Ada hantu yang menggentayangi mahasiswa
Hantu DO dan Skorsing…
Cobalah anda mengetik kata skorsing atau drop out di mesin pencari anda, maka akan muncul banyak berita tentang mahasiswa yang terkena drop out (DO) maupun skorsing dari kampusnya. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Jaringan Kaum Muda (Jarkam), selama rentang periode 2016 hingga 2018 ada sedikitnya 13 kasus terkait sanksi DO yang menimpa mahasiswa dari berbagai kampus negeri maupun swasta. Data yang dihimpun Jarkam hanyalah data yang terangkat atau diberitakan oleh media-media arus utama, fakta sebenarnya mungkin lebih besar lagi.
Data yang dirilis Jarkam memperlihatkan medio 2016-2018 ada sekitar kurang lebih 5.000 mahasiswa terkena sanksi DO dari kampusnya. Beberapa alasan yang dijadikan dasar sanksi oleh kampus yang menjadi sorotan yaitu: Pertama, mahasiswa tidak mampu membayar uang kuliah, sehingga terkena DO. Kedua, DO yang diberikan kepada mahasiswa yang ‘vokal’ mengkritik kebijakan kampusnya. Ketiga, Mahasiswa yang terkena evaluasi, tidak aktif maupun melewati masa studi.
Jarkam menyoroti terkait DO yang diberikan karena tidak mampu untuk membayar uang kuliah dan mahasiswa yang kritis atas kebijakan kampusnya. DO dengan alasan tidak melunasi uang kuliah menimpa sekitar 500 mahasiswa. Pepatah ada uang ada barang sangat terlihat disini, alih-alih berusaha melakukan advokasi atau solusi bagi mahasiswanya yang tidak mampu membayar kuliah, kampus lebih memilih jalan pintas ‘membuang’ orang-orang tidak mampu tersebut.
Jenis kasus yang kedua, yaitu DO yang menimpa mahasiswa yang melakukan kritik atas kebijakan kampusnya. Kampus yang sedianya menjadi tempat demokratis menjadi wilayah dimana kritik yang membangun justru dibungkam dengan senjata DO dan skorsing. Kampus dengan pejabat-pejabatnya menjadi bangunan angkuh yang anti kritik dan menjadi pelaku penindas disamping pelaku komersialisasi. Sedikitnya ada 74 mahasiswa yang terkena DO karena melakukan kritik kepada kampus. Kritik-kritik yang dilakukan mahasiswa bukannya disambut dengan perbaikan justru dijawab dengan represi oleh kampus. Kasus yang paling anyar adalah kasus Julio Belnanda Harianja yang diskorsing karena kerap melakukan advokasi mahasiswa-mahasiswa yang tidak mampu membayar uang kuliah, Julio juga kerap melancarkan kritik terhadap kebijakan kampusnya. Namun, yang didapatkan Julio justru hadiah skorsing yang penuh kejanggalan.
Tiadanya Perlindungan
Kenapa kampus gampang sekali melakukan DO atau skorsing? Jawabannya tidak lain adalah tidak adanya perlindungan hukum bagi mahasiswa. D.O atau pemutusan status mahasiswa menjadi otonomi sepenuhnya dikuasai kampus. Undang-Undang no 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tidak mengatur masalah DO atau skorsing mahasiswa, lebih parah lagi UU Dikti memberikan otonomi yang luas pada para pejabat kampus untuk mengatur rumah tangganya. Sedangkan pada Permenristekdikti no. 44 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi hanya mengatur batas masa studi.
Otonomi yang dimiliki kampus menjadikan kampus memiliki kuasa untuk menentukan nasib mahasiswanya. Kampus mendapat otonomi tidak hanya otonomi keilmuan namun juga otonomi untuk mengatur mahasiswa dan dosen sesuai yang diinginkan kampus. Kampus menjadi hakim, jaksa, sekaligus algojo dalam melaksanakan kebijakannya. Kalau kita ambil contoh, Kasus DO yang menimpa mahasiswa UNJ pada Januari 2016, keputusan DO diberikan secara sewenang-wenang tanpa ada kesempatan untuk membela diri. Kampus menjadi penentu mana yang benar atau salah, kritik dianggap dosa dan pelakunya adalah lalat pengganggu yang harus cepat-cepat dipukul.
Ketika sanksi DO ataupun skorsing menimpa mahasiswa, mereka kesulitan untuk melapor dan mencari advokasi bagi dirinya. Hal ini dikarenakan tidak adanya lembaga yang khusus menangani advokasi terkait DO dan skorsing. Mereka hanya bisa mengandalkan misalnya dalam kasus Julio, Komnas HAM. Advokasi yang dilakukan misalnya lewat komnas HAM atau LBH juga seringkali terbentur karena adanya otonomi kampus yang membuat advokasi hanya sebatas himbauan dan kurang bertaji. Dibatalkannya DO atau skorsing seringkali tergantung pada seberapa besar perhatian media atau solidaritas dari sesama mahasiswa.
Jika pencegahan DO dan skorsing masih bersandar pada pengerahan massa dan pembentukan opini publik maka kemampuan atau sumber daya yang dikerahkan tidak akan mencukupi. selama peraturan yang ada belum bisa melindungi dari DO ataupun skorsing yang dilakukan semena-mena maka kasus DO dan skorsing akan terus bertambah. Usaha untuk mengadakan Keberadaan LBH Pendidikan yang didirikan pada 2004 juga tidak terlalu berpengaruh pada usaha-usaha advokasi terkait DO dan skorsing tanpa adanya dukungan peraturan yang memadai.
