Dahulu kala ketika masih anak kecil ketika kita ingin melompati sisi sungai satu dan sisi lainnya, kita cukup melihat dan membayangkan saja kekuatan dan jarak antar sisi sungai. Begitu otak kecil kita mengatakan iya bisa diloncati, maka spontan saja kaki kita mundur sedikit dan mengambil ancang-ancang kemudian meloncat. Brekkk lalu sampailah kita di sisi sungai lain yang kita lompati. Apapun itu yang dilompati biasanya hanya perlu sedikit bayangan sedikit dan bertindak dan jadilah.
Ya walaupun terkadang ada juga yang tidak berhasil, kemudian kita tercebur di sungai kecil yang kita lompati. Salah satu akibatnya mungkin terjatuh, baju basah, badan kotor dan sedikit lecet-lecet.
Seiring bertambah pengetahuan kita, menjadi kenallah kita dengan matematika. Lalu ketika kita melompat-lompat dihitunglah jarak antar kedua sisi sungai. Lalu berapa energi yang dibutuhkan untuk melompat dan selamat di sisi lain.
Sedikit tambah waktu tapi aman. Tapi hitungan tiap orang tentu beda. Karena meski jarak antar sisi sungai sama, tapi energi satu orang dengan orang lainnya tentu beda. Panjang kakinya juga beda, tentu hasilnya juga beda. Jadi di matematika satu orang dengan orang lainnya tentu beda-beda apa yang dibutuhkan untuk meloncati sungai itu.
Semakin bertambah pendidikan kita semakin bertambah pengetahuan kita. Ilmu sosial salah satunya juga. Dari teori satu ke teori berikutnya. Semakin dilatih kita menyelesaikan masalah satu demi masalah lain dengan teori yang lain.
Tentu mahir sekali jika ditanya apa jawaban masalah A ? Lalu saling bermunculanlah teori 1 hingga teori selanjutnya untuk menjawab masalah A. Orang yang belajar teori lainnya tentu akan menjawab dengan teori yang dia pelajari.
Puas sekali mungkin Dr, Profesor yang mengajar para mahasiswa-mahasiswa yang sangat pagam dan mahir sekali menggunakan teori itu. Namun alangkah gagapnya ketika seorang tukang becak bertanya kepada mahasiswa ahli teori itu jadi apa pendapatmu soal masalah A tadi ? Mahasiswa itu kemudian kembali menjawab dengan teori-teori yang dia pelajari. Kembali tukang becak itu bertanya ? Bukan saya ingin tahu pendapat kamu sendiri soal masalah A tadi bukan pendapat orang lain. Si mahasiswa kembali kekeh menjawab iya itu pendapat saya.
Lalu bagian mana yang merupakan pendapatmu sendiri ? Ternyata si mahasiswa tadi lupa bagaimana melompat dari sisi sungai satu ke sisi lainnya. Lupa dengan bayangan dan brekk lompat dan sampai di sisi lainnya. Lupa ketika ia memakai rumus atau teori akan sangat berbeda dengan satu orang dengan lainnya. Karena perbedaan tenaga, panjang kaki dan sebagainya.
Lalu buat apa kamu belajar semua teori di dunia ini kalau pada akhirnya kamu tidak bisa berpendapat sendiri tentang masalahmu sendiri, masalah RT mu sendiri, masalah desamu sendiri, masalah kotamu sendiri.
Untuk sekedar merasakan salah dan benar saja mesti disuapin oleh pejabat dan media massa. Padahal kamu dari kecil sudah diajarin bagaimana rasanya cabe dengan kamu menggigitnya. Tapi kamu jadi lupa pedas karena kamu terus berkutat definisi pedas tanpa kamu mengigitnya.
Penulis: Sasmito