Dewantara, Jakarta – Tahun ini, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menerapkan kebijakan uang pangkal dengan nama lain Sumbangan Pengembangan Universitas (SPU). SPU ditujukan untuk calon pendaftar ujian mandiri UNJ. Sebetulnya, di 2016 UNJ pernah merapkan uang pangkal dengan menetapkan biaya 15 juta. Namun, kebijakan itu batal dilakukan. Sebab, ribuan mahasiswa UNJ menolak kebijakan itu.
Kebijakan uang pangkal (SPU) diterapkan berdasarkan permenristekdikti No 39 tahun 2017 pasal 8. Pasal tersebut memperbolehkan perguruan tinggi untuk menarik uang pangkal dari mahasiswa jalur mandiri.
Kebijakan uang pangkal tidak hanya terjadi di UNJ saja. Beberapa kampus berstatus PTN Badan Layanan Umum (BLU) seperti, Unnes, Unhas, dan Udayana menerapkan kebijakan serupa. Pihak kampus menetapkan biaya dari 5juta hingga ratusan juta. Di UNJ, rektorat tidak menetapkan biaya SPU, melainkan membebaskan calon mahasiswa untuk menentukan biaya.
Namun, permasalahan uang pangkal bukan terletak pada ditentukan atau tidak ditentukannya biaya, tapi terletak pada masalah yang ada pada tubuh uang pangkal itu sendiri.
Gerakan #AliansiMahasiswaUNJ, meyakini bahwa penerapan kebijakan SPU ialah bentuk penyimpangan pendidikan untuk semua. Sebab, SPU membawa semangat komersialisasi pendidikan di dalamnya. Komersialisasi pendidikan mengharapkan pendidikan mampu menjadi lahan bisnis (jual-beli) dengan cara menimbulkan persaingan antar mahasiswa. Tujuanya ialah mencetak lulusan perguruan tinggi sesuai keinginan pasar.
Khusus di UNJ, semangat komersialisasi pendidikan dapat ditarik sejak UNJ berstatus PTN-BLU. PTN-BLU, ialah Badan Hukum yang memungkinkan untuk mencari dana secara mandiri, misalkan dengan membuat unit usaha. Namun, dalam mencari dana secara mandiri, PTN-BLU tidak diperbolehkan untuk mengejar keuntungkan atau nirlaba. Pemasukan yang didapatkan wajib digunakan untuk pengembangan akademik maupun non-akademik bagi kualitas mahasiswa.
Sayangnya, realitas berkata lain. UNJ sebagai kampus yang tidak menjual secara riset maupun hasil lulusan, memutar otak agar mendapatkan dana dengan cepat dan mudah. Salah satu caranya, ialah meningkatkan biaya UKT dan menerapkan ‘uang pangkal’. Dampaknya, calon peserta dan mahasiswa menjadi korban.
Analisis Tolak SPU
#AliansiMahasiswaUNJ, meyakini bahwa alasan-alasan yang dikemukakan oleh pihak kampus dalam kebijakan SPU tidak rasional. Sebab, pernyataan yang dilontarkan mereka tidak sesuai dengan realitas. Ada tiga alasan birokrat;
Alasan pertama : Kekurangan UKT untuk pengembangan kualitas akademik dan non akademik bagi mahasiswa
Alasan kedua : Mahasiswa Mandiri tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah
Alasan ketiga : SPU digunakan untuk pembangunan gedung di UNJ.
Alasan pertama yang dilontarkan oleh pihak birokrat tidak sesuai dengan kenyataan. Sebagai PTN BLU, UNJ mendapatkan pemasukan dari dua sumber, yaitu APBN dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). APBN ialah dana dari pemerintah yang digunakan untuk biaya operasional dan BOPTN (subsidi untuk mahasiswa). Sedangkan PNBP, ialah hasil dari UKT mahasiswa, uang hibah, unit usaha, dan hasil kerjasama. Namun, sebelum itu, UNJ akan merumuskan Rencana Bisnis Anggaran (RBA) untuk memperkirakan berapa besaran yang akan didapatkan dari hasil PNBP. Tujuanya agar UNJ dapat menentukan pemasukan yang diperoleh sesuai dengan pengeluaran yang ada.
Sebetulnya RBA itu yang menentukan apakah UNJ mengalami defisit atau tidak. Pada tahun, 2016, UNJ berhasil mengumpulkan PNBP sebesar 425 Milyar dengan perkiraan pengeluaran sebesar 200 M. Sedangkan pada 2017, PNBP berhasil dikumpulkan sebesar 400 Milyar (khusus pendapatan dari UKT sebesar 250 M) dengan perkiraan pengeluaran sekitar 250 Milyar. Dari data dua data tersebut, dapat dibuktikan bahwa alasan UKT kurang, tidak relevan. Sebab, tiap tahun, UNJ mengalami surplus. Surplus tersebut masuk ke dalam rekening kementrian keuangan dan menjadi hak UNJ untuk digunakan.
