Dewantara, Jakarta – Hasutan kebencian marak terjadi dalam dunia politik. Identitas SARA menjadi sarana politik yang seringkali disalahgunakan selama pemilu serentak 2019. Setelah sukses mengadakan Seminar Nasional di hari pertama, rangkaian PESTARAMA#4 hari kedua diisi dengan “Diskusi Lintas Komunitas”.
Kegiatan yang diselenggarakan di Aula Madya Lantai 2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengangkat tema “Hasutan Kebencian di Tahun Politik”.
Beberapa komunitas internal dan eksternal turut hadir seperti Forum Mahasiswa Ciputat, Forum Lingkar Pena, DEMA Universitas, HMI, PMII, Radio Dakwah Kampus, Komunitas Lintas Budaya, serta beberapa komunitas lain
Ali Nur Sahid pemantik diskusi menyatakan bahwa kampanye di tahun politik menjadi ladang hoaks yang menambah suasana panas. “Tiap hari kita disuguhi suasana politik yang kacau, terlebih lewat media sosial,” tutur Ali yang merupakan Peneliti di Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina di Jakarta(23/04).
Kendati membahas politik dalam suasana pemilu serentak, Ali lebih banyak menyinggung soal politik identitas yang banyak dimainkan selama berlangsungnya kampanye.
“Identitas agama menjadi alat yang digunakan untuk berpolitik. Dulu bicara soal agama, kita biasa saja. Sekarang bercanda soal agama dalam suasana saat ini membuat kita berpikir panjang, akan ada ketersinggungan,” paparnya.
Makyun Subuki, peserta diskusi sekaligus Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta menyatakan bahwa pendidikan tidak lagi dapat menjamin objektivitas dalam memahami sebuah wacana politik. Orang lebih cenderung menerima atau menolak wacana politik berdasarkan kesamaan bangunan epistemo-antropologisnya daripada muatan objektifnya.
Fahri Muhammad Ahmadi, dosen Fakultas Syariah dan Hukum menambahkan bahwa politik identitas yang dimainkan dalam pilpres sebenarnya bukan hanya agama, melainkan juga identitas kesukuan. Hal itu ditandai dengan salah satu ormas Betawi yang beralih keberpihakan untuk mendukung pasangan capres lain.
Akan tetapi, dia menekankan juga bahwa agama memang menjadi politik identitas yang utama dalam pilpres kali ini, karena daya jangkau yang lebih luas dan daya keberterimaan yang lebih mudah. Lebih jauh, Suhatna, dari Forum Lingkar Pena mengemukakan, “Keberpihakan seseorang bahkan menyebabkan mereka tidak mau menerima kebenaran. Masyarakat kurang kritis untuk menggali kebenaran”.
Ali menyinggung bahwa politik identitas dianggap murah ketimbang pemaparan visi-misi. “Identitas agama salah satunya. Banyak menarik minat karena menawarkan nilai dan surga.” tuturnya.
Melihat antusiasme peserta yang cukup tinggi memberikan argumennya, acara ini diharapkan membuka mata bagi para peserta untuk melihat politik dari berbagai sisi untuk konsolidasi demokrasi, terlebih dengan maraknya politik identitas, ujarnya menutup diskusi.
Tidak hanya itu, peserta yang selesai mengikuti Diskusi Lintas Komunitas, langsung disuguhi Pameran Napak Tilas Danarto di Aula Madya Lantai 1. Pameran yang berlangsung sejak senin lalu, menghadirkan karya-karya mendiang Danarto seperti buku, lukisan, dan juga kisah perjalanan hidup Danarto.
Tidak hanya dikunjungi oleh para mahasiswa, N.Riantiarno, pendiri Teater Koma menjadi salah satu pengunjung di dalamnya. Selepas mengisi acara Seminar Nasional, N.Riantiarno berkesempatan melihat dan merekonstruksi kembali, bagaimana mendiang Danarto selama hidupnya mengambil peran penting dalam dunia sastra Indonesia.
“Kalian ini gila ya, keren bikin acara seperti ini,” ujar N. Riantiarno disela-sela kunjungannya.