Pekerjaan saya tidak ada sangkut pautnya dengan dunia pendidikan atau guru. Kalaupun mau dikaitkan tidak lebih hanya sebatas pemberitaan tentang peristiwa-peristiwa di sekolah, prestasi siswa, korupsi di lembaga pendidikan dan lain-lain.
Meskipun saya seorang sarjana pendidikan, namun pada akhirnya saya memilih menjalani profesi lain sebagai seorang jurnalis. Alasannya klasik mungkin hampir sama dengan yang dirasakan oleh sebagian sarjana pendidikan lainnya. Gaji kecil.
Tepatnya sekitar 10 tahun yang lalu saya diterima di salah satu sekolah keren menurut saya di Depok, Jawa Barat. Tanpa berpikir panjang saat itu langsung saya terima. Dalam hitungan saya saat itu, saya akan mendapat sejumlah upah hampir Rp3 juta rupiah karena jam pelajaran yang saya terima per minggunya jika dikonversi ke rupiah menjadi sekitar Rp700 ribu.
Tapi ternyata sistem yang diterapkan di sekolah tersebut cukup membingungkan. Mata pelajaran yang dijalani guru setiap pekannya dengan nilai konversi Rp700ribu tidak dikalikan 4, sebagaimana mestinya seorang guru mengajar 4 pekan dalam sebulan. Kembali tanpa berpikir panjang, saat itu juga, saya yang baru mengajar beberapa hari langsung memutuskan keluar dari sekolah tersebut.
Penghisapan yang terlintas dalam pikiran saya saat itu. Karena uang yang ditarik yayasan ke murid setiap bulan cukup besar, sementara guru-gurunya hanya digaji jauh di bawah upah minimum.
Sepuluh tahun berlalu, ternyata dunia kembali berputar lagi. Memang bukan saya yang menjadi guru, tapi orang terdekat saya yang menjadi guru. Masalahnya hampir sama dengan peristiwa 10 tahun yang lalu yang sudah terlupakan.
Mengajar di DKI Jakarta, tapi upahnya hanya Rp1 juta, sementara upah minimum di Ibu Kota yang terhormat ini sudah di angka Rp3,648 juta. Hanya sepertiga dari upah minimum yang ditetapkan di Jakarta.
Ternyata kondisi yang sama juga hampir terjadi pada sebagaian teman dan sahabat yang menjadi guru honorer, tidak tetap atau apapun namanya. Soal gaji masih menggelayuti persoalan guru-guru di Indonesia.
Saya tidak ingin berbicara kualitas pendidikan apa yang akan dibentuk dari guru-guru yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Mungkin kalian juga sudah bisa membayangkan sendiri.
Namun, saya ingin berbicara dari segi aturan. Apakah mungkin tidak ada aturan yang dapat melindungi guru-guru agar tidak digaji rendah oleh yayasan atau sekolah. Agar tidak dihisap segenap tenaga dan pikirannya oleh yayasan atau sekolah.
Saya kemudian membuka Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal 14 UU Guru dan Dosen ternyata cukup jelas diatur tentang hak dan kewajiban. Huruf a pasal tersebut berbunyi “memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial”.
Di Pasal 15 kemudian ditambahkan lagi:
(1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta
penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan
dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
(2) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
Jika melihat pasal-pasal tersebut, UU Guru dan Dosen sudah mengatur dengan jelas bahwa guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum. Yang dalam pengertian saya tentu di atas upah minimum kabupaten/kota ataupun provinsi. Itu belum termasuk tunjangan-tunjangan yang didapatkan guru dari pemerintah daerah dan pusat.
Dengan demikian, cerita gaji guru yang jauh dari upah minimum semestinya sudah tidak ada lagi. Karena UU Guru dan Dosen sudah menjamin hak-hak mereka dengan baik di atas upah minimum yang diterima buruh lainnya.
Iya buruh, karena bagi saya, selama selama seseorang, apapun itu profesinya mendapat upah setiap bulannya maka dia adalah seorang buruh seperti buruh-buruh lainnya. Karena itu, UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan bisa digunakan oleh guru-guru.
Terkait upah minimum tersebut Pasal 90 (1) UU Ketenagakerjaan mengatakan “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89”.
Baik UU Guru dan Dosen dan UU Ketenagakerjaan sama-sama mengamanatkan gaji/upah guru tidak boleh di bawah upah minimum. Lalu apa sanksinya, Pasal 185 menjelaskan sanksi bagi perusahaan atau dalam hal ini sekolah atau yayasan bisa dikenakan denda ratusan juta dan pidana penjara maksimal 4 tahun.
Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Dengan jaminan dari kedua undang-undang di atas maka sudah semestinya gaji guru-guru di Indonesia tidak ada lagi yang di bawah upah minimum. Namun, jika hal itu masih ada sudah saatnya guru-guru di Indonesia membawa persoalan ini ke ranah pidana.
Sebab jika tidak, pengalaman seperti apa yang ingin kita ajarkan ke anak-anak didik kita, jika kita rela dieksploitasi oleh sekolah atau yayasan tanpa melakukan perlawanan.
Salam Pembebasan
Sasmito Madrim