Tidak sedihkah kita saat putra-putri kita di pendidikan dasar, maupun level menengah bercita-cita “untuk dijajah” dengan melamar di perusahaan atau bekerja dibawah telunjuk orang lain. Tidak sedihkah kita saat anak-anak kita kelak kehidupannya ditentukan, diatur oleh telunjuk orang lain. Kemerdekaannya direnggut, kemana pendidikan kita yang seharusnya memerdekakan?
Bagaimana bangsa ini menjadi bangsa yang memimpin duni sementara setiap individunya masih mengekor pada orang lain?
Bagaimana bangsa ini menjadi bangsa yang memimpin dunia sementara pendidikan kita mencetak manusia-mausia pengekor.
Bagaimana bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka sementara setiap individunya bangga hidup dan matinya ia curahkan dibawah telunjuk manusia lain.
Jika benar pendidikan kita, niscaya tidak akan ada pengekor, yang ada hanya pejuang.Pejuang kemerdekaan bangsa, tanah air, agama, daerah, dusun, RW/RT, diri sendiri, hati nurani……
Kemanakah jiwa pejuang bangsa ini? Yang rela lapar demi kemerdekaan, yang rela mati demi kemerdekaan, yang berprinsip “hidup mulia atau mati syahid.”
Patut dipertanyakan kenapa bangsa ini menjadi bangsa pengekor. Kenapa bangsa ini tidak menjadi bangsa yang mandiri. Kenapa potensi pemuda bangsa ini yang luar biasa, tidak muncul kepermukaan. Namun bukankah didalam selalu ada yang terang? Baru-baru ini ada atlit Indonesia dari cabaang atletik membuat sejarah baru bagi Indonesia sekaligus pertama kali atlit Indonesia meraih medali emas di Kejuaraan Dunia Atletik U-20.
Siapa yang tidak kenal bapak BJ.Habibie sang insinyur pesawat yang sudah di akui dunia. Saya pikir banyak Habibie dan Zohri lain yang masih terpendam potensinya di dalam tubuh bangsa Indonesia. Zohri dan Habibie adalah salah dua dari anak bangsa yang beruntung mendapat kesempatan untuk memaksimalkan potensinya, dan bagaimana dengan pemuda yang lain? Apakah mayoritas anak bangsa Indonesia adalah manusia yang tidak punya daya berpotensi? Jawabannya adalah tidak.
Setelah berakhirnya Perang Dunia ke II yaitu pada tanggal 3 November 1946, Jepang merubah arah kebijakan pendidikannya yang berbasis Hak Asasi Manusia, kebebasan hati nurani, jaminan setiap individu untuk mengembangkan kebebasan berfikir, kebebasan akademik dimana setiap individu memperoleh hak untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan kemampuannya. Hal ini didasarkan pada pendidikan yang diterapkan di kerajaan.
Yang artinya Jepang tidak mengadopsi pendidikan dari negara luar, ia menggunakan sistem pendidikan yang sesuai dengan jiwa dan kultur bangsanya sendiri dan hasilnya dapat dilihat seperti sekarang ini. lantas bagaimana dengan bangsa Indonesia? Kemanakah poros pendidikan kita, apakah sistem yang digunakan sekarang sudah sesuai dengan budaya, dan kultur dengan bangsa orang Indonesia?
Sepertinya bangsa ini sudah lupa jati dirinya. Seolah bangsa ini tidak punya karya dalam sistem pendidikan. Sehingga orang tua akan terasa bangga bila anaknya bersekolah dengan standar internasional. Banyak orang akan bangga dengan segala sesuatu yang berbau barat. Bukankah bangsa ini punya sistem pendidikan pesantren yang sangat luar biasa. Ada fakta kemerdekan bangsa ini tidak lepas dari peran ulama dan santrinya yang ikut berjuang demi kemerdekaan.
Pendidikan karya asli bangsa Indonesia ini sudah terbukti mencetak kader-kader bangsa yang militant, yang mau berjuang dan mati untuk bangsa ini, lain halnya zaman sekarang pandidikan yang ada mencetak generasi yang lebih memilih kenyang namun terhina dari pada berjuang dalam kelaparan namun hidup mulia dan merdeka.
Mereka yang mau berjuang demi kemerdekaan adalah orang yang hatinya merdeka. Mereka yang hatinya merdeka pasti menginginkan kemerdekaan yang hakiki secara lahir dan batin. Mereka yang tidak menjadi tamu di rumahnya sendiri. Mereka yang menolak keras penjajahan atas dirinya dalam bentuk apapun. Mereka yang menolak dan tidak terima harus hidup diatas telunjuk orang lain.
Mereka yang hatinya belum merdeka tidak akan berjuang untuk kemerdekan, jangankan untuk kemerdekaan bangsa ini kemerdekan untuk dirinya sendiri saja mereka abaikan. Penjajahan dalam bentuk apapun harus di hancurkan ini adalah bagian dari pembukaan UUD 1945. Ini adalah pesan yang sangat mendalam jika kita mau mengkajinya lebih dalam.
Kita jangan terkurung oleh pengertian bahwa setelah kemerdekaan bangsa ini penjajahan di tubuh bangsa ini sudah selesai. Penjajahan jangan hanya diartikan dikuasainya bangsa ini oleh bangsa asing. Bung Karno pernah berkata “perjuanganku lebih mudah karena melawan bangsa asing tapi perjuangan mu lebih berat karena melawan bangsa sendiri.” Bukankah jelas bahwa pasca kemerdekan akan ada penjajahan dalam bentuk lain yang harus kita sadari. Secara fisik kita sudah tidak lagi memberi sebagaimana pada masa Belanda dengan sistem kerja paksanya dan Romusha pada masa Jepang, namun penjajahan yang membuat kita nyaman adalah hal yang lebih membahayakan dari pada yang dilakukan pada masa Belanda dan Jepang.
Sadarkah kita sekarang banyak anak bangsa ini yang masih terjajah. Bahkan banyak yang dengan suka rela menyerahkan dirinya untuk dijajah. Tidak sedikit yang bangga saat diri mereka masuk dalam zona penjajahan. Dahulu kita berjuang untuk keluar dari penjajahan bangsa belanda dan jepan, tidak mau bekerja untuk asing. Tapi zaman sekarang kita berbondong-bondong, dengan senang hati bahkan berbangga diri saat bekerja di perusahaan asing (Belanda, Jepang, Cina, Amerika, dan seterusnya). Sadarkah kita ini adalah romusa dan kerja paksa dalam bentuk lain yang lebih kejam? Sadarkah kita dampak dari penjajahan pada masa sekarang ini?
Masyarakat kita yang dahulu menggantungkan hidupnya dari pengolahan sumber daya alam menjadi lupa akan kemampuan mengolah bumi. Anak-anak petani sudah tidak mau bertani karena menganggap bekerja di perusahaan lebih memberikan kepastian dibandingan harus menjadi pengusaha dalam bidang pertanian. Anak-anak peternak sudah enggan berternak padahal mereka berpotensi menjadi peternak unggul dengan ilmu yang diwarisi secara turun menurun dari keluarganya.
Sekarang semua anak-anak itu menjual tanah-tanah leluhur mereka pada asing untuk dibuat perusahaan dan akhirnya mereka bekerja pada tanah mereka sendiri, “menjadi tamu di rumah sendiri”. Uang akan habis sementara tanah yang mereka jual sudah tidak dapat mereka beli lagi dengan gaji di perusahaan tempat mereka bekerja sekarang. Tanpa sadar kita sudah di batasi oleh asing, dibatasi dari segi pendapatan, kehidupan, dan potensi berkehidupan.
Pendapatan jika kita menjadi pengusaha akan sesuai dengan usaha yang kita perjuangkan, sementara saat kita bekerja dengan orang lain maka setiap bulannya kita akan menjadapat pendapatan yang sudah dibatasi. Kenaikan yang terjadi sangat tidak manusiawi. Dalam satu tahu paling besar kenaikan gaji kita tidak jauh di angka 500.000 rupiah. Sementara pengusaha meraup keungtungan yang besar. Sangat tidak masuk akal saat kebutuhan hidup setiap bulan yang tidak menentu sementara pendapatan yang kita terima tetap. Harus menunggu satu tahun untuk mendapatkan penghasilan tambahan yang tidak seberapa. Belum lagi kebijakan pemerintah yang bisa sewaktu-waktu menaikan harga listri, BBM, dan menarik subsidi.
Potensi anak-anak Indonesia yang luar biasa tidak muncul kepermukaan karena tertelan oleh pabrik-pabrik. Berapa banyak lulusan-lulusan SMA, SMK, STM yang kepandaiaannya diatas rata-rata harus mandek karena bekerja diperusahaan? Bukankah kepintaran mereka terus diasah agar bermanfaat untuk bangsa ini? Bukankah karya-karya anak bangsa yang potensial ini sangat di tunggu bangsa ini. Disebuah perusahaan mereka yang berperingkat wahid dan yang tidak berperingkat di sekolahnya menjadi tidak ada bedanya saat berada di zona perbudakan. Pekerjaan yang mereka kerjakan tidak jauh berbeda. Kita bisa lihat potensi si jenius yang terabaikan.
Bukankah pendidikan kita mengoptimalkan potensi mereka? bukankah pendidikan kita seharusnya membuat mereka untuk menjadi pejuang kehidupan, dan yakin pada potensi, kemampuan, bakat yang mereka punya untuk hidup. Kenapa pendidikan kita mencetak generasi penerus bangsa yang penakut, penakut untuk berjuang sehingga memilih hidup pasti dalam zona nyaman perusahaan?
Kenapa output pendidikan kita menciptakan anak-anak bangsa yang tidak percaya diri akan kemampuan mereka. Mengapa anak-anak bangsa Indonesa tidak yakin akan kesuksesan yang mereka bangun dengan tangan mereka sendiri. Mengapa anak-anak bangsa Indonesia lebih yakin pada perusahaan terlebih lagi pada perusahaan asing. Kenapa idealisme sudah tidak tertanam pada anak-anak bangsa ini.
Angga Eryana, pegiat pendidikan inklusi