Masyarakat Maritim Asia Tenggara khususnya Nusantara memiliki pandangan yang berbeda terhadap laut. Sikap mereka berbeda. Ada yang gandrung, tak sedikit yang coba menjauh. Namun demikian, sebagian besar melihat laut sebagai bentangan air dari bagian hidupnya yang memberi ruang nafkah bagi penduduk setempat, mempersatukan masyarakat diseberang dan tidak sedikit yang menjadikan laut sebagai tempat rekreasi di kala senggang.
Dewantara.id, Jakarta – Tetapi ada pula yang memandang terbalik. Bahwa laut merupakan penghalang atau pemisah dari tanah seberang, pemisah komunikasi, atau yang mirisnya, hanya sebagai tempat pembuangan sampah (Trisulistiyono, 2003). Perjalanan sejarah maritim nusantara sesungguhnya adalah sebuah catatan penting mengenai pasang surut berbagai koneksi hubungan diplomatik dibidang ekonomi, politik, budaya pengetahuan dan kepercayaan.
Jalur laut Indonesia abad ke enam dan ke tujuh tidak hanya menjadi akses utama karena dianggap menguntungkan namun juga menjadi jalur favorit (favorit disini menjadi jalur unggulan dibandingkan jalur darat) yang banyak digunakan oleh pedagang dunia serta kerajaan-kerajaan di Nusantara, yang (sudah pasti) menjadi dasar utama dalam membangun negara (maritim) Indonesia, saat ini.
Seperti dengung yang sempat digaungkan oleh pemerintahan Jokowi. Poros maritim dunia. Kerangka berpikir tentang pemahaman sejarah maritim ini sangat penting. Agar Indonesia paham betul dalam bersikap. Dalam membaca tentang “jalur nasib”- nya secara geopolitik dan ekonomi sebenarnya menuju kemana. Bukan sekedar ikut-ikutan gerbong lain yang bukan track -nya.
Jalur Favorit Nusantara
Perkembangan perdagangan via jalur maritim dan pusat–pusat niaga (emporium) menjadi kekuatan politik (imperium) di Asia khususnya Nusantara terkait erat dengan kemajuan pelayaran pada abad ke-5 dan ke-6. Kontribusi nusantara untuk perdagangan laut Asia salah satunya bermula dari penyediaan damar dari kawasan barat yang diperdagangkan ke China Selatan sebagai pengganti damar dari timur tengah. Untuk memperlancar jalinan kerjasama tersebut, sejumlah negeri (kerajaan) kecil di Asia Tenggara, seperti Holotan di Jawa Barat dan Kantoli di Sumatera bagian Tenggara, rutin mengirimkan upeti kepada raja-raja dari Dinasti Cina.
Seringnya frekuensi kedatangan para utusan dari kerajaan-kerajaan nusantara tersebut juga menandai masa dimana hubungan perdagangan antara China dengan Nusantara mengalami lonjakan yang signifikan. Hal tersebut juga dilatarbelakangi dengan kondisi politik internal bangsa Cina karena kebanyakan utusan yang dikirim terjadi pada kisaran setelah tahun 349 Masehi.
Yaitu ketika Kansu ditaklukkan oleh Wei Utara dan Raja Liu Sung kehilangan kekuasaan terakhir atas jalur perdagangan darat sebagaimana ditulis oleh Wolters dalam bukunya yang berjudul “Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan perdagangan dunia pada abad ke-3 hinggga abad ke-7.”

Tentu saja, langkah diplomatik yang aktif oleh raja-raja nusantara terhadap Cina merupakan bentuk respon terhadap peluang perdagangan yang menguntungkan dengan Cina terutama melalui jalur laut. Menurut Wolters, hanya ada dua kerajaan di Nusantara pada pertengahan abad ketiga yang memiliki kepentingan perdagangan yaitu Holotan dan Kantoli yang merupakan kerajaan perdagangan.
Berdasarkan prasasti dari abad ke-5 dan ke-6 bahwa pada abad itu, beberapa raja telah menguasai negeri tetangganya. Kerajaan tersebut tentu saja ingin mendapatkan pengakuan dari kaisar Cina atas status kerajaannya yang perlu diperhitungkan keberadaannya sebagai kerajaan perdagangan.
Dengan cara ini tidak hanya memperlihatkan kekuasaannya secara politik tetapi juga berusaha melindungi diri dari serangan kerajaan tetangganya. Hal yang sama juga dicapai oleh kerajaan Sriwijaya dalam pertengahan kedua abad ke-7. Kekuatan politik yang sudah matang ini merupakan faktor pendukung utama bagi kerajaan-kerajaan dengan corak maritim untuk dapat berkembang menjadi kerajaan dagang, khususnya jalinan hubungan dengan Cina dan juga tentu saja, India.
Kapal Kun-lun
Pada akhir abad ke-6, teknologi kapal Cina sudah sangat tinggi. Kapal perang dibangun sebanyak 5 tingkat dengan tinggi lebih dari 100 kaki dan mampu mengangkut 800 orang. kapal kun-lun yang kemudian diadopsi oleh beberapa kapal besar buatan nusantara juga tercatat pernah menyebrangi Teluk Bengal dan terus berlayar menujun pantai timur dan barat daya India Selatan. Misalnya pada abad ke-7, pezirah China terkenal, I-Tsing ke India menggunakan kapal kun-lun yang disediakan oleh penguasa di Indonesia. Pada masa itu, para pedagang berlayar tiap tahun ke Kanton menggunakan kapal kun-lun (Dick – Read, 2005).

