Dewantara, Jakarta – Pemuda sebagai agen perubahan memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam penyelesaian masalah lingkungan. Karena itu mereka perlu dibekali dengan nilai-nilai dan kapasitas pendukung agar mampu berpikir kritis serta kemampuan memahami permasalahan dan isu penting seputar lingkungan.
Melalui School of Eco Diplomacy, yang merupakan program peningkatan untuk advokasi hutan dan lingkungan, pemuda-pemuda ini dipersiapkan untuk menjadi kader-kader muda yang memiliki nilai-nilai keberpihakan pada masyarakat dalam isu lingkungan dan hutan.
Peluncuran yang juga sebagai tanda dimulainya School of Eco Diplomacy Angkatan Pertama dilaksanakan pada Selasa (4/9). Hadir sebagai Narasumber Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BP2SDM) Helmi Basalamah, Dosen Fakultas Kehutanan dari Universitas Papua (Unipa), Jimmy Wanma dan Ketua Yayasan EcoNusa Bustar Maitar. Juga hadir 30 peserta yang akan mengikuti rangkaian kegiatan School of Eco Diplomacy sampai tanggal 28 September 2018mendatang.
Program School of Eco Diplomacy dibangun atas dasar kondisi hutan dan ancamannya saat ini. Berdasarkan data Global Forest Watch, sejak 2001 hingga 2017, Indonesia kehilangan 24,4 juta hektare tutupan hutan. Hal ini tentu merugikan jika mengacu pada fungsi hutan sebagai paru-paru dunia, menahan erosi,dan menyimpan air untuk kebutuhan manusia.
SementaraKementerianLingkunganHidup dan Kehutanan sendiri pada 2016 mencatat penyempitan kawasan hutan di Indonesia mencapai 2,4 juta hektar/tahun yang mengakibatkan 43% dari 84 juta hektar hutan Indonesia berkurang.
Bustar Maitar, Ketua Yayasan EcoNusa menyebutkan School of Eco Diplomacy sebagai wadah kaum muda yang memiliki kepedulian pada isu lingkungan, hutan dan bersemangat menghadirkan perubahan untuk melakukan agenda nyata di wilayah masing-masing. Program ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran kritis mengenai isu hutan dan lingkungan dan menciptakan kader muda yang memiliki nilainilaikeberpihakanpadamasyarakat.
“Agen perubahan ini diharapkan menjadi garda terdepan yang menyuarakan permasalahan lingkungan dan hutan di wilayahnya masing-masing, menggerakkan dukungan publik secara positif, dan selanjutnya berperan serta aktif dalam pelestarian hutan dan lingkungan serta membina kader muda lainnya untuk menggulirkandanmengembangkaninisiatifyangsama,” terang Bustar.
Bustar menyebut pendidikan kepada kaum muda merupakan hal yang penting.Pasalnya,dalam 10 hingga 15tahun kedepan,keberlangsungan hutan di Indonesia akan ditentukan oleh anak-anak muda saat ini.
“Ini adalah kelas pertama kita, mudah-mudahan kita bisa jangkau lagi, terutama di timur di Maluku dan Papua,karena hutan kita yang tersisa ada di sana.Kalau tidak bisa kelola dengan baik akanhabis hutan kita. Hutan itu bukan milik Papua saja, tapi seluruh bangsa Indonesia, yang akan rugi kita semua kalau hutan hilang.”
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendukung penuh program menciptakan kader lingkungan ini. Program ini dapat bersinergi dengan program yang ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di bawah Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BP2SDM).
Helmi Basalamah, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BP2SDM) “Dalam 20 sampai 30 tahun belakangan kita lihat bagaimana kepedulian terhadap lingkungan ini tumbuh. Banyak bermunculan komunitas, gerakan, pegiat serta pengamat lingkungan. Ini adalah bentuk diplomasi dalam wujud baru, p e o ple t o p e o ple c o n t e x t , upaya Yayasan EcoNusa dalam bentuk School of Eco Diplomacy ini patut diapresasi karena ini bentuk upaya langsung dari masyarakat untuk keberlangsungan LingkunganHidupdanKehutanan.”
Dirinya menyebut segala bentuk kegiatan yang dilakukan dalam School of Eco Diplomacy dapat menjadi cara dalam menghasilkan lo c al c h a m pio n dalam isu kehutanan dan lingkungan. Harapannya, lo c al c h a m pio n inidapatmenjadiinternationalsoundingdalamisutersebut.
Sementara itu, Jimmy Wanma berharap penuh pada program School of Eco Diplomacy untuk memberikan kontribusi pada hutan di Papua. Dirinya menyebut masih diperlukan banyak masukan dan penelitianakademisterhadapeksosistem lo w la n d f o r e s t diPapua.
“Hampir seluruh Low Land Forest sudah menjadi target pembangunan. Kalau bicara akademik, belum banyak kami pelajari tanaman dan eksositem di sana. Kami takut kalau sudah ada pembangunan tapi kamibelumsempattelitisecaraakademik,”ucapdia.
Saat ini, sudah banyak kawasan serupa yang dikonversi oleh pembangunan, oleh karena itu, untuk kawasan yang belum tersentuh diperlukan penelitian yang melibatkan banyak pihak. Selain itu, menurut dia,bicarahutandiPapuaakanturutmembicarakanmasyarakatyangtermarjinalkan.
School of EcoDiplomacy angkatan I dilaksanakan selama 25 hari, tanggal3–28September2018. Dalam School of EcoDiplomacy, kegiatan yang akan dilakukan adalah pelatihan umum di Jakarta, liv e -in di Pegaf, Pegunungan Arfak,Papua,kelas dan praktik advokasi dan diplomasi di Manokwari, Papua.