Dengan sekian banyaknya orientasi manusia saat ini, dimana prioritas kita akan kebutuhan dan tanggungjawab senantiasa dinamis, mari sesekali luangkan waktu untuk generasi mendatang. Terhadap ruang hidup anak-anak yang saat ini sedang membentuk mereka..
Mari mencoba. Bisakah kita manusia dewasa mampu secara murni dan konsisten menyelami apa kebutuhan dunia anak-anak saat ini?
Di dalam modernitas, dimana ruang dan waktu dibuat seakan-akan “tanpa jarak dan datar” tentu bukan perkara mudah untuk memahami, mencoba untuk menyelami dunia anak yang kaya imajinasi dan penuh tanya pada yang baru. Tapi marilah kita telisik dunia macam apa yang saat ini menghinggapi mereka?
Sebuah dunia yang dibungkus modernitas yang masih mengalami kemajuan secara massif selama kurang lebih 50 tahun terakhir dengan berbagai aspek yang luar biasa berkembang.
Dihadapan entrepreneur baju dan sepatu, makanan dan minuman, pemodal dunia hiburan, rentetan mall, rumah produksi, perusahaan iklan dan hingar bingar aktivitas manusia dewasa di ruang tamu, stasiun kereta, di terminal bus, di tempat ibadah, di ruang maya, di layar gawai dan televisi, dapur atau teras rumah bahkan lapangan (jika masih tersedia) bermain anak, obrolan dan teriakan tentang aib si Fulan, tentang mudahnya saling labeling dan tentu saja tentang (informasi) dinamika politik ekonomi yang mengalir pelan, deras dan tak terbendung hadir di ruang hidup anak-anak. Belum lagi isu kesehatan dan kekerasan terhadap anak yang kian marak.
Dengan seiris dinamika peradaban tersebut, jangan-jangan kita sebagai manusia dewasa ‘melukai tanpa sengaja’ peran kita sebagai suri teladan dan motivator mereka. Apa yang seharusnya menjadi ruang alamiah anak untuk berekspresi secara “jujur nan murni.” Karena kita, malah menjadi ruang penuh toxic jangka panjang.
Tanpa kita inginkan, mirisnya juga terjadi di pranata pendidikan tanah air. Si anak dibentuk dengan model yang sudah terstruktur, ajeg dan kaku. Apa yang dinamis dicoba untuk dituangkan dalam rumusan. Dibakukan, distandar-isasi.
Kuasa pendidikan yang mencoba selalu digdaya – ambisius – mengendalikan aliran imajinasi yang hangat dan alamiah. Lalu beku berat penuh beban. Hinggap dalam pikiran (mind), jiwa (soul) ataupun sekedar badan (body).
Lantas kemudian dicetak sesuai model standar nilai dan sikap yang kompatibel dengan tuntutan modernitas paling baru; Persaingan global, revolusi industri 4.0, kemampuan multi bahasa yang baik, dan kemampuan logika kalkulus mumpuni. Ada keharusan untuk serba pasti dan terukur. Baik makro maupun mikro.
Apalagi di kota metropolitan. Semakin sulit mengakses ruang anak yang bebas untuk “bermain lumpur dan hujan,” mental block yang secara sistematis sudah dibenamkan sejak langkah kaki pertama mereka berjalan. Upaya penuh kasih dan mawas diri dari ibu bapak yang kadang secara tak sadar justru membuat terbatasnya daya eksplorasi si anak tumbuh kembang. Mereka dihimpit oleh berbagai petuah dirumah, sekolah, ruang ibadah dan lain sebagainya. Lewat itu semua, sepertinya dunia anak sedang hendak dihilangkan.
Tetapi….
Tak sepenuhnya keliru kita sebagai orangtua. Dunia saat ini yang serba cepat dan absurd memang seringkali membuat kita cemas. Gugup. Bahkan mungkin paranoid. Mengasuh, mendidik seperti tanpa sabar oleh sebab kita pun dilecut, didorong oleh berbagai variabel yang seakan mendesak.
Mahalnya biaya, tuntutan untuk selalu (bersikap) seragam; untuk merespon berbagai perbedaan dan segala yang unik dan lain. Dan yang mengerikan tentang segudang laku kejahatan yang mudah diakses dan dipertontonkan yang selamanya tak layak dicerna anak.
Belum lagi ketika menghadapi lingkaran kekhawatiran yang selalu hadir tepat ketika generasi baru muncul. Bahwa tiap generasi akan meninggalkan tradisi lama untuk menjemput tradisi baru yang boleh jadi dicara pandang kita akan selalu buruk dan menodai kepantasan tradisi yang sudah dipegang teguh generasi sebelumnya, ibu dan bapak.
Sekarang mari tengok apa yang dilakukan oleh negara – Kementerian Pendidikan – dalam merespon himpitan-himpitan tersebut. Anggaplah gelaran talkshow ini adalah sebuah ikhtiar negosiasi dalam mensiasati problem kemajuan zaman. Seperti yang diwartakan Detik (30/04/2019), dengan tajuk “Peringati Hardiknas, Kemendikbud Angkat Isu Teknologi Pendidikan.”
Namun, dalam sebuah pesan di acara talkshow tersebut, sepertinya saya tidak cukup tenang walaupun ada nilai kemandirian dalam pesan sang Professor.
“Kita perlu menerobos pada model-model pembelajaran yang peran guru itu minimum, sesedikit mungkin. Bahkan kalau tidak ada guru, anak-anak bisa tetap belajar dengan taraf dunia, jadi bukan sekadar belajar apa adanya, tapi dengan kualitas terbaik,” kata Iwan Pranoto, Guru Besar Institut Teknologi Bandung.
Mudah-mudahan ini hanya kecemasan sesaat yang bilang pada saya bahwa daya pandang yang imajinatif, intuitif dan sederhana si anak akan semakin digerus oleh hamparan layar pandang yang rasional dengan segala kompleksitasnya, khas orang dewasa.
Bukankah kita merindukan perayaan terhadap hal-hal sepele yang memang menjadi khas dimata bocah yang bersahaja karena kejujurannya. Maka boleh jadi jargon macam “sekolah ramah anak” atau “rumah ibadah ramah anak” akan semakin banyak kita jumpai.
Mengingat keramahan yang natur dan sederhana itu seperti kian hilang karna laku modernitas yang seakan angkuh dan buta. Maka sikap “ramah pada anak” pun (secara naif) dimunculkan sebagai sebuah labeling baru. Mungkin juga itu sebuah penanda bahwa kita sudah banyak alpa dan khilaf kepada mereka. Demikiankah?
Selamat Hari Pendidikan Nasional….
Muhamad Zulkarnain