Jadi dengan perkembangan teknologi kapal Cina tersebut, juga menjadi salah satu faktor yang mendorong komunikasi jalur laut dapat berjalan dengan lancar. Pada tahun 607 masehi, Ch’ang Chun seorang utusan Raja Yang Ti dari Dinasti Sui dikirim ke Asia Tenggara untuk membuka hubungan diplomatik atas nama dinasti. Alasannya jelas, agar kerajaan dibawah jajahan Dinasti Sui tetap terkontrol oleh Raja Yang Ti dan berada tetap dalam pengawasan pihak kerajaan.
Sumber lain seperti kronik yang ditulis Fahien dan Gunawarman mempunyai hal yang sedikit banyak tidak jauh berbeda. Bahwa pada awal abad ke-5 masehi sudah berkembang perdagangan laut antara Cina, India dan Asia Barat. Pada saat itu, beberapa perahu saudagar Arab banyak bersandar mampir ke Pelabuhan Kanton membawa berbagai komoditas seperti minyak wangi, permata, permadani dan katun yang halus. Jadi sebelum abad ke-6 dan abad ke-7, jalur perdagangan laut memang sudah cukup semarak.
Selain itu juga komoditas yang diperjual-belikan dalam perdagangan antara India dengan nusantara pada saat itu adalah logam mulia, rempah-rempah (cengkih dan lada) dan obat-obatan serta kayu (cendana) merupakan komoditi yang laku keras dipasaran dunia. Dan tentu saja, untuk pengiriman upeti berupa rempah-rempah dan lainnya, mereka tetap menggunakan jalur laut untuk sampai kepada negeri yang dituju.
Palembang dan Jambi
Secara geografis, Palembang dan Jambi terletak di sebelah Selatan Selat Malaka. Dan perlu digaris bawahi bahwa ternyata, pelabuhan-pelabuhan dikedua daerah itu menjadi makmur bukan karena letak geografisnya melainkan penduduknya yang memang gemar pergi berlayar (merantau). Pada pertengahan pertama abad ke- 6, pedagang Persia telah menetap di Sri Langka. Dari pelabuhan ini, para pedagang Persia membawa barang dagangan dari Cina terutama kain sutera untuk kemudian dipasarkan di India.
Memang, pada waktu itu sutera Cina menjadi salah satu jenis kain paling modern dikalangan konglomerat India. Hiruk pikuk jalinan komunikasi antara pedagang Persia dan para juragan konglomerat India memberi isyarat penting. Bahwa lautlah yang menjadi penopang utama untuk mendapatkan barang-barang mewah tersebut.
Perkembangan selanjutnya pada pertengahan abad ke-7, Palembang dan Jambi telah menjadi pusat perdagangan di pantai Tenggara Sumatera. Sebagaimana pernah dicatat oleh Peziarah Budha dari China, I Tsing. Ia mencatat bahwa pada tahun 671 M, ketika melakukan pelayaran 20 hari lamanya ke Sriwijaya (Fo-shih, Palembang). Selain Jalur laut untuk perdagangan dan pengiriman upeti, jalur laut juga digunakan sebagai jalur para pencari ilmu sekaligus penyebaran ajaran agama Budha di Sriwijaya. Kedatangan I Tsing ini disambut baik dan hangat oleh masyarakat sekitar.
Kantoli (sebutan lawas untuk Sriwijaya) adalah satu-satunya kerajaan pada abad ke-5 dan abad ke-6 yang melakukan hubungan diplomatik dengan Cina selain kerajaan Jawa, P’oli dan Tan-tan. Ketika abad ke-7 berakhir, Sriwijaya telah bermetamorfosis menjadi sebuah pelabuhan dagang yang terkemuka di Nusantara bagian barat. Suatu keadaan penting yang membedakan abad ke-7 dengan abad sebelumnya, Sriwijaya telah memperoleh pos luar wilayah di barat daya Semenanjung Melayu. Hal ini memberikan Sriwijaya kontrol kuat atas Selat Malaka.
Agar hegemoninya semakin kuat, Sriwijaya memperkuat kontrol kuasa atas wilayah lautnya dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang berpengalaman. Baik sebagai pengembara maupun bajak laut melalui hubungan kerjasama yang saling menguntungkan. Kepada mereka, raja Sriwijaya memberikan upeti dari hasil pajak yang ditarik dari kegiatan perdagangan dan kapal-kapal yang singgah.
Refleksi atas tulisan ini kiranya menemukan relevansinya dengan kondisi saat ini. Dengan pembangunan dan pembaharuan massif berbagai pelabuhan di sepanjang daerah pesisir Indonesia. Nantinya, sebanyak dua puluh empat pelabuhan Indonesia itu akan terkoneksi dengan jalur sutra maritim Tiongkok – Sebuah proyek raksasa Republik Rakyat Tiongkok – berupa rute tata niaga yang menghubungkan Eropa dan Asia Timur serta jalur tata niaga energi dari Afrika ke Asia Selatan dan Timur (Ritonga Rajab, Kesadaran Baru Maritim, 2016).
Diujung harapan, semoga kita tidak terjebak pada glorifikasi semu atas sejarah kejayaan maritim nusantara. Yang menjadi catatan adalah jangan sampai kita terjebak ikut tercebur dalam ambisi Cina yang secara terang-terangan sangat bernafsu untuk memiliki kontrol penuh atas laut Cina Selatan dengan mengangkangi berbagai perjanjian laut internasional dan tentu saja, menantang stabilitas kawasan Asia Tenggara.
Maulani, Mahasiswi Pendidikan Sejarah UNJ 2015