernah bareng-bareng kuliah di Universitas Negeri di Jakarta, yang mana ia saat ini adalah lulusan jurusan pendidikan biologi dan sama-sama angkatan 2003, juga sampai buat status:
“Saya warga Bekasi. Sekolah dari SMP – kuliah di Jakarta. dulu ngajar juga di Jakarta. suami dari dulu sampai sekarang kerjanya juga di Jakarta. jadi boleh yaaa kami berdoa untuk Jakarta. pliiizzz jangan di-bully dengan kalimat “Bukan warga Jakarta gak usah ikut rame”. *emoticon wajah sedih Karena Jakarta itu ada di hati kita semua *emoticon wajah senyum Semoga Pilkada DKI membawa kebaikan bagi banyak orang * emoticon wajah senyum sumringah.
Nah, berarti bukan saya doang dong yang merasakan penolakan dan disishkan oleh segelintir kenalan warga jakarta yang ber-KTP DKI? Sepertinya saya bukan satu-satunya yang kena.
Saya juga juga melihat melihat beberapa meme’s yang menyiratkan hal serupa: penolakan terhadap Warga Non-KTP Jakarta (WN-KTP-J) untuk ikut komentar dalam Pilkada Jakarta. Memang hak siapa saja untuk komentar, termasuk ketika ‘Orang Jakarta’ (OJ) mengatakan larangan tersebut. Tapi bagaimana bila nanti OJ juga mengalami penolakan ketika berkomentar tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah lain di luar jakarta. ataupun OJ dilarang komentar soal proses pergantian sultan di Yogyakarta, atau di Cirebon, atau di Surakarta. Mampukah para OJ menjaga tangannya untuk tidak men-share dan mengomentari berita-berita tersebut?
Melihat status teman seangkatan kuliah saya tersebut, saya menangkap semacam ‘aura permusuhan’, atau minimal ‘aura nyinyir’. Apa sebegitu eksklusifkah jakarta itu, sampai orang yang pernah berinteraksi dengan jakarta tetap dianggap ‘orang luar’ kalau tidak ber-KTP DKI. Bahkan untuk sekedar berkomentar terhadap kota yang juga pernah atau bahkan masih menjadi bagian dari keseharian aktivitas dirinya, ataupun bagian dari aktivitas keseharian istrinya, atau orangtuanya dulu, atau anak-anaknya saat ini.
Saya gregetan juga sih untuk mencoba melakukan seperti halnya kenalan saya yang OJ itu. Jadi ketika ada OJ upload berita pembunuhan di Banten, terus ditambah ngasih caption “haduh, tega banget sih nih kejadian,” Terus saya ingin bilang “haduuh, ini kan kejadian di wilayah Banten, udah ada Polda Banten yang ngurus, anda urus aja kriminalitas di jakarta noh,”. Asyiik banget kelihatannya. Pada tersinggung ngga ya?
Saya hanya khawatir, kita mendefinisikan “diri” kita dari tempat tinggal kita. Kita tersekat-sekat. Apalagi ditambahi bumbu kesombongan kecil, ataupun ke-sok tau-an kecil. Lalu hal itu membuat kita mendadak menjadi hakim dan menghakimi orang lain. Hanya karena anda tinggal di komplek dan orang lain tinggal di perkampungan. Atau hanya karena anda tinggal di Kota Wisata dan lawan bicara anda tinggal di Bantar Gebang, yang walaupun sama-sama Kota Bekasi tapi orang anggap jauuuh bedanya.
Memang Media Mainstream Bisa Membahas Selain Jakarta ?
Siksaan selanjutnya bagi sebagian besar kami, para WN-KTP-J, adalah kami sangat kurang mampu berkomentar karena semua stasiun TV mainstream yang disiarkan itu liputannya soal jakarta melulu. Apa-apa yang terjadi di jakarta ya sudah langsung jadi konsumsi kami setiap kami pulang kerja atau pulang kuliah dan menyetel TV.
Beritanya seputar ‘siapa lagi yang ketangkap korupsi’, ‘jokowi blusukan di pasar-pasar’, ‘jokowi turun langsung bersihin got’, ‘ahok marah-marahin lurah’, ‘ahok mecat kepala sekolah SMA karena menyempatkan wawancara pas pelaksanaan UN’, disambung lagi dengan ‘MA menyatakan pemecatan kepala sekolah SMA oleh ahok tidak sah’, ‘ahoj melawan perntah MA’ ‘haji lulung melawan ahok’, ‘banjir jakarta karena sabotase’, biasanya kemudian dilanjut ‘PLN menyudutkan ahok dengan meninggalkan kabel di got’, ujung-ujungnya ‘dirut PLN melawan ahok’. Begitulah berita-berita itu ditayangkan oleh TV merah dan TV biru. Ditonton bukan hanya oleh masyarakat di Pulau Jawa, tetapi juga di ribuan pulau lain di Indonesia. Bisa jadi petani di Kabupaten Berau-Kalimantan Utara menjalani hari yang menyenangkan di kebun, lalu pulang santai naik motor sambil merokok, lalu sampai rumah duduk dan nyetel TV tapi terus pusing dengan urusan warga jakarta. Warga Kabupaten Berau tidak mengalami kemacetan, atau mengalami banjir selutut orang dewasa (anehnya penyebutan ukuran banjir di Indonesia kok menggunakan atokan-patokan yang absurd seperti lutut atau pinggang, padahal lutut dan pinggang orang dewasa kan bisa beda-beda) seperti warga jakarta, tapi ya jadi puyeng juga disuguhi berita urusan jakarta lagi, belum lagi kalau berita disertai wawancara dari narasumber yang argumennya saling tuding.
