Dewantara, Jawa Tengah – Pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) sejak tahun lalu sudah dibagi menjadi dua yaitu. Pertama tingkat SD dan SMP sederajat ditangani pemerintah kabupaten/kota, sementara jenjang SMA dan sederajat ditangani pemerintah provinsi.
Di Jawa Tengah PPDB SMA dan sederajat sudah dilakukan secara online yang diikuti 35 kabupaten/kota. Secara umum sistem online ini tidak ada kendala berarti di lapangan.
Namun persoalan muncul karena ada kuota untuk siswa miskin yang disediakan sekolah. Sebab kuota 20 persen yang diatur dalam Peraturan Gubernur Jateng Nomor 64/2018 tentang PPDB SMA/SMK di Jateng tidak memenuhi.
Pada perjalanannya kuota tersebut membengkak dari jatah 20 persen dari kuota SMA sebanyak 28.430 siswa (3.211 kelas), sementara SMK sebanyak 2.772 kelas dengan kuota 40.343 siswa.
Hal ini juga sesuai dengan temuan Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Semarang yang membuka Posko Layanan Pengaduan PPDB Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah 2018/2019.
Jumlah pengguna SKTM sebanyak itu tersebar di berbagai daerah, seperti Kabupaten Semarang (48,95 persen), Rembang (31 persen), Karanganyar (30 persen), dan yang paling sedikit Sragen sebanyak 11,42 persen.
SKTM yang merupakan bukti calon siswa dari keluarga tidak mampu harus diterbitkan kepala desa dan diketahui camat, atau bukti lain yang diterbitkan pemerintah atau pemerintah daerah.
Calon siswa dari keluarga miskin harus membuktikan dengan surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang diterbitkan kepala desa dan diketahui camat, atau bukti lain yang diterbitkan pemerintah atau pemerintah daerah.
Berdasarkan data Pattiro Semarang, pendaftar SMA yang menggunakan surat keterangan tidak mampu (SKTM) per 5 Juli 2018 mencapai 25.720 orang, sementara pendaftar SMK yang juga melampirkan SKTM mencapai 39.425 orang yang totalnya berarti lebih dari 65.000 pendaftar.
Ketua Posko Layanan Pengaduan PPDB Kota Semarang dan Jateng dari Pattiro M. Syofii menyebutkan banyaknya pengguna SKTM itu terindikasi tidak seluruhnya siswa miskin sebab ada siswa dari keluarga mampu menggunakan supaya bisa diterima.
Dibandingkan PPDB SMA/SMK yang ditangani provinsi, diakuinya, PPDB SD dan SMP yang ditangani pemerintah kabupaten/kota, seperti Kota Semarang lebih baik, baik dari regulasinya maupun “database” siswa miskin, sehingga meminimalisasi penggunaan SKTM.
Dalam regulasi yang mengatur PPDB SMA/SMK, baik pergub maupun peraturan kepala disdikbud, penerbitan SKTM sebenarnya sudah diatur, yakni harus selektif dan melalui verifikasi, termasuk sanksi dibatalkan jika terbukti SKTM yang dilampirkan tidak sesuai dengan realitas.
Sekolah kemudian diperintahkan melakukan verifikasi terhadap calon siswanya yang ber-SKTM. Namun, berdasarkan data Pattiro mencatat jumlah pengguna SKTM bertambah 4.672 orang pascaverifikasi dengan data jumlah siswa saat penutupan pendaftaran 6 Juli lalu.
Sekolah, dinilai Syofii tidak optimal melakukan verifikasi terhadap pengguna SKTM karena waktu yang pendek antara verifikasi dan waktu pengumuman, sementara jumlah pengguna SKTM sangat besar, belum lagi karena keterbatasan SDM.
Implikasi SKTM Manipulatif Persoalan penggunaan SKTM manipulatif untuk mendaftar sekolah sebenarnya tidak hanya terjadi pada PPDB SMA/SMK Jateng tahun ini, sebab pada PPDB SMA/SMK Jateng 2017 juga sudah ditemukan, tetapi tidak sefantastis temuan tahun ini.
Pada PPDB SMA/SMK tahun lalu, Disdikbud Jateng juga pernah membatalkan status penerimaan siswa terhadap 168 calon peserta didik pengguna SKTM manipulatif, terdiri atas 90 SKTM di jenjang SMA dan 78 SKTM di jenjang SMK.
Sanksi dibatalkan status penerimaan sudah jelas disebutkan jika terbukti SKTM yang dilampirkan manipulatif. Akan tetapi, implikasi manipulasi SKTM tidak hanya berhenti begitu saja karena menyangkut nasib siswa yang dibatalkan, banyaknya kursi menjadi kosong, hingga ancaman pidana. (Antara)