“…Kebesaran bangsa dan kemakmuran tidak pernah jatuh dari langit. kebesaran bangsa dan kemakmuran selalu “kristalisasi” keringat. Ini adalah HUKUM, yang kita temukan dari mempelajari sejarah. Bangsa Indonesia, tariklah moral dari hukum ini…”
(BUNG KARNO)
Dewantara.id, Jakarta – Mari kita kembali mempertanyakan bentuk dan karakter kebangsaan serta kenegaraan kita yang bernama Indonesia. Ada ide tentang demokrasi, isu tentang akan dibentuknya negara komunisme, tidak ketinggalan sempat muncul pula wacana tentang Negara sistem federalisme, ada juga realisasi Otda (Otonomi Daerah) dan kemudian Perda syariat. Dari karekter bangsa yang egaliter, sopan dan sangat santun, sampai masalah burung Garuda aka Pancasila dengan segala tafsirannya, yang walaupun terkadang tafsiran tersebut sedikit nyeleneh, sempat juga membuat diri terbahak.
Namun ironis, karena ada kalanya ke-nyeleneh-an itu sesuai dengan kenyataan dinamika kita dalam kehidupan berpolitik-berbangsa. Sering memang diadakan berbagai dialog yang membahas hal demikian, yang merupakan pertanda baik. Sebuah kesempatan untuk kembali bercermin, melihat kembali cara pandang kita dalam kehidupan bernegara, seperti cara pandang kita yang menempatkan pancasila sebagai suatu yang keramat, suci, sehingga terkesan sloganistik, bisa kemudian dipatahkan.
Kenyataan mengenai Perda Syariat yang selalu hangat diperbincangkan – yang terbaru tentang resistensi Gubernur Aceh yang menjadi tersangka KPK terhadap eksekusi potong tangan terhadap dirinya – seperti menjadi semacam kesimpulan segelintir orang bahwa kesepakatan konstitusi dan konsepsi negara dan bangsa ini, hasil Founding Fathers kita, sepertinya belum final.
Faktanya memang adanya komite Penegakan Syariat Islam di Sulsel, Riau, dan Garut beberapa tahun lalu adalah kenyataan yang mengawali dari apa yang disebut dengan Perda Syariat Islam saat ini yang menemukan tempatnya di Bumi Aceh.
Dalam kacamata demokrasi sebagian berpendapat wajar saja itu dilakukan. Namun perlu diingat, apapun itu sudah seharusnyalah mempertimbangkan kesatuan bangsa yang majemuk. Keberagaman yang semakin hari terlihat tingkat kohesinya sudah mulai luntur. Diatas kertas, pastinya hukum kita dibangun diatas semua sendi kemajemukan bangsa yang mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial. Tapi bicara lapangan? Itu hal lain. Runyam bung..
Memang adalah ironis jika sebaliknya yang terjadi. Inventarisir saja sendiri. Dan biarkan saya mengeneralisasi. Bahwa diatas itu semua tidak bisa dipungkiri pembenahan yang terjadi bukan hanya pada perangkat konstitusinya saja – seperti pada awal-awal paragraf tulisan ini – justru yang sekarang mendesak adalah lingkup manusia yang menjalankannya.
Siapakah Kita
Diketahui pula bahwa berbagai usulan yang dicetuskan melalui proses refleksi yang entah disadari atau tidak berangkat dari hasil karya intelektual oksidental (Barat), bukanlah hal yang baru, setidaknya yang sering diungkit adalah polemik Sutan Takdir Alisyahbana yang Pro-Barat vs Taufik Ismail cs.
Jika mau, pembacaan terhadap sejarah bangsa seperti menjadi batu pijakan sempurna dalam memahami Indonesia, yaitu bagaimana Indonesia muncul dan membentuk suatu satu kesatuan yang terdiri dari 17.000 pulau 600 Bahasa dan 350 etnik, menjadikan bangsa yang paling beragam disepanjang sejarah dunia.
Kenyataan semacam ini menimbulkan pertanyaan bahwa apakah Indonesia memiliki dasar-dasar filosofis dan historis untuk menakdirkan dirinya sendiri sebagai sebuah kesatuan? sudah barang tentu dibutuhkan (lagi-lagi) refleksi historis perjalanan bangsa ini untuk mengetahui jawaban yang dicari.
Ada sudut pandang, bahwa kenyataanya bangsa ini dibangun dari sekedar kesamaan indentifikasi kolonialnya, entah itu Inggris, Belanda, Portugis atau mungkin Majapahit, sehingga Ben Anderson dengan ironiknya mengatakan bahwa dengan menggunakan pendapat tersebut maka bukan hanya Singapura dan Malaysia saja yang dapat masuk, tapi juga Filipina.
Bagaimanapun tiap negara memang mempunyai alasan historis dan filosofisnya masing-masing dan yang mungkin jadi persoalan hanyalah rapuh tidaknya latar belakang tersebut terhadap psikologis tiap manusia di Tanah Air, apalagi jika kita melihat kondisi kontemporer, dimana berbagai pencitraan terhadap bangsa ini banyak dilakukan, seperti telah berubahnya bangsa ini dari bangsa yang ramah tamah menjadi bangsa yang luar biasa kasarnya.
Kenyataan yang terjadi memang tiba-tiba saja menjadi bukti media massa kebanyakan yang sering mengatakan atau menuduh hal yang demikian. Wajah kita sepertinya telah dibuat retak dimata mereka (dan juga kita sendiri). Sepotong wajah retak dikenal dengan nama Indonesia…
Nah, sekarang apakah nyata latar belakang bangsa ini rapuh? Persatuan itu hanya ilusi saja kah? entah itu sejak negara modern bernama Indonesia terbentuk (kesatuan politis) melalui hasil konsepsi para Founding Father atau jauh sebelumnya, sejak masa kerajaan Majapahit dan Sriwijaya berhasil mencakup satu kesatuan (kesatuan geografis) bernama Nusantara dimana kesatuannya hampir mencakup luas saat ini.
Sulit memang untuk tidak mengeneralisasi, tapi paling tidak peran pencitraan media, sosmed atau pers memiliki andil dalam menyuburkan pandangan dunia mengenai budaya toleransi bangsa kita yang negatif sekarang ini! Ironisnya, kondisi Indonesia sekarang ini justru memperkuat citra tersebut…
Misal tentang korupsi tiada henti dan dampaknya yang multi dimensional.
Walhasil, paling tidak ada benang merah yang bisa ditarik dari celoteh saya ini. Bahwa keputusan para pendiri bangsa sejak memproklamirkan Sumpah Pemuda dan Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan hanya sekedar karena latar belakang kolonialnya semata, namun juga karena ikatan-ikatan tradisional yang telah terjalin jauh sebelumnya.
Dan untuk hari-hari sekarang serta yang akan datang, dengan adanya informasi yang semakin banyak, akses ataupun muatannya, kita sebagai rakyat Indonesia (begitu juga saya) sebenarnya dituntut pula untuk (paling tidak) bisa mengambil sikap dari refleksi kita terhadap sejarah bangsa ini (yang sebenarnya lebih banyak potensi penjelasannya ketimbang potensi diaibkan). Dan sekarang, yang sebenarnya tak bosan disampaikan adalah sebuah tuntutan terhadap sikap elit yang semakin dipertanyakan kebijaksanaan dan nuraninya yang jernih.
Subhan Aisyi Atharizz