Dewantara, Jakarta- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai permintaan maaf yang disampaikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait keluhan sulitnya soal-soal, terutama matematika dari peserta UNBK SMA tahun 2018, tidak cukup. Pengurus SGI Mataram Mansur mengatakan perlu ada evaluasi menyeluruh atas soal-soal UNBK. Sehingga tidak hanay cukup meredakan derasnya komentar pedas para siswa di berbagai media sosial.
Sebelumnya, Kemdikbud khususnya Kepala Puspendik mengakui, pemerintah memang menaikkan tingkat kesulitan soal UNBK tahun ini. Menurut Menteri, soal UNBK 2018 sudah menerapkan High Order Thinking Skills (HOTS) dan telah sesuai dengan kisi-kisi.
“Mendikbud boleh yakin karena para bawahannya pasti menyakinkan sudah sesuai kisi-kisi, namun para peserta UNBK tidak sekedar tahu kisi-kisi, mereka juga mengerjakan soalnya sendiri sehingga bisa merasakan dan menyimpulkan tingkat kesulitan soal yang tinggi,” ujar Mansur, pengurus SGI Mataram yang juga guru SMA di Lombok Barat.
Menurut FSGI, setelah dipantau ternyata UNBK banyak menyisakan persoalan. Selain dari masalah teknis, pelaksanaan UNBK SMA/MA menyisakan persoalan non teknis yakni munculnya keluhan dari para siswa terkait soal Matematika yang dirasakan sangat sulit.
“Kesulitan para siswa menjawab soal-soal UNBK Matematika tersebut diakibatkan oleh ketidaksamaan soal yang keluar dengan kisi-kisi soal dan try out yang sudah dilakukan berkali-kali sebelum UNBK. Tentu hal ini membuat kondisi psikologis siswa terganggu. Para siswa merasa mereka sudah belajar optimal, sesuai kisi-kisi soal dan try out yang dipelajari berbulan-bulan, tapi soal yang keluar ternyata jauh dari perkiraan,” urai Satriwan Salim, Wakil Sekjen FSGI yang juga guru SMA di Jakarta.
FSGI menambahkan keterampilan berpikir HOTS tersebut mestinya bukan dititik beratkan (fokus) di akhir pembelajaran siswa atau ketika UNBK. Melainkan lebih ditunjukkan ke dalam proses pembelajaran selama 3 tahun itu.
“Itu artinya, pernyataan dan pembelaan diri Mendikbud kemungkinan besar keliru, karena memfokuskan berpikir HOTS hanya pada soal UNBK. Menguji seorang anak dengan soal yang tidak pernah diajarkan adalah bentuk ketidakadilan,” cetus Mansur.
Selain itu, guru juga harus menampilkan proses pembelajaran yang HOTS pula di dalam kelas. Menurut pengurus SEGI Jakarta, Slamet Maryato, percuma saja soal-soal ujiannya di level tinggi, tetapi proses pembelajaran siswa tidak pernah menyentuh kemampuan berpikir kritis, evaluatif dan kreatif.
“Fakta di ruang-ruang kelas selama ini, ketika menjelang UN, para guru dan siswa hanya fokus men-drill soal-soal UN tahun-tahun sebelumnya, try out beberapa kali yang diselenggarkan sekolah dan Dinas Pendidikan setempat, siswa dilatih untuk mampu menjawab soal-soal secara cepat-tepat,” ujar Slamet Maryanto yang juga guru di SMA.
Jadi faktanya di lapangan, kata dia, pembelajaran tidak diarahkan kepada proses menumbuhkan kesadaran dan keterampilan berpikir kritis tersebut di dalam kelas. Pembelajaran juga tidak lagi menumbuhkan hal-hal kreatif dalam kehidupannya. Inilah salah satu cacat dari pelaksanaan UN sedari dulu.