Martin Seligman adalah seorang professor positive psychology dari universitas pennsylvania yang meneliti tentang kebahagiaan selama puluhan tahun memberikan kesimpulan yang menarik.
Professor tersebut mengatakan bahwa 40% tingkat kebahagiaan kita ternyata ditentukan oleh faktor genetik. Sementara 60% sisanya ada dibawah kendali diri sendiri. Jadi, hasil penelitian tersebut secara gamblang ingin mengatakan bahwa tidak masalah apa yang terjadi dengan kita..
Kejadian baik ataupun bahkan untuk orang-orang yang mengalami hal terburuk pun seperti orang yang selamat dari bencana kehancuran, sebenarnya bisa saja merupakan orang yang paling berbahagia.
Happiness comes from your mind. It comes down to your attitude, and you, 100% in control of what you are thinking.
Penelitian tersebut mengatakan bahwa mungkin kita tidak bisa mengendalikan perasaan kita sekarang, tapi kita selalu bisa mengendalikan pikiran kita sendiri. “That will change how you are feeling..” ungkapnya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu hal efektif yang bisa dilakukan untuk mencapai kebahagiaan adalah dengan bertanya pada diri sendiri. “Why or How” question? Misal tentang bagaimana kita hidup untuk momen saat ini. Bukan dimasa lalu, bukan pula di masa depan..Tapi sekarang. Saat ini. Demikian kah?
Merenung
Saat dimana kita sedang mulai menghawatirkan sesuatu, selalu memikirkan masa depan sembari menyelami masa lalu, bisa saja itu adalah momentum yang mengajak kita agar mau melibatkan potensi besar (akal pikiran dan nurani) untuk merenung. Dan pada satu titik, itulah yang sebenarnya Sang Professor tersebut maksud.
Dalam Islam, berpikir – dimensi akal – (tafakur) dan meditasi – dimensi batin – (taqarrub) punya wilayah yang sangat khusus. Keduanya saling terkait. Bukan terpecah satu sama lain. Ulama sufistik, Syekh Abdul Qadir Al Jailani menyampaikan pandangannya bahwa ada tiga hal mengenai keutamaan tafakur dan taqorrub:
- Barangsiapa bertafakur atas sesuatu hal dan menyelidiki sebab nya, dia akan mendapat setiap bagian dari hal itu serta mempunyai banyak bagian pula inilah tafakur yang nilai nya setahun ibadah.
- Barangsiapa bertafakur tentang ibadah nya dan mencari sebab nya serta mengenal sebab itu, maka tafakur nya itu bernilai 70 tahun ibadah.
- Barangsiapa bertafakur dalam rangka mencari Allah Dan untuk mengenal Allah Swt (Ma’rifat) dengan tekad yang kuat, maka tafakur nya bernilai seribu tahun ibadah.
Namun dalam laku ritual yang khusyuk, bukankah juga menyimpan potensi yang membuat kita lena. Diantara segala keterbatasan manusia, ada lupa bahwa Sang Waktu juga menuntut peran kita untuk segera hadir di keseharian.

Maka dalam batas-batas materi yang kita ketahui, apa yang kita sebut sebagai ruang dan waktu, Tuhan Yang Maha Baik pun mengambarkan hambanya yang selalu ingat seolah tak terbatasi. Disetiap kejadian dan aktivitas, tidak hanya pada laku ritual khusus saja (ibadah mahdhah, misalnya) bahwa sesungguhnya aspek perenungan memanggil kita untuk (segera) ditunaikan;
“…Yaitu orang-orang yang selalu ingat kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan tidurnya.” (Ali Imran: 191)
Sehingga dalam akal yang ingat, sebenarnya juga terselip tiga hal; Yang lampau, Sekarang, dan Akan datang. Dalam akal yang berfikir itulah, harapan kadang berimaji (tafakur). Sehingga nurani menjadi penting untuk selalu hadir; Bahwa hanya dalam kepasrahan (taqorrub), ketenangan yang hakiki seyogyanya bisa dicapai. Baik dalam “keadaan berdiri, duduk, dan tidur.”
Maka meng-Ada-lah dalam ruang dan waktu. Apapun. Dimanapun. Sebagai anak, istri, adik, suami, cucu, atau tanggung jawab dalam profesi juga identitas yang dilakoni. Dan jika momentum tersebut “hilang” – seyogyanya kita akan sadar, pentingnya untuk selalu (Meng) “hadir” (kan) di setiap momen yang dijalani. Your live is present, not in the past or future…
Selamat menunaikan ibadah puasa di Bulan Ramadan 1440 Hijriah.
Muhamad Zulkarnain