Selain itu, hingga hari ini, UNJ tidak pernah melakukan transparansi UKT mahasiswa. Dengan adanya UKT diharapkan mahasiswa dengan ekonomi rendah akan dibantu oleh mahasiswa ber-ekonomi tinggi. Hal ini biasa disebut subsidi silang. Namun, mahasiswa tidak mengetahui berapa persentase antara mahasiswa yang masuk dalam UKT bergolongan tinggi dan rendah (golongan III-VIII). Jika, jumlah UKT golongan tinggi mahasiswa lebih banyak, maka UKT yang diharapkan membantu sesama mahasiswa perlu dipertanyakan. Dan bila terbukti benar, maka hal itu membuktikan kampus mencari keuntugan semata.
Alasan kedua, mahasiswa mandiri tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah pun sangat tidak masuk akal, sebab berdasarkan permenristekdikti No. 6 Tahun 2018, BOPTN atau subsidi pemerintah tidak melarang mahasiswa mandiri mendapatkan bantuan dari pemerintah. BOPTN sendiri merupakan dana yang digunakan untuk menutupi UKT mahasiswa. Sebab, kampus dan kemenristekdikti menentukan besaran uang kuliah tunggal berdasarkan Biaya Kuliah Tunggal (BKT). Jadi, BKT ialah jumlah antara UKT dan BOPTN mahasiswa.
Alasan ketiga, juga perlu dipertanyakan. Pihak kampus mengatakan bahwa SPU akan digunakan untuk menutupi BOPTN mereka yang tidak diberikan. Tujuanya untuk pembangunan gedung-gedung besar UNJ untuk mencari keuntungan, seperti UTC, GOR dan perencanaan wisma atlet. Padahal, Permenristekdikti No. 6 Tahun 2018, menjelaskan BOPTN tidak diperbolehkan digunakan untuk pembangunan fisik. BOPTN hanya boleh digunakan untuk penelitian, honor dosen, dan perawatan gedung. Hal itu tentu saja menyimpang dari kontitusi yang berlaku.
Pendidikan untuk Semua
Berdasarkan uraian di atas, sudah cukup jelas bahwa UNJ secara etik sudah melanggar asas pendidikan. Pendidikan yang tujuanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menimbulkan pemikiran kritis seperti mampu menemukan, menganalisi, mengkritik, dan menciptakan ilmu pengetuan tidak dapat dilakukan. Sebab, pendidikan berhasil menjadi komoditi (barang jual-beli) yang hanya memberikan ijazah sebagai jaminan. Tolak ukur pendidikan hanya sebatas batas selembar kertas. Selain itu, pengaruh komersialisasi pendidikan ialah dibungkamnya pemikiran kritis mahasiswa dan mahasiswa menjadi berpikiran pragmatis.
Khusus SPU, komersialisasi pendidikan terlihat jelas dalam tujuanya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, seperti perencanaan gedung-gedung besar. Dan akhirnya yang menjadi korban ialah mahasiswa dan masyarakat.
Bagi mahasiswa, pendidikan akan mencekik mereka, karena itu mereka akan terpaksa cuti, meminjam uang untuk kuliah, atau bahkan tidak melanjutkan kuliah. Sebab UKT yang ditetapkan untuk mahasiswa tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga mereka.
Sedangkan, bagi masyarakat, mereka menjadi korban keganasan pendidikan mahal. Yang diperkuat dengan pendapat Direktur Kelembagaan Kemenritekdikti, Patmono Suwigno, yang mengatakan hal ini lantaran permasalahan biaya masuk ke perguruan tinggi, di samping kapasitas daya tampung perguruan tinggi, saat memberi penjelasan kepada republika.id (201/11/17) terkait ironi Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi Indonesia.
Bagaimana tidak, APK Pendidikan Tinggi kita hanya 31,1% (PT 4.550), berbanding terbalik dengan negara lain dengan persentase APK lebih tinggi dengan jumlah Perguruan Tinggi lebih sedikit. Artinya, masyarakat yang tidak memiliki modal tidak dapat melakukan mobilisasi sosial. Salah satu cara, untuk melakukan mobilisasi sosial ialah dengan cara menempuh pendidikan tinggi. Namun, gerakan mereka dihambat oleh sistem kapitalisme.
Padahal jelas dalam kontitusi negara diwajibkan memberikan akses pendidikan kepada semua kalangan tanpa diskriminasi. Namun, hal ini tak dapat dilakukan negara. Sebab, negara telah melepaskan tanggungjawabnya kepada perguruan tinggi. Akhirnya, tanggungjawab pihak perguruan tinggi itu digunakan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa UNJ akan memberlakukan SPU untuk periode selanjutnya. Sebab, tidak adanya reaksi dari mahasiswa mengenai SPU akan membuat UNJ sewenang-wenang. Bahkan, memungkinkan SPU selanjutnya akan diwajibkan biayanya.
Oleh karena itu, kami mengajak mahasiswa untuk ikut serta dalam membantu kawan-kawan kita yang ingin menempuh pendidikan tinggi. Agar pendidikan untuk semua dapat dilakukan.
Berdasarkan hal itu, maka Gerakan #ALIANSIMAHASISWAUNJ menyatakan sikap:
1. Menolak dengan tegas segala bentuk uang pangkal, sumbangan dan sejenisnya
2. Menuntut Rektorat menarik kebijakan uang pangkal di UNJ (SPU) karena menutup akses masyarakat menempuh Pendidikan Tinggi
3. Menuntut Rektorat menjalankan demokrasi pendidikan sejati, perihal akses masyarakat ke dalam jenjang Pendidikan Tinggi
Hendrik Yaputra dan Asrul Pauzi H