Dewantara, Jakarta – Kelompok Belajar Rawamangun kembali mengadakan Kelas Membaca Ki Hajar Dewantara (KHD) sesi kedua yang kali ini membahas lanjutan dari Ilmu Jiwa pada bab korsleting, dasar dan ajar, disiplin dan lain-lain.
Bertempat di @candlestick.coffee Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (23/11/2019), kelas dihadiri oleh kurang lebih 30 orang peserta.
“Hari ini kita akan membahas tentang ilmu jiwa dari Ki Hadjar Dewantara, utamanya sebagai kelanjutan dari hasil kelas diskusi beberapa minggu lalu,” ujar Iman Zanatul, selaku pemantik.
“Sebelum kita mulai, saya mau menyampaikan kabar duka yang barangkali berkaitan dengan materi kita kali ini,” sahut Harris Malikus, sang pemateri.
Kabar duka yang disampaikan pemateri cukup memilukan hati. Harris menjelaskan belum lama ini terjadi peristiwa penusukan yang dialami seorang guru di Bantul, Yogyakarta bernama Wening Pamuji Asih (34) pada 21 November kemarin.
Korban guru yang merupakan alumni Universitas Negeri Jakarta, jurusan Sejarah 2004 ini mengalami tusukan di ulu hati oleh mantan muridnya sendiri. Dugaan sementara adalah perasaan cinta yang dimiliki oleh murid membuatnya nekat melakukan tindakan keji itu.

Mengapa murid sampai senekat itu? Dalam tahun ini saja kejadian serupa menimpa guru di Manado karena melarang merokok di sekolah. Membangun nalar dan karakter, namun lupa bahwa pendidikan juga seyogyanya berfungsi memperhalus perasaan?
Harris mengelaborasi pokok pemikiran Ki Hadjar Dewantara terhadap perkembangan jiwa anak. Ini dimulai sejak anak itu lahir. Periodisasi pendidikan anak dimulai dari usia nol s/d tiga setengah tahun, bagaimana anak dapat mengelola insting alaminya sendiri.
Pendidikan pada kanak kanak usia nol s/d tiga setengah tahun ini bukan merupakan dressur atau berbentuk hukuman fisik agar perintah orang tua bisa dijalankan, melainkan pendidikan dalam ranah pengarahan.
Karena walau perilakunya mendekati hewan (seperti memasukkan segala sesuatu ke mulut) namun tetap pendekatan layaknya anak manusia. Dressur diartikan ki Hajar sebagai pengajaran laiknya pelatih sirkus terhadap hewan sirkus.
Masa nol s/d tiga setengah tahun ini adalah masa orang tua menjadi teladan. Dalam peralatan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara, mengkategorisasi masa ini sebagai pembentuk naluriah anak.

Periode kedua adalah tiga setengah tahun hingga tujuh tahun. Dalam masa ini, Ki Hadjar Dewantara mengadopsi Dr. Frobbel (1819) dengan konsep masyhurnya kindergaarten.
Konsep ini diterjemahkan di Indonesia menjadi Taman Kanak-Kanak. Interval waktu di masa TK ini dimulai memasukkan unsur pengajaran. Karena sejatinya ini adalah usia masuknya input-input baru.
Fase terakhir tujuh tahun hingga dewasa. Fase yang disebut sebagai pendisiplinan diri. Berbekal keteladanan dan pelajaran selama fase dan periode sebelumnya, maka pembentukan pengembangan jiwa diatur melalui disiplin.
Ki Hadjar Dewantara dikenal memiliki perhatian khusus pada pendidikan keluarga. Bahkan sejak anak lahir, sudah memliki guratan-guratan halus dari pengembangan diri atau bakatnya. Guratan itu pula bisa bermakna negatif, seperti sifat-sifat destruktif.
Proses mencari guratan-guratan tersebut adalah pekerjaan panjang orang tua. Seraya Ki Hadjar Dewantara pula tidak memberi batasan terhadap gaya apa orang tua nanti akan mendidik.
Pada zamannya, Ki Hadjar Dewantara membebaskan individu orang tua mendidik anak-anaknya. Contoh, jika orang tua tersebut tumbuh sebagai seniman, maka pola didikan akan mengarah kesana. Begitu pula keluarga yang agamis.
Ki Hadjar Dewantara juga menjelaskan dalam bukunya bahwa guratan atau bakat terpendam tersebut bisa ditutupi atau dipertebal garisnya melalui tangan orang tuanya. Namun tidak bisa dihilangkan. Ini adalah kejiwaan yang dipunyai setiap manusia.
“Setiap yang bernapas dan memiliki akal budi semua berpotensi untuk mengalami masalah mental atau kejiwaan, baik itu given atau sebab lingkungan,” kata peserta diskusi Kenang Kelana.
Orang tua selain dikaruniai insting merawat anak, juga wajib membangun iklim yang kondusif bagi perkembangan dirinya. Harris Malikus, selaku pemateri menyampaikan di akhir tinjauannya bahwa muara dari semuanya adalah pendisiplinan diri. Kesadaran etik dan moral bahwa seorang individu akan dikenai batasan-batasan bertindak dalam kehidupan sosial.