“Pendidikan adalah tiket ke masa depan. Hari esok dimiliki oleh orang-orang yang mempersiapkan dirinya sejak hari ini” – Malcolm X
Pada bulan Januari dan Februari setiap tahunnya, sebagian orangtua sudah disibukkan dengan kegiatan memilih sekolah buat anaknya. Rasa semangat dan khawatir bergelut menjadi satu.
Beberapa tahun belakangan, orientasi orang tua dalam memilih sekolah bukan lagi “negeri atau swasta”. Muncul beberapa indikator baru yang lebih spesifik. Dulu, sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal 50 ayat 3 dari Undang-undang no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pada tahun 2013, ada pembagian sekolah berdasarkan kurikulumnya, menjadi Sekolah belum bertandar nasional, lalu Rintisan Sekolah Standar Nasional (RSSN), Sekolah Standar Nasional (SSN), Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Ketika MK menghapus peng-klasifikasian sekolah tersebut, banyak pihak bersyukur karena pendidikan seperti kembali “bebas” dari stigma diskriminasi maupun pengelompokkan berdasarkan kemampuan ekonomi dan “status” sekolah.
Hari ini, seluruh sekolah menggunakan kurikulum nasional sesuai kewenangan lembaga pemerintah yang menaunginya. Sekolah umum jenjang SD, SMP, SMA, SMK, dan Sekolah Khusus (SKH) berada dalam naungan dan menggunakan kurikulum nasional dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Lalu sekolah-sekolah jenjang MI, Mts, MA, dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) berada dalam naungan dan menggunakan kurikulum nasional dari Kementrian Agama (Kemenag). Namun pilihan sekolah-sekolah pada hari ini pada prakteknya jauh lebih beragam lagi.
Ada pilihan “sekolah umum+muatan agama terpadu, atau sekolah umum”. Sekolah-sekolah berbasis muatan agama terpadu saat ini telah mengambil tempatnya pada masyarakat kota-kota besar di Indonesia. Masyarakat percaya bahwa muatan kurikulum nasional yang didukung oleh muatan agama terpadu akan membentuk karakter peserta didik menjadi pribadi yang unggul. Asumsi itu bukan omong kosong.
Pada paparan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada bulan Juni 2016, diungkapkan fakta hasil Ujian Nasional (UN) tahun 2015 dari jurusan IPA Sekolah Menengah Atas (SMA) di Indonesia. Dari hasil konversi data nilai UN tersebut, apabila kemudian sekolah-sekolah diklasifikasikan berdasarkan yayasan, maka akan ditemukan bahwa sekolah-sekolah dari yayasan yang berbasis agama memiliki ratan-rata nilai yang paling tinggi. Ada 3 yayasan berbasis agama menempati urutan teratas. Pertama adalah Yayasan Penabur, dengan rata-rata nilai UN jurusan IPA diatas 85 (sekitar 86). Kedua ditempati oleh Yayasan Kanisius, dengan rata-rata nilai UN jurusan IPA tepat di angka 80. Dan ketiga, Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), dengan rata-rata nilai UN di atas 70 (sekitar 72). Sedangkan sekolah negeri rata-rata nilai UN jurusan IPA adalah sekitar 62.
Ada juga pilihan lainnya, yaitu pilihan “sekolah konvensional di kelas atau sekolah alam”. Ketika sekolah konvensional lebih menekankan pada pembelajaran di dalam kelas, dengan sumber belajar ada pada guru dan teks, maka sekolah alam lebih menekankan pada alam sebagai sumber belajar. Peserta didik pada sekolah alam pada jenjang SD banyak beraktivitas bersentuhan dengan lingkungannya dan menekankan pada life-skills. Sehingga kekuatan peserta didik sekolah alam bukan pada sisi kognitif (pengetahuan) tetapi lebih kepada sisi afeksi (sikap) dan psikomotorik (ketrampilan).
Realistis Memilih Sekolah
Ketika harus memilih sekolah dari sekian banyak kategori pilihan, penulis menyarankan agar orangtua bersikap realistis. Orangtua harus belajar menoleransi jika dihadapkan pada kenyataan bahwa sekolah tidak memberi sesuatu kepada anak sesuai harapan orangtuanya. Setidaknya ada empat pertimbangan yang menurut penulis tidak dapat diabaikan.
Pertama, perkirakan kemampuan (dan kebahagiaan) anak. Tidak perlu memaksakan anak bersekolah di tempat yang suasana persaingannya sangat kuat jika orangtua tahu anaknya tidak tahan stress dan mudah putus asa. Kedua, perkirakan kesanggupan fisik anak. Tidak perlu memaksakan anak bersekolah di lokasi yang jauh, terlebih jika orantua mengenali fisik anaknya sering tidak fit. Ketiga, pertimbangan tentang sekolah lanjutannya. Seperti misalnya anak dari sekolah alam perlu adaptasi ekstra untuk dapat duduk tenang di sekolah reguler. Keempat, pertimbangkan masalah biaya, kita mahfum, tidak semua orangtua memiliki dana pendidikan yang tak terbatas. Jika orangtua memilih bekerja ekstra demi menyekolahkan anak, ada baiknya si anak diajari untuk menghargai usaha itu sehingga ia belajar dengan baik.
Kuncinya Tetap Orangtua
Terlepas dari apapun pilihan sekolahnya, kunci keberhasilan anak memang terletak pada orangtua. Hal itu tidak lepas dari kewajiban orangtua menanamkan dasar-dasar kecintaan belajar dan kemauan si anak untuk mengembangkan diri. Seperti misal, kebiasaan membaca bacaan yang bagus bakal lebih efektif jika dicontohkan oleh orangtua di rumah.
Pendampingan akan berhasil jika orangtua menerapkan sikap menghargai dan terbuka pada pendapat anak. Dengan begitu, anak merasa bebas untuk mengemukakan ide-idenya dan selalu bersemangat mengembangan diri.
Maharani, S.Sos., MM.
Dosen, pendiri Business Event Research Consultant