Dalam literatur mata pelajaran sejarah, baik itu pada jenjang Sekolah Menegah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), maupun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), umumnya sebab ‘Perang Diponegoro’ – atau dikenal juga dengan ‘Perang Jawa’ – dibagi menjadi ‘sebab umum’ dan ‘sebab khusus’ terjadinya perang. Masih ingatkah pembaca terhadap materi pembelajaran sejarah tersebut?
Apakah pemahaman kita terhadap perang, yang juga kita hapal waktunya karena kita asosiasikan dengan waktu magrib karena berlangsung selama 1825-1830, hanya berhenti pada hapalan yang berdasar pada buku pelajaran sejarah di sekolah? Atau kita perlu menggali lebih dalam dalam lagi tentang alam pikiran Pangeran Diponegoro pada masa itu ?
Sumber Sejarah Dalam Mempelajari Diponegoro
Sejarawan selalu dididik bahwa ketika mempelajari suatu peristiwa sejarah untuk selalu mencari ‘sumber tangan pertama’ atau istilah lainnya ‘sumber primer’. Dan apabila kita membahas Pangeran Diponegoro, ada seorang ahli yang sudah menuliskan buku-buku yang berlandaskan penelitian-penelitian mendalam tentang Pangeran Diponegoro menggunakan sumber-sumber primer. Ahli itu bernama Peter Carey, ia antara lain telah mempublikasikan buku “Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)”, dan “Kuasa Ramalan” dalam tiga jilid.
Peter Carey telah bersentuhan dan merangkai sumber primer yang ia temukan. Sumber primer Carey dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori. Pertama, yaitu arsip-arsip kolonial dari dua tempat, yaitu National Archive di Inggris dan Nationaal Archief di Belanda. Kedua, catatan pribadi dari pengawal Diponegoro. Ada dua catatan pribadi pengawal Diponegoro yang digunakan, yaitu pengawal yang membawa Diponegoro dari dari Magelang sampai ke Batavia, diantara koleksi pribadi Jendral H.M. de Kock; dan pengawal Diponegoro dari Batavia sampai ke Manado dan kemudian Makassar, diantaranya Letnan Knoerle.
Ketiga, sumber primer yang digunakan Carey adalah ‘Babad’. Dua babad yang digunakan yaitu “Babad Diponegoro” dan “Babad Kedung Kebo”. Babad Diponegoro adalah babad yang ditulis oleh Diponegoro sendiri. Ia menulis ditujukan untuk keturunannya yang lahir dalam pengasingan, agar keturunannya tetap dapat mengerti sejarah kehidupan Diponegoro sekaligus akar budaya Jawa dan pemahaman keislaman yang dimiliki DIponegoro selama ini. Sedangkan Babad Kedhung Kebo adalah sebuah babad yang ditulis oleh Cokronegoro I dan Kerto Pengalasan pada dekade 1840an. Babad tersebut menceritakan Perang Jawa dengan sudut pandang berbeda dari Babad Diponegoro karena Cokronegoro berpihak pada Kasunanan Surakarta yang membantu Belanda.
Latar Belakang Kultural Diponegoro
Pangeran Diponegoro lahir di Keraton Yogyakarta pada 11 November 1785, ia diberi nama Raden Mas Mustahar. Menginjak dewasa, berusia dua puluh tahun, ia menyandang nama Raden Ontowiryo. Lebih lanjut, sebagaimana disampaikan dalam artikel “Peter Carey: Tak Ada Bantuan Turki untuk Diponegoro” di situs historia.id , bahwa ketika berziarah ke Pantai Selatan, Diponegoro menyandang nama Syekh Ngabdurahim. Berasal dari bahasa Arab, Syekh ‘Abd al-Rahim, nama ini mungkin disarankan oleh penasihatnya di bidang agama, barangkali oleh Syekh al-Ansari di Tegalrejo. Diponegoro kemudian mengubah nama Ngabdurahim menjadi Ngabdulkamit.
Pada umur 20 tahun, Diponegoro menyaksikan bahwa pengaruh Revolusi Perancis memiliki pengaruh sampai ke Pulau Jawa. Dimana Perancis yang republik di bawah Napoleon Bonaparte membawa Perang Eropa sampai ke tanah Jawa. Diponegoro juga melihat bagaimana pengaruh Revolusi Industri, dimana Inggris lewat Raffles yang menggunakan persenjataan modern mampu menundukkan kekuasaan Hindia-Belanda, lalu kemudian menguasai Keraton Yogyakarta pada 1812. Diponegoro remaja bersama ayahandanya Hamengkubuwono III ikut lari menyelamatkan diri ke wilayah Taman Sari.
Takluknya Keraton Yogyakarta itu merupakan pondasi dari satu dunia yang baru. Dunia dimana tak ada lagi kedaulatan Yogyakarta, Banten, Bone, dan sebagainya sebagai kekuatan pribumi. Penguasa lokal sejak itu harus menerima perwakilan residen sebagai perwakilan dari Batavia. Mereka dilarang membuat perjanjian dengan dunia luar tanpa melalui pemerintah pusat.
Alasan Memerangi Belanda
Perang Jawa atau perang Diponegoro secara umum dalam buku-buku teks pelajaran sejarah , disebabkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda selalu ikut campur urusan pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, sekaligus selalu melakukan penindasan hingga rakyat semakin menderita. Lalu sebab khusus yang kita baca, bahwa Diponegoro marah akibat lahan makam leluhurnya digusur dan dijadikan jalan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Tapi sebenarnya, kondisi pemahaman psikologis dari Diponegoro terhadap diri dan masyarakatnya juga memainkan peranan penting yang menjadikannya alas an dalam memerangi Hindia-Belanda.
Perlu dipahami bahwa ada diksi yang dibangun oleh pihak kolonialis mengenai alasan Diponegoro memerangi Hindia-Belanda. Diksi yang merendahkan kedudukan Diponegoro, yaitu: 1) Diponegoro anti-Belanda; 2) Diponegoro anti-medernisasi; 3) Diponegoro angkat senjata karena kecewa tidak diangkat sebagai sultan. Bahwa kemudian Diponegoro marah akibat lahan leluhurnya diserobot oleh HIndia-Belanda, itu merupakan factor pemicu yang kemudian membakar kemarahan Diponegoro.

Faktor krusial dari alasan Diponegoro memerangi Belanda adalah alam pikiran Diponegoro. Dimana ia ditempa dalam masyarakat yang mengalami pengalaman yang sangat pahit. Dimana landasan kehidupan yang selama Ia kanak-kanak, remaja, sampai dewasa, yaitu ia mengidentifikasi dirinya sebagai Bangsa Jawa (lebih jauh lagi: bangsawan Jawa) juga sebagai seorang muslim (yang banyak mendalami tarekat Satariah) telah berubah 180° ketika Inggris dan kemudian Hindia-Belanda hadir dan merubah tatanan.
Diponegoro mengalami pergulatan batin, menghadapi isu-isu di dalam dirinya, terutama tentang ‘kepribadian Jawa’ yang selama ini ia hormati. Lalu ‘kepribadian Jawa’ tersebut juga mengerucut pada dirinya sendiri. Tentang posisi dirinya di dalam konstruk konflik Keraton Yogyakarta vs Hindia-Belanda yang juga bekerja sama dengan kerabat Keraton pula.
Pada titik klimaksnya. Sosok Diponegoro, meminta hal yang dapat dirangkum dalam 3 kata: “I want respect.”
Ahmad Muttaqin, Guru SMAN 3 Cilegon, Pengurus AGSI Prov.Banten