Pendidikan sejarah adalah pendidikan yang berkaitan dengan manusia dan kemanusiaan. Peristiwa sejarah adalah peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia. Peristiwa sejarah menggambarkan perjuangan, keberhasilan, dan kegagalan manusia dalam menegakkan jatidiri bangsanya. Keberhasilan dan kegagalan adalah suatu dinamika yang harus dipelajari generasi baru untuk dijadikan pelajaran dan dikembangkan menjadi sesuatu yang lebih baik dalam memberikan warna jatidiri bangsa
Kuntowijoyo dalam ‘Pengantar Ilmu Sejarah’ (1999) pada jenjang pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) yang peserta didiknya sudah bernalar, pembelajaran sejarah harus diberikan secara kritis. Mereka diharapkan dapat berpikir mengapa sesuatu terjadi, apa sebenarnya yang telah terjadi, dan ke mana arah kejadian-kejadian itu. Said Hamid Hasan (2017) juga menyatakan Dalam materi pembelajaran, pendidikan sejarah harus banyak memasukkan unsur-unsur kehidupan kemanusiaan beserta dengan pengorbanannya. Buku pelajaran sejarah adalah buku untuk tujuan pendidikan dan oleh karena itu harus mampu menggabungkan antara unsur-unsur akademik dan unsur-unsur pedagogik.
Pemikiran maupun pemahaman-pemahaman seperti telah disampaikan oleh Kuntowijoyo dan Said Hamid Hasan di atas akan terkesan ‘kuno’ apabila dihadapkan dengan wacana Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dimana ada rencana penyederhanaan kurikulum yang akan diterapkan Maret 2021. Dibuktikan dengan file sosialisasi Kemendikbud tentang penyederhanaan kurikulum dan asesmen nasional.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana membuat mata pelajaran sejarah menjadi tidak wajib dipelajari siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), sedangkan pada jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mapel sejarah bahkan akan dihapuskan.. Di kelas 10, sejarah digabung dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Sementara Bagi kelas 11 dan 12 mata pelajaran sejarah hanya masuk dalam kelompok peminatan yang tak bersifat wajib. Mata pelajaran sejarah bisa dipelajari siswa kelompok peminatan IPA, IPS, bahasa. Namun, tidak bersifat wajib.
Pelucutan Mapel Sejarah
Membaca berita Media Indonesia “Penyederhanaan Kurikulum masih Kajian Internal” (23/9/2020), penulis menilai Kepala Puskurbuk Kemendikbud menyatakan, “ada banyak versi atas hasil kajian internal dan diskusi tentang kurikulum” , memberikan kesan bahwa belum ada jaminan bahwa mapel sejarah tetap masuk ke dalam kurikulum pembelajaran pada jenjang SMK dan tetap menjadi mapel wajib pada jenjang SMA. Pernyataan Kepala Puskurbuk Kemendikbud juga sama ‘mengambang’ dengan video klarifikasi Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim (20/9/2020), yang mana penekanan beliau bahwa “tidak ada sama sekali penghapusan mapel sejarah dalam kurikulum nasional”, yang tetap tidak menjawab pertanyaan besar guru, dosen, dan berbagai elemen kebangsaan, yaitu: apakah sejarah akan tetap menjadi mapel wajib di SMA? Dan apakah mapel sejarah akan dihilangkan di SMK?
Persoalannya adalah, pertama nalar para pejabat Kemendikbud terutama bagian Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan kurang memahami nilai-nilai pendidikan, karena bukannya memperbaiki atau merevisi pelajaran sejarah di sekolah, malah melucuti mata pelajaran sejarah hanya sebagai pilihan, bukan keharusan. Pada jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bahkan dihilangkan, sehingga akan memaksa guru-guru sejarah pada jenjang SMK mau ganti mengajar mata pelajaran IPA, IPS, atau Dasar-dasar Kejuruan. Kalau begitu caranya, generasi muda (baca: peserta didik) dikuatirkan tidak akan pernah belajar sejarah. Sudah pernah tahu ada akun di twitter yang viral di twitter karena nge-tweet, “plss gw ngira soekarno hatta itu satu nama”?
Persoalan kedua, apa iya tidak sadar bahwa pelajaran sejarah itu juga punya dua sisi. Satu sisi sejarah memliki muatan politis, dan satu sisi lagi dan sejarah adalah alat pemersatu. Sebab hanya di dalam sejarah lah kita mengenal jati diri kita, identitas kita sebagai suatu bangsa. Dari mana kita berasal, sekarang posisi kita dimana, ke depan mau berjalan ke arah mana. Persoalan ketiga, Jika pelajaran sejarah menjadi tidak wajib, atau menjadi mata pelajaran (mapel) pilihan, bagaimana jika pada kelas IPS dari empat mapel pilihan, kemudian mapel sejarah tidak menjadi pilihan mayoritas peserta didik. Bukankan generasi muda berpotensi kurang atau tidak mengenal nilai-nilai nasionalisme dan kepahlawanan para founding fathers bangsa Indonesia? Lalu bagaimana diskusi tentang keberagaman di Indonesia, tentang kenapa kita kok bisa beragam dan bagaimana sejarah kita mengelola keberagaman kita sejak era klasik (Hindu-Buddha) sampai era Reformasi 1998?
Generasi Buta Sejarah
Jadi kalau Sukarno bilang,”jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Kalau Juri Lina (2004) mengatakan “untuk menghancurkan suatu bangsa atau negara, maka hancurkan ingatan (sejarah) generasi mudanya” Dan kalau Herawati Supolo-Sudoyo belajar bio-molekuler untuk mempelajari genetika manusia Indonesia, kemudian menyatakan “tidak ada pemilik gen murni di Nusantara dan Manusia Indonesia adalah campuran beragam genetika.” Maka benteng dari terjerumusnya sebuah generasi, terjerumusnya suatu bangsa atas kesalahan-kesalahan masa lalu, ya salah satu ujung tombaknya pembahasan kritis pada kelas-kelas pelajaran sejarah. Dan untuk terus waspada merawat persatuan dan kesatuan bangsa dan menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik di masa yang akan datang, ya salah satu upaya awalnya pada pembelajaran sejarah dengan strategi pembelajaran tema-tema sejarah.
Sehingga yang perlu diubah adalah kurikulum dan metode pembeajarannya, agar peserta didik dapat menerima pelajaran sejarah dengan mudah, gampang dimengerti, tidak melulu berkutat menghapal tahun-tempat-nama tokoh-dan peristiwa. Bukan malah menjauhkan peserta didik dari pelajaran sejarah. Karena kalau demikian lahir generasi peserta didik yang buta sejarah. Suatu generasi peserta didik yang mungkin bagus dalam penguasaan teknologi dan bagian dari industri, namun kering dari segi nilai-nilai karakter.
Ahmad Muttaqin, M.Pd.
Guru SMAN 3 Cilegon, Pengurus Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Banten.