Dewantara – Konten yang berisi informasi bohong atau hoaks terus menyebar setiap hari di internet. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika ada 175 konten hoaks yang teridentifikasi di internet sepanjang Januari 2019, 81 dia antaranya berkaitan dengan pemilu . Atau jika dirata-rata 4-6 konten dengan beragam isu setiap harinya.
Gerakan literasi yang dilakukan berbagai kelompok di berbagai wilayah Indonesia tentu dapat menjadi sumbangsih tersendiri dalam mengatasi penyebaran informasi bohong atau hoaks, materi kekerasan, ujaran kebencian dan lain-lain.
Penyebaran hoaks di media online dapat mudah diatasi karena masyarakat dapat melaporkan ke Dewan Pers jika menemukan konten hoaks, ujaran kebencian, maupun konten yang berisi kekerasan. Media online yang terbukti bersalah kemudian diwajibkan meminta maaf kepada publik. Ada wasit yang memutus konten tersebut.
Di sana letak tanggung jawab terhadap publikasi konten ada di media online. Tidak seperti media sosial atau raksasa-raksasa digital yang selama ini menjadi tempat subur tumbuh kembangnya hoaks di internet. Facebook, Twiter, Google, Youtube tidak memiliki pertanggungjawaban sebagaimana media online (pers) yang diwajibkan tidak menerbitkan konten-konten negatif tersebut. Kalaupun terbukti mereka juga tidak ada kewajiban meminta maaf ataupun sanksi-sanksi yang mengancam perusahaan digital tersebut.
Jawabannya simple, karena yang membuat konten tersebut mereka bukan perusahaan. Melainkan individu-individu. Sekilas jawaban tersebut terasa betul, tapi jika kita lihat siapa yang menikmati keuntungan dari konten tersebut yaitu raksasa-raksasa digital itu.
Karena itu, sudah saatnya raksasa-raksasa digital ini bertanggung jawab penuh terhadap konten-konten yang menyebar lewat aplikasinya. Memang raksasa-raksasa digital itu sudah melakukan kerjasama dengan beberapa media dan kerjasama dengan sejumlah lembaga untuk mengatasi penyebaran hoaks. Tapi itu hanyalah remah-remah dari keuntungan raksasa-raksasa digital ini.
Apalagi kalau mereka tidak membayar pajak, sementara media massa harus membayar pajak. Tentu sekian persen lagi remah-remah keuntungan raksasa digital yang diberikan ke perusahaan atau lembaga yang digandengnya.
Belum lagi, kalau mereka menikmati secara diam-diam setiap klik bait dari perseteruan antar pendukung yang mungkin hingga berjuta-juta komentar dari para pendukung calon. Atau pihak-pihak yang cuwawakan di media sosial.
Karena itu solusinya, tentu satu ini. Denda yang luar biasa bagi Facebook, Twitter, Youtube, Google, Instagram dan kawan-kawan lainnya jika ditemukan konten hoaks, kekerasan dan sejenisnya.
Indonesia juga bisa mencontoh negara tetangga seperti Australia yang berencana membuat UU Media Sosial dan akan menjatuhkan denda jutaan dolar bagi media sosial yang tidak mencabut konten yang mengandung materi kekerasan.
Jadi literasi memang perlu, tapi yang lebih penting adalah mengobati pangkal masalah dari penyebaran hoaks, ujaran kebencian, materi kekerasan dan sebagainya sejak hulunya yaitu tanggung jawab atau larangan menerbitkan konten tersebut di semua media baik media online maupun media sosial.
Penulis: Sasmito