Akulturasi masuknya pendidikan Islam di tanah air menjadi catatan tersendiri dalam sejarah pendidikan tanah air. Itu sebabnya model pendidikan yang tertua seperti pesantren, tersebar hampir di seluruh penjuru Tanah Air.
Dewantara.id – Pendidikan Islam yang ditampilkan oleh lembaga pesantren sudah sejak lama diyakini sebagai sistem pendidikan tertua di Indonesia. Banyak nama untuk pendidikan macam ini, misalnya mennasah atau surau di tanah Sumatra.
Menurut Muhammad Jamhuri, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STA)-Syukriyyah-Tangerang, membagi periodesasi sejarah pesantren kedalam dua fase yaitu fase Ampel dan fase Gontor. fase Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang kemerdekaan dan mereka yang memenuhi kebutuhan lokal, sedangkan Gontor telah memenuhi kebutuhan di segala sendi kehidupan negeri ini, dengan banyak mencetak alumni-alumni yang dapat diandalkan.
Seiring dengan perkembangan dunia saat ini, perkembangan pendidikan Islam juga juga tak lepas dari dinamikanya sendiri. Banyak model yang ditawarkan. Sebut saja dari mulai pesantren tradisional,hingga yang mengadopsi model sekolah seperti Madrasah, Tsanawiyyah hingga Aliyyah, ataupun Sekolah Islam Terpadu (SDIT). Walaupun mengusung label berbeda, pada dasarnya pendidikan Islam memiliki pemahaman dan kemanfaatan yang sama baiknya.
Kemanfaatan yang secara fungsional dapat diartikan sebagai wadah untuk menggembleng mental dan moral di samping wawasan kepada para pemuda dan anak-anak untuk dipersiapkan menjadi manusia yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara. Secara substansial dapat dikatakan pula bahwa pendidikan tersebut merupakan panggilan jiwa spiritual dan religius dari para tengku, buya, dan kyai yang tidak didasari oleh motif materiil, akan tetapi murni sebagai pengabdian kepada Allah.
Sedangkan secara operasional trilogi sistem pendidikan tersebut muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai kebijakan, proyek apalagi perintah dari para sultan, raja, atau penguasa.
Mengenai hal ini Nurhayati Djamas dari Departemen Agama mengatakan “secara kuantitatif pendidikan Islam telah berkembang dengan pesat yang tergambar dari makin meluas dan meningkatnya jumlah lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah di seantero nusantara. Namun, secara kualitatif banyak pesantren dan madrasah yang dari segi kurikulum tidak lagi semata memfokuskan pada tafaqquh fi addin, dengan memadukan dengan pengetahuan atau materi pelajaran lain, seiring perkembangan pengetahuan yang walaupun membawa konsekuensi frekuensi pengajaran ilmu-ilmu keagamaan agak berkurang, tapi menunjukkan kemajuan yang positif,” ungkapnya.
Singkat cerita, pendidikan Islam di Indonesia saat ini adalah hasil sebuah pelacakan historis bahwa sistem pendidikan tersebut, secara alamiah memiliki anak-anak cabang yang muncul dari satu induk mengembang ke berbagai lokasi dan tetap ada ikatan yang kuat secara emosional, intelektual, dan kultural dari induknya. Kalau mau jujur, pendidikan Islam pada masanya juga adalah pendidikan pribumi tanah air.
Sebelum masuknya penjajah Belanda sistem pendidikan pribumi tersebut berkembang dengan pesat sesuai dengan perkembangan agama Islam yang berlangsung secara damai, ramah, dan santun. Perkembangan tersebut pada dasarnya merupakan bukti bagi kesadaran masyarakat Indonesia akan sesuainya model pendidikan Islam dengan nurani masyarakat dan bangsa Indonesia saat itu.
Kehidupan masyarakat terasa harmonis, selaras, dan tidak saling mendominasi. Hanya saja sejak masuknya bangsa penjajah baik Spanyol, Portugis, dan Belanda dengan sifat kerakusan akan kekayaan dan materi yang luar biasa menjadikan masyarakat Indonesia tercerai berai.
Model pendidikan Islam tersebut nyatanya mulai tergerus bahkan memang sengaja dibatasi serta dimatikan oleh penjajah. Para penjajah memandang bahwa apa-apa yang disampaikan dalam Islam pada dasarnya bukanlah proses seperti laiknya lembaga pendidikan, akan tetapi hanyalah lembaga agitasi dan provokasi untuk melawana penjajahan. Dengan bangunan asumsi yang demikian, menjadi sangat wajar ketika penjajah berusaha untuk mengkerdilkan atau bahkan mematikannya.
Pada masa penjajahan inilah mulai muncul sistem pendidikan modern. Di sinilah cikal-bakal mulai munculnya istilah pendidikan tradisional dan pendidikan modern. Adanya fragmentasi ini kemudian juga merembet kepada dikotomisasi ilmu pengetahuan yakni ilmu agama dan ilmu umum.
Ilmu agama dipahami sebagai ilmu-ilmu yang diberikan secara tradisional oleh sistem pendidikan Islam sedangkan ilmu umum digunakan untuk menyebut ilmu-ilmu yang diberikan oleh lembaga pendidikan modern, dalam hal ini sekolah-sekolah yang didirikan para penjajah.
Pada masa penjajahan Jepang—yang merupakan Saudara Tua (karena sama-sama di benua Asia dengan Indonesia)—pendidikan tradisional mulai mendapatkan angin segarnya. Memasuki masa kemerdekaan pendidikan Islam masih terus berkutat dengan sistem pendidikan modern (peninggalan Belanda). Sistem pendidikan ini dipelopori oleh para tokoh pendidikan yang telah mengenyam sistem pendidikan Belanda atau Barat.
Oleh karena itu, menjadi sangat masuk akal ketika sistem pendidikan nasional Indonesia berkiblat kepada sistem pendidikan Barat. Sistem pendidikan yang berkiblat pada sistem pendidikan Barat yang secara praktis dan teoritis berbeda dengan sistem pendidikan Islam tradisional.
Dari sinilah kemudian terjadi pemisahan antara pendidikan tradisional yang dalam hal ini direpresentasikan oleh pendidikan Islam dan pendidikan modern yang dalam hal ini bisa direpresentasikan oleh pendidikan nasional. Kedua sistem pendidikan ini merupakan sebuah hasil kompromi para funding father negeri ini.
Oleh karena itu, pada masa kemerdekaan tepatnya pada 3 Januari 1946 didirikanlah Departemen Agama yang mengurusi keperluan umat Islam. Meskipun pada dasarnya Departemen Agama ini mengurusi keperluan seluruh umat beragama di Indonesia, namun melihat latar belakang pendiriannya jelas untuk mengakomodasi kepentingan dan aspirasi umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini.
Dalam hal pendidikan, kepentingan dan keinginan umat Islam juga ditampung di Departemen ini. Hal ini dilakukan oleh Menteri Agama RI Wahid Hasyim (tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman) yang mengeluarkan keputusan yang menurut Gus Solah sangat mempengaruhi sistem pendidikan Islam di Indonesia hingga saat ini yaitu mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta. Dengan demikian, sejak saat itu, dikotomi antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum tidak lagi terjadi.
Lebih lanjut, mafhum harus kita akui bahwa pembangunan mental, jiwa, dan moral bangsa adalah sebuah keharusan dan keniscayaan sejarah yang tidak bisa ditawar-tawar, khususnya bagi bangsa Indonesia. Bagaimanapun juga tanpa didukung dengan pendidikan agama yang kuat bukankah hanya akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang berpenyakit kronis?
(Mz/editor)