Ada tulisan yang menarik dari surat kabar lokal Tangerang yang berjudul “Tiap Anak Punya Kecerdasan” (ini tulisan Ahmad Muttaqien Tanjung, M. Pd). Pada tulisan tersebut sang penulis menekankan pentingnya pendidikan dilihat dari perspektif perempuan. Melihat tulisan tersebut saya jadi teringat akan perkataan ayah saya bahwa “indung tangkal rahayu bapa tangkal darajat” yang kurang lebih artinya adalah seorang ibu merupakan tempatnya kasih sayang dan ayah adalah tempatnya kemulian.
Hal ini senada dengan sifat Tuhan yang digambarkan oleh kitab suci orang Islam bahwa sifat yang pertama kali muncul adalah kasih sayang, oleh karena itu disetiap awal permulaan surat selalu dimulai dengan sifat ini. Namun yang paling menarik adalah pada surat ke sembilan tidak terdapat kalimat tersebut karena disinilah letak pentingnya sifat Tuhan dalam wujud kemuliaan dan kemuliaan tidak bisa tidak harus memiliki ketegasan dalam sikap.
Contoh paling nyata yang bisa kita lihat dan rasakan dalam keseharian adalah sinar matahari yang begitu penuh dengan kasih sayang, tidak pernah sang mentari menolak memberikan kehangatannya hanya karena berdasarkan cantik atau jelek, tua ataupun muda. Namun terkadang sinar matahari bisa sangat menyilaukan dan membutakan. Atau laksana gunung yang tidak pernah tersenyum ketika dinjak oleh wanita muda nan cantik jelita dan tidak pula menangis ketika nenek tua nan buruk rupa menginjaknya. Tapi jangan lupa bahwa gunung pun memiliki kuasa untuk bisa merusak apa saja jika kita tidak memahami hakikat keberadaannya. Oleh sebab itu dalam kaidah tasawuf seorang guru sufi selalu menekankan perlunya memiliki sifat teguh laksana gunung dan tidak pilih kasih antara sesama.
Manusia makhluk yang sempurna
Jika kita mendengar perkataan yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sempurna tentunya orang tersebut belum memahami makna kesempurnaan dan merupakan tanda bahwa orang tersebut tidak memiliki rasa syukur pada Sang Pencipta. Dibandingkan dengan malaikat pun manusia jauh lebih unggul apalagi jika dibandingkan dengan iblis. Baik iblis dan malaikat keduanya tidak memiliki kehendak untuk bebas menentukan kehidupannya. Bahkan ketika terjadi dialog tentang penciptaan manusia, malaikat pun tidak bisa membantah perkataan Tuhan hanya bisa mengiyakan saja sedangkan iblis hanya bisa pasrah untuk menjadi antitesis dari malaikat demi terwujudnya kehendak Sang Khalik yaitu menjadikan manusia sebagai pengelola bumi ini.
Lantas sudahkah kita mengoptimalkan keistimewaan kehendak bebas tersebut dalam hidup ini? Jika memang belum bagaimana cara agar kehendak bebas tersebut menjadi kekuatan dahsyat yang mampu menjadi rahmat bagi semesta alam? Jawabannya ada pada pendidikan. Lantas pendidikan yang seperti apa yang mampu mewujudkannya?
Kearifan Lokal
Jika kita membaca dan mendengar kondisi pendidikan di dunia saat ini tentunya kita akan membandingkan kondisi pendidikan negara kita dengan negara lain, dan untuk saat ini negara yang dianggap memiliki sistem pendidikan terbaik adalah Finlandia (Baca juga: Finlandia Akan Menjadi Negara Pertama Yang Menghapus Mata Pelajaran ) Mengapa Finlandia dianggap memiliki keunggulan tersebut karena negara tersebut menyadari betul bahwa inti pendidikan terletak pada pengharagaan terhadap kehendak bebas setiap manusia.
Mungkin kita merasa kagum dan tentu saja kita ingin meniru langkah dari negara Finlandia namun jangan lupa, pencapaian yang dilakukan oleh negara Finlandia bukanlah hal yang asing bagi negeri ini. Kesadaran tersebut sudah ada sejak lama dan terkristalisasi dalam pemikiran tokoh pendidikan kita yang bernama Ki Hajar Dewantara. Beliau menerjemahkannya ke dalam Taman Siswa dan pemilihan kata taman merupakan isyarat bahwa begitu luas jangkauan pemikiran beliau agar pendidikan kita tidak tersekat dan terkotak-kotakan dalam kata yang bernama sekolah apalagi sekolah merupakan bentuk pengkastaan kolonial Belanda yang merupakan wujud penjajahan yang sangat halus dan tidak kentara.
Dua sisi yang sama
Sejarah selalu memberikan pelajaran terbaik dalam hidup ini. Dalam rentang ruang dan waktu telah banyak peradaban yang memiliki masa gilang gemilang dan akhirnya hilang entah kemana. Setiap zaman tentunya memiliki kekhasan tersendiri namun nilai-nilai dan prinsip pokok kebaikan tetaplah sama.
Rusaknya suatu peradaban adalah ketika hilangnya penghargaan terhadap anugerah yang bernama kebebasan. Padahal kebebasan merupakan sisi lain dari wajah yang bernama tanggung jawab. Ibarat keping uang logam antara kebebasan dan tanggung jawab merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Hanya orang yang bebas saja yang bisa dimintai pertanggungjawaban dan orang yang bertanggung jawab adalah orang yang memiliki kebebasan. Tidak mungkin bayi kecil nan mungil memiliki tanggung jawab untuk menafkahi keluarga karena memang tidak memiliki kebebasan untuk itu dan tidak mungkin pula seorang pencuri tidak bertanggung jawab atas barang curiannya jika dia tidak memiliki kebebasan untuk berbuat seperti itu.
Langkah awal perubahan memanglah berat, tidak mudah memang. Apalagi jika berbicara mengenai makhluk yang bernama manusia selalu saja ada variabel lain yang sulit dipahami akan tetapi justru varibel tersebut yang akan membawa ke arah mana rumah bangsa yang bernama Indonesia. Apakah menuju kehancuran atau masa keemasan. Itu semua merupakan bentuk kebebasan yang menjadikan kita istimewa di antara makhluk Tuhan lainnya.
Tangerang, 6 April 2017
mettkoddok@gmail.com