Dewantara, Jakarta- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengkritisi alih wewenang SMA/SMK dari kabupaten/kota ke pemerintah provinsi. Hal itu berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, terdapat pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Salah satunya adalah pembagian urusan bidang pendidikan.
Menurut Koordinator JPPI, jika tak ditangani dengan baik maka akan berimbas kepada peningkatas kualitas pendidikan yang sedang dibangun. Selain itu, kata dia, alih wewenang juga berpotensi adanya dugaan pungutan liar di SMA/SMK.
Menurutnya, sebagian besar wali murid sudah mulai khawatir adanya perbedaan kebijakan antara SMA/SMK yang dulu dan sekarang. Banyak kabupaten/kota yang sudah menggratiskan SMA/SMK. Sekarang mereka resah, karena kabarnya ada provinsi yang membolehkan menarik iuran dan SPP untuk menutupi kekurangan anggaran untuk pendidikan.
Kedua, naiknya angka putus sekolah. Pemerintah saat ini masih belum ada komitmen yang jelas soal wajib belajar 12 tahun. Akibatnya, angka putus sekolah didominasi tidak mampunya lulusan SMP melanjutkan ke jenjang SMA. Pemerintah daerah hanya menganggarkan wajar 9 tahun, sekolah hanya sampai SMP. Karena adanya kendala biaya, masih cukup banyak mereka yang putus sekolah. Alih wewenang ini tidak menjawab kebutuhan wajar 12 tahun, tapi hanya peralihan wewenang yang justru menimbulkan masalah baru.
Ketiga, status guru honorer tidak menentu. Banyak guru honorer yang diangkat oleh pemerintah Kabupaten/Kota. Dengan beralihnya wewenang, mereka bisa jadi akan digeser oleh guru-guru honorer baru yang mengantongi SK pemprov. Kekhawatiran ini sudah banyak terjadi di beberapa daerah berdasarkan laporan pengaduan yang diterima JPPI.
Karena itu, pemprov tidak boleh hanya sibuk dengan alih wewenang sekolahnya, tapi juga memperhatikan segala hal yang terkait dengan kependidikan.
Annisa