Sebagaimana kita ketahui bahwa dasar hukum pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa Indonesia terdiri dari tiga landasan.
Pertama, butir ketiga Sumpah Pemuda 1928, kedua, pasal 36 UUD 1945 yang berbunyi, “ Bahasa negara adalah Bahasa Indonesia,” dan ketiga, Undang-Undang nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Berdasarkan ketiga hal tersebut, seluruh rakyat Indonesia harusnya bersikap setia terhadap bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan sesama rakyat Indonesia. Akan tetapi, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni maupun perkembangan dinamika saat ini membuat bahasa Indonesia semakin kehilangan separuh suaranya untuk berkomunikasi dengan rakyatnya sendiri.
Sejalan dengan kejadian luar biasa terkait penyebaran virus corona yang pertama kali terjadi pada tahun 2019 di kota Wuhan, Cina ternyata yang terjadi tidak hanya virus yang sampai ke negara Indonesia. Ragam istilah asing pun juga masuk tanpa perlu pengalihbahasaan terlebih dahulu.
Ragam istilah asing yang masuk ke dalam ranah penyampaian luas di negeri ini, antara lain lockdown yaitu protokol darurat yang bertujuan mencegah orang meninggalkan atau masuk suatu area. Work from Home (WFH) merupakan istilah yang dipakai untuk semua instansi negeri dan swasta agar melaksanakan aktivitasnya di dalam rumah.
Swab test atau uji swab merupakan serangkaian pengujian dengan mengambil sampel ludah atau lendir di tenggorokan bagian belakang atau saluran pernafasan bawah. Kemudian adapula social distancing yaitu menjauhi perkumpulan, menghindari pertemuan massal, dan menjaga jarak antar manusia. Lalu ada panic buying yaitu gejala masyarakat yang membeli sejumlah kebutuhan pokok dalam jumlah besar didasari rasa panik akan kekurangan bahan tersebut di kemudian hari. Juga masih ada beberapa istilah asing.
“Ragam istilah asing pun juga masuk tanpa perlu pengalihbahasaan terlebih dahulu.”
Tentu saja istilah yang tertera tadi, saat ini adalah yang paling populer digunakan di media sosial, media swasta dan media resmi, percakapan sehari-hari, terutama dalam lisan para penyampai situasi dan kebijakan terkini.
Saat tulisan ini dibuat, banyak masyarakat atau warga Jakarta (sebagai contoh) yang terpecah menyikapinya. Jika dikategorikan beberapa tipe masyarakat tersebut, antara lain;
Tipe satu, yang bijak menyikapi situasi dengan kata lain menjalankan arahan pemerintahan.
Tipe dua yang santai menyikapi situasi merasa bahwa sebaran virus tidak berdampak ke dirinya ataupun wilayahnya, oleh sebab itu tetap beraktivitas dan bersosial seperti biasa tanpa masker dan standar kebersihan yang telah disampaikan.
Tipe tiga yang panik menyikapi situasi, membeli dengan berlebihan kebutuhan pokok, masker dan cairan antiseptik, serta bahan dan barang-barang lainnya tanpa memikirkan orang lain yang membutuhkannya.
Oleh karena itu, penulis merasa apakah bahasa Indonesia yang kita junjung tinggi dan jelas letaknya secara konstitusi mengalami kegagalan berkomunikasi dengan rakyatnya sendiri, karena lebih banyak masyarakat yang mempunyai tipe kedua dan ketiga.
Selayaknya pada keadaan seperti inilah karakter kita sebagai bangsa Indonesia sedang diuji, apakah bangsa kita termasuk yang setia berbahasa Indonesia sehingga komunikasi yang berjalan dapat diterima dengan jernih di kuping rakyatnya sendiri dan menimbulkan reaksi yang positif juga..
Untuk itulah, kita sudah seharusnya berupaya tetap berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik, benar dan santun.
Seperti slogan yang sering dipakai oleh Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing. Pada slogan tersebut, jelas bahwa apabila komunikasi di dalam negeri haruslah mengutamakan bahasa Indonesia dan bukan berarti kita menutup diri dengan bahasa asing. Salam Indonesia.