Atau kehidupan warga Kabupaten Bukittinggi-Sumatera Barat yang relatif nyaman dengan pemandangan alam dan udara segarnya, ketika sedang dagang nasi kapau, terus ngambil rehat sebentar, nyetel TV terus nonton berita ‘ada tawuran lagi di manggarai, ada yang tewas’. Tidak ada tawuran di Kabupaten Bukittinggi, tapi berkat berita tawuran itu bisa jadi warga Kabupaten Bukitting (termasuk para pelajarnya) menjadi terinspirasi apa yang dilakukan oleh anak-anak ibukota.
Sinetronnya juga, mayoritas menampilkan logat dan gaya bicara ala jakarta. Sehingga guru dan siswa di Kabupaten Wonogiri-Jawa Tengah kalau bertemu sesama temannya akan ngomong bahasa anak gaul jakarta walau tetap belum bisa sepenuhnya melepas logat dan cengkok Jawa Tengah. “eh, elo kemaren abis kemana elo?”, dijawab temannya dengan “eh tau ngga sih lo, kemaren gue heng out sama anak montor..” Ya di Kabupaten Cianjur-Jawa Barat, Kota Jayapura-Papua, lalu di Kabupaten Manokwari-Papua Barat juga mungkin remajanya berbicara juga ngga jauh beda juga nantinya. Akan sangat mengganggu hati nurani saya apabila jalan-jalan ke Kabupaten Cianjur tapi tidak ketemu mojang Cianjur yang lemah lembut dan berbahasa sunda halus karena sudah diganti dengan percakapan semacam “cyiin, yukz nanti kita ketemuan di emoll aja yah, di KFC-nya aja sambil wifi-an dunkz”.
Jadi bukan hanya pemberitaan soal jakartanya saja yang mengganggu, tetapi juga pola pikir jakarta-sentris yang terlanjur merembes ke berbagai lapisan masyarakat di berbagai daerah. Jadi misal, musiknya Gamelan Kyai Kanjeng diukur dari selera seni ala jakarta. Nanti instrumen musik Gamelan Kyai Kanjeng dianggap ribet dan tidak praktis karena kebanyakan instrumennya, padahal cukup pakai turntable (ala Disk Jockey) semua suara bisa dicari dan dibikin. Misalnya lagi, teater-teater tradisional (semisal ludruk, lenong, longser, ketoprak) dinilai dan dibandingkan nilai seninya sesuai kacamata seni ala jakarta.
Terus, Yang Lain Dijejali Jargon “NKRI Harga Mati”
Saya khawatir OJ yang (misalnya kalau ada ‘serangan balik’) dilarang komentar soal daerah lain, keceplosan bilang “loh, kita kan NKRI”. Jadi seperti menjadi suatu hipotesis bahwa “OJ boleh komentar soal kejadian di daerah lain, karena kita semua NKRI” tetapi pas Pilkada DKI “ini urusan DKI, yang bukan warga DKI ngga usah komen!”
Bukankah pernyataan-pernyataan ‘somse’ macam itu memancing saya untuk berpikir, “loh memangnya jakarta bisa apa tanpa SDM dan SDA daerah lain?”. Lalu, jadi nyambung ke pertanyaan “bukankah OJ yang kerja di Jl.Jendral Sudirman, Jl.MH Thamrin, kawasan Segitiga Emas Kuningan, yang tersebar di perusahaan nasional, ataupun perusahaan multi-nasional itu perusahaannya banyak eksplorasi di Pulau Kalimantan, Pulau Bangka, Pulau Sumatera, Pulau Papua?” Macam pemerintahan sentralistik-otoriter-eksploitatif ala Orde Baru saja saya rasa kalau memang begitu adanya.
Atau jangan-jangan istilah ‘NKRI harga mati’ memang sejenis slogan penuh motif kekuasaan dari jakarta kepada daerah-daerah lain di luar jakarta. Dulu sih Jepang waktu datang bulan Januari 1942 punya slogan ‘3-A’, Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia. Anda, para OJ yang ‘somse’, apakah sama dengan Pemerintah Militer Jepang di tahun 1942 ?
Lagian, dalam hidup kita sebagai manusia, di dunia fana, yang waktu stay di dunia fana ini juga cuma sebentar ini, memangnya ada yang benar-benar ‘harga mati’. UUD 1945 buktinya bisa empat kali di-amandemen, Sipadan dan Ligitan yang benar-benar wilayah Indonesia aja bisa lepas, Timor-Timur aja bisa lepas, subsidi aja bisa dicabut, Ahmad Dhani dan Maia Estianty aja bisa cerai padahal anak sudah tiga, jalur busway yang khusus bus transjakarta aja bisa dilewatin konvoy pejabat, anggaran Al-Quran aja bisa dikorupsi, Uni Sovyet dan Yugoslavia aja bisa bubar, Cekoslovakia aja bisa misah jadi Ceko sendiri dan Slovakia sendiri, seorang bapak aja ada yang memperkosa atau membunuh anak kandungnya sendiri (astagfirullah, amit-amit jabang bayiii), semacam Donald Trump aja bisa jadi presiden, sudah gitu 100 tahun yang lalu perempuan jawa aja dibilang ngga usah sekolah tinggi-tinggi karena ujung-ujungnya cuma ngurus sumur-dapur-kasur lalu sekarang perempuan bisa jadi presiden, sudah gitu 100 tahun yang lalu aja kulit hitam masih jadi budak di Amerika Serikat sekarang sudah ada presiden Amerika Serikat dari kalangan kulit hitam.
Jadi apa sih yang bener-bener harga mati? Jadi apa sih yang bener-bener ngga bisa berubah dalam hidup manusia? Ayo dijawab, jangan cuma baca sambil ngupil melulu aja !
Ahmad Muttaqin