Tidak banyak yang ingin saya ceritakan, hanya kepingan kegundahan dan juga semacam kekesalan khas anak zaman sekarang yang saya pikir perlu didengar oleh masyarakat di luar kami, Bumi Papua. Khususnya mayoritas perempuan di daerah Pegunungan Bintang.
Dewantara.id, Papua – Kartini ya Kartini.. nama tersebut didapuk menjadi ikon pahlawan Nasional yang terkenal akan gagasan penyetaraan bagi kaum perempuan di tanah Jawa yang saat itu, di zamannya sangat dibatasi oleh adat istiadat.
Manusia selamanya memang fana di alam ragawi, tapi tidak demikian dalam ruang pemikirannya. Ide dan semangat Kartini kekal. Kemunculan Kartini adalah nafas baru bagi kehidupan perempuan. Muncul terutama setelah masa kemerdekaan atau ketika Kartini sudah wafat. Pemikirannya, perlawanan dan semangatnya menyebar viral hingga saat ini. Benarkah demikian?
Faktanya memang di kota-kota besar selalu diperingati tanggal 21 April sebagai hari Kartini, di sekolah semua siswa perempuan memakai Kebaya. Bahkan terdapat sebuah yayasan yang berinisiatif menjadikan Kartini sebagai Award setiap tahun. Dalam ranah perfilman Indonesia, Kartini pernah di filmkan tahun 1980-an hingga versi terbaru tahun 2017 yang mendapuk Dian Sastro sebagai Kartini.
Ada pula fakta lain. Selain belum juga merasakan kenikmatan pembangunan yang megah gegap gempita, keagungan nama Kartini ini ternyata dampaknya tidak sampai pula di salah satu distrik Pegunungan Bintang tanah Papua.
Tahun 2018 ini posisi perempuan masih sama seperti di Jawa pada masa kolonialisme dimana Kartini hidup. Meskipun tidak semuanya perempuan menjadi nomor dua, namun tetap porsinya lebih sedikit dibanding laki-laki.
Hal tersebut semakin terlihat ketika perempuan sudah menikah dan sudah sekian waktu berjalan bersama. Barulah terlihat “keunikannya,”
Jangan coba bilang itu sudah given. Sudah budaya-nya begitu. Karena dulu pun sama. Kartini mendobrak budaya tersebut.
Di daerah lain, apabila membawa banyak barang maka Laki-laki yang membawa beban, disini, di wilayah pegunungan Bintang, yang terjadi justru kebalikannya. Dimana mama-mama (Sebutan perempuan yg sudah menikah) akan membawa beban yang lebih banyak di Noken (kain dari rajutan akar dibuat seperti karung yang digunakan untuk mengangkut barang yang digantungkan di kepala) dan kadang tangan kiri dan kanannya juga menjinjing sesuatu, entah kayu bakar atau sayur atau apapun yang dirasa sanggup dibawa.
Laki-laki hanya membawa parang kadang dengan anak satu. Selain itu pandangan bahwa anak perempuan tidak usah sekolah masih menjadi pandangan umum. Banyak anak-anak perempuan usia sekolah tidak sekolah bahkan apabila sudah dianggap cukup umur langsung dinikahkan oleh orang tuanya.
Memang ada beberapa perempuan yang sudah masuk diakomodir masuk kedalam jabatan struktural seperti Kepala Dinas ataupun Pegawai Negeri, tapi itu hanya sebagian kecil. Mungkin Papua masih butuh proses lama untuk merasakan kesetaraan seperti yang digaungkan oleh Kartini, sama seperti proses kami menunggu untuk merasakan listrik dan jalan landai beraspal.
Inilah Potret bagaimana posisi perempuan di daerah ini (Papua-ed) masih jauh dengan yang namanya ide macam emansipasi wanita dan kesetaraan gender. Padahal satu abad yang lalu di Jawa sana, Seorang Kartini memperjuangkan hal ini, harapan saya adalah semoga terlahir Kartini di daerah ini meskipun nanti bernama Maria, Emeliana, Alowsia atau Margaretha…Kartini kami menunggumu…
Ebes Al Mustaini
Pegiat Pendidikan Papua