dewantara.co.id, Jakarta. Di tengah kejumudan politik nasional dan minimnya wacana pendidikan di arus utama pemikiran umum, sekelompok alumnus eks-Universitas Negeri Jakarta membuat Kelas Membaca Dewantara. Terdiri dari 12 rangkaian kelas membaca, dengan 12 pemateri yang seluruhnya merupakan individu-individu lintas profesi yang memiliki perhatian sama terhadap dunia pendidikan –khususnya ide pendidikan Ki Hajar Dewantara.
“Seluruh materi kelas membaca ini diambil dari buku Ki Hajar Dewantara berjudul Pendidikan,” ujar Kenang Kelana, sang inisiator, dalam pembukaan acara Kelas Membaca Ki Hajar Dewantara, Sabtu (02/11/2019) tersebut.
Kelas membaca yang diselenggarakan di @candlestick.coffee Rawamangun, Jakarta Timur ini mengambil tema permulaan yakni ilmu jiwa. Ilmu ini merupakan pintu masuk dalam lajur pemikiran Ki Hajar Dewantara. Amanat pemateri pertama jatuh pada Ahmad Qori, mahasiswa Sosiologi Pendidikan UNJ 2017. Ia membawakan pokok pemikiran ilmu jiwa jilid pertama dari Ki Hajar Dewantara.

“Manusia yang dilatih jiwanya harus berbeda dengan hewan, yang hanya mengandalkan nafsu dan emosi belaka. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan harus melatih jiwa-jiwa manusia menjadi merdeka,” tutur mahasiswa yang juga aktif di lembaga pers mahasiswa Didaktika UNJ.
Dalam penjelasan Ki Hajar Dewantara, manusia memiliki kehendak, akal budi dan perasaan. Ketiga ini yang kemudian diterjemahkan sebagai cipta-rasa-karsa manusia. Potensi demikianlah menjadi tugas pendidikan –guru, pranata sekolah dan orang tua.
Bermula dari Tabiat, dalam kerangka Ki Hajar Dewantara berpangkal pada kebutuhan dasar manusia yakni mempertahankan diri dan mempertahankan keturunan. Perihal Tabiat ini juga dimiliki hewan. Momen-momen biologis ini tidaklah membentuk perkembangan anak menjadi remaja, melainkan sikap, norma dan kesadaran diri yang terus menerus dipelajari.
Pangkal-pangkal Tabiat ini kita sering dengar ketika remaja cenderung berbuat vandal. Merusak atau mengurangi fungsi benda-benda mati. Seperti sebuah kenikmatan tersendiri. Di fase ini, peran dewasa harus mampu mengarahkan menjadi sesuatu yang positif sekaligus tidak mengekang Tabiat itu sendiri. Begitu pula perbuatan terorisme, dalam hal ini cenderung untuk bergelut dengan sesamanya. Ki Hajar Dewantara lebih condong memberikan mereka ruang pada hasrat-hasrat Tabiat tersebut, ketimbang memblokade dengan rangkaian larangan.
Remaja punya cipta-rasa-karsa yang sedang berkembang. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa hukuman dan ganjaran bisa tepat jika dikenakan pada mereka yang telah melanggar norma dan hukum. Lebih lanjut Qori menjelaskan manusia selalu menjadi pusat dari lingkungan sekelilingnya. Jika ia berpindah atau berkembang pada lingkungan yang lain, maka konsep jiwanya juga akan berubah. Watak inilah yang sudah ditempa di lingkungan sekolah, keluarga dan lingkungan yang sebelumnya akan menjadi tonggak kepribadian bagi dirinya menyesuaikan di lingkungan baru.

Dalam acara yang dihadiri kurang lebih 45 peserta yang sebagian besar terdiri dari guru dan mahasiswa ini berlangsung menarik. Selama lebih dari 2 jam acara ini digelar, namun antusiasme peserta masih tinggi.
Harris Malikus, selaku moderator menyampaikan di akhir acara bahwasanya Kelas Membaca Dewantara ini rencananya akan rutin digelar dwi mingguan. Diharapkan dari kelas membaca ini dapat menambah khasanah pengetahuan sekaligus menggelorakan lagi pemikiran tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara dalam diskursus pendidikan Indonesia.