10
Suara desing bus yang sedang dipanaskan sopir sahut menyahut di pagi buta itu. Asapnya juga tak mau kalah saling berlomba mengepul ke udara. Aku ragu kumpulan bus di Ibukota ini telah lolos uji KIR kendaraan. Tak terkecuali bus antar kota yang aku naiki sekarang. Tidak mungkin pikirku, bus yang mengeluarkan asap hitam penuh itu lolos. Ada yang salah pasti dengan alat uji KIR nya. Atau mungkin ada yang salah dengan manusia pengujinya. Alat sudah benar, tapi manusianya rusak, hasilnya pasti sama saja nihilnya. Tiada guna pula alat uji yang canggih itu. Begitu mudahnya memang mencari bahan investigasi di Jakarta ini. Kamu tinggal tunjuk saja satu hal, pasti bermasalah. Sebut saja asap hitam bus di pagi hari ini. Atau parkiran motor dan mobil yang berada di sepanjang mobil. Semudah itu, kamu tinggal tunjuk saja.
Hampir 30 menit lamanya aku menunggu di dalam bus, sang sopir akhirnya baru menginjak pedal gas bus meninggalkan terminal. Jalanan masih lengang ketika bus secara perlahan-lahan menyusuri jalan Ibukota yang belum terlihat bergeliat. Hanya satu dua mobil saja yang terlihat melintas atau berseberangan dengan bus ekonomiku. Tak begitu banyak juga penumpang yang naik bus yang mungkin usianya sudah memasuki usia 30 tahun lebih. Aku masih berusaha merangkai satu persatu puzzle yang belum terpecahkan dari misteri kecelakaan di Puncak. Sedikit juga mereka-reka apa yang akan kutemui di dalam dusun para korban. Terbayang juga kesedihan keluarga yang ditinggalkan. Apalagi kesemuanya berada dalam satu kampung, pasti suasana duka terasa mendalam di kampung tersebut.
“Karcis, karcis, karcis,” suara kondektur mulai terdengar berjalan dari kursi depan. Aku yang duduk di kursi tengah pun segera menyiapkan uang.
“Semarang Bang. Berapa ?”
“80 ribu.”
Usai membayar, aku kemudian mencoba memejamkan mata untuk istirahat. Apalagi udara pagi ini sejuk sekali. Jendela bus aku buka sedikit agar angin sepoi-sepoi sedikit masuk dan cepat mengantarku ke alam mimpi. Lamat-lamat akupun mulai tak tersadar lagi dan mengikuti saja, alur bus kemana membawaku.
###
“Mba bangun-bangun sudah sampai di Semarang!” sayup-sayup suara kondektur membangunkanku dari tidur panjang. Kulihat jarum panjang arlojiku sudah menunjukkan jam 2 siang. Beberapa penumpang yang berbarengan dari Jakarta juga sebagian sudah turun. Aku yang tak begitu kenal daerah ini kemudian bertanya ke seseorang alamat yang diberikan PakWijanarko, Wakapolres Bogor. Setelah naik angkot 2 kali, aku masih harus melanjutkan naik ojek menuju dusun para korban dan semakin menjauh dari pusat kota menuju lereng pegunungan. Jalan keras dan berlubang keras terasa karena shockbreaker motor tukang ojek tak begitu bagus. Tukang ojek yang menyetir juga tampak menghela napas mengikuti lereng pegunungan yang terjal ini.
“Mba itu dusun yang kamu cari. Nah itu rumahnya kelihatan dari sini,” tukang ojek sesaat berhenti di pinggir lereng pegunungan sambil menunjuk dusun yang ada di bawah lereng jalan raya. Sekitar 200 meter nampaknya, jarak jalan raya ke dusun itu.
“Pak antarkan sekalian masuk ke dalam dusunnya dong.”
“Tapi mba, itu jalanannya aku tidak yakin bisa dilalui sepeda motor?”
“Nanti aku tambahi Pak ongkosnya. Kalau ada ban yang rusak aku ganti ya,” pintaku ke bapak tukang ojek itu sambil meyakinkannya.
“Baiklah kalau begitu.”
