Pada 3 Januari 2021, Pak Taufik berusia 85 th. Saya sangat beruntung dapat mengenalnya dan menyimak pemikirannya. Pertama kali dengar nama Pak Taufik pada tahun 1989 dari kakak kelas yang menyebut namanya dengan penuh kekaguman dalam diskusi. Dua tahun kemudian saya sebagai Ketua Umum LS2KI (Lembaga Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam) mengundangnya. Saat itu jarak tempuh dari Ciputat ke kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jl Gatot Subroto terasa sangat jauh dan ongkosnya mahal untuk ukuran mahasiswa seperti saya. Perjalanan pertama gagal bertemu. Kedua dan ketiga juga begitu. Baru pertemuan keempat saya bisa bertemu. Saya mencegatnya di depan lift. Sambil berjalan menuju ke ruangannya, saya menyapa, memperkenalkan diri dan memintanya menjadi narasumber. Sangat tidak sopan, memang. Jadi wajar pula jika Pak Taufik meresponnya acuh tak acuh, dingin, meremehkan dan ujungnya menolak dengan nada merendahkan. Dalam hati saya berkata: ternyata benar Pak Taufik itu sangat cerdas dan angkuh, seperti yang sering saya dengar saat itu.
Saya terus mengikutinya hingga setengah diusir, kenapa kamu mengikuti saya? Saya terdiam dan langsung menjelaskan. Kami perlu penjelasan akademik dari bapak untuk buku Sejarah Umat Islam Indonesia karena Pak Kunto (sejarawan Kuntowijoyo) sakit. Sekian detik, tiba-tiba Pak Taufik mengiyakan dengan jadwal yang ditentukan sendiri. Itulah keajaiban yang saya alami. Saya bangga pernah dihardik, diacuhkan dan direndahkan oleh sejarawan Taufik Abdullah. Tulisan dan gaya bicaranya sangat menarik. Saya jadi rajin membaca dan mengikuti ceramahnya di beberapa tempat di Jakarta, tentu saja dengan bolos kuliah. Seingat saya Pak Taufik memanggil nama saya dengan benar tahun 1994, saat itu saya wartawan Majalah Panji Masyarakat. Senang rasanya Pak Taufik menyebut nama saya. Hingga sekarang saya menjadi salah seorang pengagumnya dan tetap menjaga kontak. Sesekali saya telp atau berkabar via WA. Pemikiran Pak Taufik sangat mempengaruhi para mahasiswa sejarah hingga diantara kami ada yang menyandang sejarawan setelah menyelesaikan studi doktoral ilmu sejarah. Saya mempunyai banyak kenangan menyenangkan dan mendidik dengan Pak Taufik. Bangga karena saya dikenalnya hingga sekarang.
Pada tahun 2016, saya sebagai Kaprodi Pendidikan Sejarah UNJ mendapat tugas dari Rektor UNJ Prof. Djaali untuk membantu permintaan Gubernur NTB menyelenggarakan Seminar Nasional pengusulan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid sebagai Pahlawan Nasional. Sebagai bawahan, saya berusaha melaksanakan tugas ini dengan sebaik-baiknya. Kepada pihak pengusul, saya mengajukan tiga nama sebagai pembicara: Prof Taufik Abdullah, Prof Joko Suryo. dan Prof Hariyono. Ketua pengusul menerima usulan ini. Suatu hari saya telp Pak Taufik. Sangat ramah. Percakapan via telp berlanjut beberapa hari kemudian di ruangannya dalam Perpustakaan LIPI. “Saya tidak seperti dulu lagi Kur. Tidak bisa menulis secepat dulu,” itulah potongan kalimat yang saya ingat waktu memintanya menulis makalah untuk seminar nasional TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Saya bilang, “waktunya tidak terburu2 Pak. Masih lama.” Alhamdulillah Pak Taufik bersedia. Saya beruntung sekali karena mendapatkan “kuliah private” tentang sejarah Indonesia dalam perspektif social history dari Pak Taufik. Gaya bicaranya masih sangat menarik, seperti dulu. Saya pun menyimak dengan nikmat, seperti tahun 1980-an dan 1990-an. Tak terasa 2 jam berlalu sudah. Senang rasanya bersilaturahmi dengan Pak Taufik.
Pada 1995 saya terpaksa hengkang dari Majalah Panji Masyarakat karena masuk kelompok.yang kalah dalam dinamika internal. Lalu melamar ke Majalah SENA yang diasuh alm Pak Masdun Pranoto, wartawan senior mantan Ketua Umum PWI Jaya dan Pemred Harian Angkatan Bersenjata. Pada 1996 Pak Masdun.menugaskan saya hadir dalam pertemuan sejarawan. Pembicara utamanya Pak Taufik Abdullah. Ada nada marah dilontarkan karena pendidikan sejarah dinilai tidak mempunyai kontribusi dalam meningkatkan kualitas SDM berdaya saing tinggi. Saat itu memang ramai diperbincangkan ketidakpastian masa depan dalam.pergantian abad (4 tahun lagi memasuki abad ke-21) dan Indonesia sebagai salah satu “Macan Asia” setelah keberhasilan pembangunan ekonomi. The Asian Miracle, itulah istilah yang terdengar saat itu. Pak Taufik geram terhadap pendapat yang melecehkan pendidikan sejarah. Saya menikmati gayanya yang diselengi humor juga. Masalah ini terpendam Isyu lain yang lebih hot; suksesi nasional. Artinya menolak pencalonan kembali Pak Harto sebagai Presiden. Pak Masdun meminta saya untuk.mengikuti berita ini. Jadi melupakan ide Pak Taufik. Kira-kira 13 tahun kemudian saya teringat isi pidato Pak Taufik saat memperbaiki proposal disertasi pada ilmu sejarah FIB UI. Alhamdulillah, makalahnya dimuat dalam buku kumpulan makalah Pak Taufik. Karena saya hadir dan mengetahui konteks zaman Isyu itu, jadi mempermudah saya merumuskan permasalahan disertasi. Terima kasih Pak Taufik. Pemikiran bapak sangat membantu penelitian disertasi saya tentang pendidikan sejarah di Indonesia.

Saya mengucapkan terima kasih kepada mba Rika, wartawati Kompas yang mengirimkan kenangan saya diliput Kompas 28 Nopember 2001. Foto saya bersama dua sejarawan terkemuka, 19 tahun yang lalu: Prof. Taufik Abdullah dan Prof. Azyumardi Azra. Terima kasih juga untuk redaksi Kompas dan wartawannya yang meliput pada saat itu mas Imam. Saya sangat kaget karena merasa belum pantas disejajarkan. Efeknya luar biasa. Banyak seloroh bermunculan. Liputan ini semakin mendekatkan diri saya dengan Pak Taufik. Saya masuk kepengurusan pusat MSI Periode 2001-2006. Sementara Pak Taufik Ketua Umum Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI). Seingat saya, saya sempat sowan dan mohon maaf karena fotonya disejajarkan dengan foto anak bau kencur. Belum genap satu tahun saya lulus Magister Ilmu Sejarah dari FIB UI.
Abdul Syukur; Dosen Prodi Pendidikan Sejarah UNJ