Melindungi Hak Atas Pendidikan
Perlindungan bagi mahasiswa dari skorsing ataupun DO harusnya dilandasi semangat bahwa pendidikan adalah hak bagi segenap rakyat Indonesia. Tujuan yang tercantum dalam pembukaan (preambule) konstitusi kita ini menjadikan bahwa setiap individu warga negara Indonesia dapat menempuh pendidikan hingga tuntas. Keputusan DO atau skorsing yang hanya membutuhkan persetujuan dari pihak pejabat kampus dengan alasan “melanggar peraturan kampus” adalah efek dari otonomi yang diberikan kepada kampus. Ketika korban DO melapor kepada kementrian untuk memohon dibatalkannya DO atau skorsing sering kali kementrian menyerahkan kembali kepada kampus masing-masing. Di sini terlihat lemahnya kontrol pemerintah atas kampus-kampus di Indonesia mencegah DO atau skorsing yang tidak berhubungan dengan kondisi akademik mahasiswa.
Keputusan DO atau skorsing dapat diberlakukan atas alasan non-akademik seperti kritisnya mahasiswa atau tidak mampu melunasi akibat dari otonomi yang dimiliki kampus. Peraturan mengenai otonomi ini membuat kampus dapat menetapkan mekanisme memutus status mahasiswa dengan mudah. Mekanisme DO yang tidak mempunyai peraturan khusus menjadi disandarkan pada peraturan kewenangan otonomi. Kewenangan otonomi kampus yang diatur dalam pasal 63 (C) UU no. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi menyebutkan bahwa otonomi kampus meliputi Otonomi pengelolaan di bidang non-akademik yaitu penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan: a. Organisasi; b. Keuangan; c. kemahasiswaan; d. ketenagaan; dan f. sarana prasarana. Peraturan tersebut memberikan legitimasi pada kampus untuk menentukan mana yang benar dan salah tanpa ada kompromi. Mahasiswa hanya menjadi boleh mematuhi tanpa membantah atau mempertanyakan apalagi mengkritik. Jika berani protes siap-siap saja, skorsing dan DO menunggu.
Mahasiswa sebagai stakeholder kampus dan pemeran utama dalam pendidikan digeser kedudukannya hanya sebagai objek yang bisa digeser sana-sini. Ketiadaan sistem yang demokratis dan melibatkan mahasiswa dalam pengambilan keputusan di kampus menjadikan mahasiswa hanya sebagai robot dengan papan kendali di tangan pejabat kampus. Patuh atau punah adalah kepastian, Kampus yang menjunjung pemikiran kritis dan terbuka tidak berlaku ketika berhadapan dengan pejabat kampus.
Keputusan DO dan skorsing menjadikan mahasiswa tercerabut haknya atas pendidikan. Padahal memastikan setiap warga negara mendapat pendidikan adalah amanat konstitusi. Jika kita andaikan DO sebagai PHK dalam sistem tenaga kerja di Indonesia maka sistem pendidikan kita ketinggalan dalam melindungi warga negaranya. Dalam UU tenaga kerja, buruh dilindungi dari PHK sepihak oleh perusahaan. Pasal 151 menyebutkan Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Bandingkan dengan peraturan pendidikan yang tidak mempunyai peraturan serupa bahkan menyerahkan segalanya kepada kampus (lihat pasa 62 UU dikti). Dalam ayat dua (2) pasal 151 UU tenaga kerja dapat kita baca Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Sedangkan dalam UU dikti sama sekali tidak mengatur adanya hak mahasiswa untuk membela diri atau melakukan usaha-usaha advokasinya.
Dalam UU tenaga kerja, masih di pasal yang sama ayat tiga (3) disebutkan Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sedangkan bila kita bandingkan dengan UU pendidikan tinggi, tidak ada ketentuan untuk mengadakan lembaga yang khusus menangani advokasi terkait DO dan skorsing. Keterlibatan mahasiswa juga sangat dibatasi dilihat dari sedikitnya penjabaran atas hak mahasiswa dalam undang-undang dikti. Bila hal ini dibiarkan, maka hak-hak warga negara atas pendidikan yang demokratis, terjangkau dan menyeluruh tidak akan terwujud.
Pernyataan Sikap
Melihat hal tersebut maka kami Jaringan Kaum Muda (JARKAM) menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mengecam keras tindakan DO dan Skorsing yang semena-mena yang menimpa mahasiswa seluruh Indonesia.
- Hentikan penggunaan DO dan Skorsing sebagai alat merepresi pemikiran kritis mahasiswa.
- Menuntut Menristekdikti untuk menurunkan peraturan menteri yang mengatur perlindungan mahasiswa dari DO dan skorsing.
- Menuntut Menristekdikti membentuk lembaga advokasi khusus bagi mahasiswa yang terkena DO atau Skorsing yang bersifat independen.
- Menuntut Menristekdikti untuk menerbitkan peraturan melarang perguruan tinggi melakukan DO pada mahasiswa yang tidak mampu membayar uang kuliah.
- Menyerukan kepada seluruh elemen rakyat untuk bersatu padu memperjuangkan pendidikan nasional yang demokratis, terjangkau dan menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia.