Berpolitik Dalam Ruang Kelas
Kemampuan untuk mempertanyakan, itulah yang hilang dari pendidikan kita.
Oleh: Hendro Prasetyo
Saya, mungkin sebagian Anda, barangkali masih berpikir praktis soal pendidikan. Kita masuk sebuah lembaga, membayar, lalu menerima materi pelajaran. Berharap pelajaran yang kita terima kelak berguna di masa depan. Setidaknya, itulah pendidikan yang saya tahu. Tak lama, saya teringat pada materi perkuliahan. Saya, yang berkuliah di salah satu jurusan bahasa asing, diajarkan bagaimana berbahasa asing dengan suatu tata sopan saat menerima telepon. Bahkan diajarkan cara menyambut tamu. Ini membingungkan, sebab awalnya saya mengira muatan lebih banyak justru dalam teori kebahasaan. Bukan teknis berbahasa. Menerima telepon atau menyambut tamu, saya pikir itu merupakan materi buat pelajar SMK atau yang serius menggeluti perhotelan. Dibalik itu semua, ternyata ada nilai tersembunyi dari pendidikan.
Nilai-nilai tersirat dalam pendidikan nasional hingga ke dalam ruang kelas inilah yang coba dibongkar Agus Nuryatno. Lewat bukunya, Mazhab Pendidikan Kritis, penulis mengamati kandungan-kandungan politis dalam pendidikan menggunakan teori pendidikan kritis.
Bagi si penulis, pendidikan itu selalu memuat kepentingan, tergantung bagaimana kita memakai dan memaknainya. Pendidikan kritis –oleh pakar pendidikan Prancis, Henry Giroux disebut pendidikan radikal (radical education)— berupa mazhab yang meyakini adanya muatan politis dalam semua aktivitas pendidikan. Tidak ada pemahaman tunggal dalam mazhab ini. Namun tujuan utamanya tetap; memberdayakan kaum tertindas dan mengubah ketidakadilan sosial melalui pendidikan.
Dalam buku ini dijelaskan, pendidikan kritis berdasar pada tiga mazhab teori sosial dunia: Mazhab Frankfurt, Hegemoni Gramsci dan pendidikan emansipatoris Freire. Dari Mazhab Frankfurt diambil empat teori klasik yakni Freud, Kant, dan Hegel. Mazhab ini lebih menguak kandungan ideologi yang menyelimuti realitas. Para pemikir kritis ini berusaha bagaimana teori ini dapat mewarnai perubahan tata sosial manusia.
Gramsci mengamati lebih dalam lagi. Baginya, segala aktivitas manusia tak bisa lepas dari pengaruh hegemoni. Hegemoni, termasuk pula di pendidikan, adalah proses pembentukkan kesadaran melalui praktek sosial, politik, penjunjungan nilai dan ideologi. Kaum tertindas pun dapat membangun hegemoninya sendiri untuk lepas dari kuasa kelompok dominan (penguasa).
Terakhir yakni teori Freire yang lebih menjunjung kemanusiaan. Menurutnya, manusia itu incomplete and unfinished beings (sosok tak lengkap dan tak pernah selesai). Dengan begitu, aktivitas pendidikan yang dapat merusak perkembangan manusia menjadi lebih baik, praktis menurunkan derajat manusia itu sendiri. Manusia harus sama-sama menjadi entitas subyek yang otonom, bukan menjadi objek. Tujuan politik pendidikan Freire sangat jelas, yaitu mengemansipasi kaum tertindas. Pendidikan harus bertujuan mengembangkan kesadaran kritis peserta didik, yang pada akhirnya mereka akan memiliki hak politik.
Penulis juga menambahkan beberapa artikelnya yang cukup menarik tentang kondisi pendidikan sekarang. Menurutnya, pendidikan sudah larut dalam budaya positivisme dan terseret arus besar kapitalisme. Positivisme memisahkan relasi kepentingan dan keilmuan. Pendidikan hanya proses memindahkan ilmu dari guru ke murid, tanpa mempertanyakan apa nilai dan kepentingan yang tersirat di dalamnya.
Akhirnya, sistem dominan kapitalisme dapat masuk melalui pendidikan. Sistem yang menyembah modal ini melahirkan diskriminasi pada kaum miskin. Lembaga pendidikan mulai selektif menerima siapa yang masuk bergantung pada modal. Yang lemah semakin dijauhkan dari pendidikan. Pendidikan sebagai mobilitas sosial hanya ilusi bagi si lemah.
Penulis yang lulusan pesantren ini juga tak lupa membahas pendidikan Islam. Dewasa ini, pola pendidikan Islam sama saja seperti pendidikan umum. Polanya stagnan, tanpa kritik dan masih berkutat hal-hal normatif; semisal soal etika dan moralitas. Pendidikan Islam tidak pernah keluar tempurung bicara masalah kontemporer dan mengembangkan kesadaran kritis agar mampu mengubah realitas yang bobrok ini. Dengan kesadaran kritis, pendidikan Islam diharapkan mampu melahirkan generasi insan kamil dan mampu menjadi khalifah di muka bumi.
Bicara politik dalam pendidikan sepertinya terlalu mengawang jauh. Namun, ketika berada di kelas sebenarnya kita masuk ruang politik. Ada struktur guru dan murid, dan hubungan diantaranya bersifat politis. Bagaimana kita memainkan peran dalam ruang kelas menunjukkan sikap politik. Kita akan kehilangan hak politik saat dicabut kesadarannya untuk mempertanyakan atau bahkan menggugat kepentingan dalam pendidikan. Siapa yang diuntungkan dalam sistem pendidikan kita sekarang? Atau kita hanya membayar untuk nantinya mengisi data penganggur baru dinas sosial?
Buku ini sangat penting bagi siapa saja. Karena hidup kita tak akan lepas dari politik dan pendidikan. Gaya bahasanya lugas, padat dan tak bertele-tele. Hal lebihnya adalah setiap teori di buku ini dilengkapi juga kritikannya. Menghadirkan keberimbangan. Tentu hal ini tak lepas dari usaha si penulis membangun wacana pendidikan kritis yang bukan tanpa kritik.
Judul buku : Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan
Penulis : Dr. M. Agus Nuryatno
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Tahun terbit : Juli 2008
Tebal buku : 133 halaman