Kami berdua pun menuruni jalan agak curam itu ke rumah para korban di Dusun Karangmangu. Sepi sekali tidak ada orang yang terlihat sepanjang jalan menuju rumah mereka. Lebih aneh lagi, ketika sampai di rumah para korban. Tak ada satupun aktivitas di sana. Terlihat lima rumah tembok yang masih belum di cat berdiri berjejer dengan gaya bangunan sederhana dan tidak jauh berbeda. Aku kemudian mencoba mengambil inisiatif turun dan mengetuk pintu salah satu rumah tapi tidak ada yang menjawab. Dua rumah di sebelahnya juga aku ketuk tapi tidak ada jawaban. Merasa penasaran, 2 rumah lainnya pun aku ketuk. Bahkan agak kencang dari ketukan 3 rumah sebelumnya. Tapi tak satupun orang muncul dari dalam rumah. Aku mencoba melongok melalui kaca, tak terlihat juga orang beraktifitas di dalamnya.
“Mba sebenarnya sedang mencari siapa ? Kok semua rumah diketok-ketok,” tukang ojek itu mulai penasaran juga sepertinya melihat gelagatku. Sementara aku lebih penasaran lagi dengan rumah para korban kecelakaan di Puncak, Bogor. Tak ada aktivitas apapun dari semua rumah korban. Gambaran kesedihan para keluarga korban yang sebelumnya aku bayangkan juga salah semuanya.
“Aku wartawan Warta Ibukota Pak,” seperti biasa aku tunjukkan ID Cardku supaya Bapak tukang ojek itu tidak curiga kembali.
“Oh Mba, wartawan ?”
“Iya Pak…kebetulan aku kesini sedang mengecek rumah para korban yang kemarin kecelakaan di Puncak, Bogor, Jawa Barat.”
“Apa ? Jadi yang di TV-TV kemarin yang kecelakaan itu rumahnya di sini?”
“Iya Pakkk.”
“Ah jadi merinding takut aku mba, mana rumahnya di sini sepi lagi. Ayo kita pergi dari sini Mba!”
“Bentar Pak. Bapak tahu tidak, kantor lurah atau camat dari dusun ini. Mungkin mereka tahu, para korban dikubur dimana ?” “Ohhh kalau kantor lurahnya aku tahu Mba.” “Nah antar aku kesana Pak. Mau kan ?”
“Ya mau lah Mba. Daripada kelamaan di sini aku tambah merinding.”
Kami berduapun memutar, kembali ke jalanan sebelumnya menuju kantor kelurahan dan meninggalkan kelima rumah di dusun tanpa penghuni itu. Cukup jauh ternyata kantor kelurahan dengan rumah para korban. Butuh 30 menit lebih setidaknya untuk menjangkaunya dengan menggunakan motor. Langit sudah menjelang sore ketika aku sampai kantor kelurahan. Beruntung pak lurah masih ada di kantornya. Setelah meminta izin kepada pegawai kelurahan, akupun dipersilahkan ke ruangan kantor Pak Lurah.
“Sore Pak Lurah, aku Gayatri wartawan Warta Ibu Kota.”
“Oh ayooo, silahkan masuk Mba,” pak lurah cukup ramah ketika mempersilahkanku masuk ke ruangannya. Menerka dari wajahnya, mungkin lurah itu umurnya berkisar 40 tahunan. Meja kerjanya juga cukup sederhana. Hanya ada tumpukan kerta dan sebuah mesin ketik saja yang ada di atas meja. Tapi tidak dengan ponselnya, cukup mewah sepertinya.
“Ada yang bisa kami bantu Mba Gayatri?” tanya Pak Lurah memulai pembicaraan.
“Iya Pak, kebetulan aku sedang menulis tentang kecelakaan warga dusun di bawah lereng pegunungan yang masih masuk desa yang Bapak pimpin.” Aku kemudian menunjukkan nama-nama korban yang aku dapatkan dari Polres Bogor ke pak lurah. Kepalanya mengangguk-angguk seakan membenarkan kecelakaan tersebut.
“Iya benar memang Mba Gayatri. Sepuluh korban tersebut memang warga kami. Kami juga merasa kehilangan atas peristiwa kecelakaan mereka saat sedang tamasya.”
“Oh mereka tamasya ya Pak awal tujuannya ?” “Benar.”
“Lalu sekarang korban dimakamkan dimana Pak Lurah ?”
“Kami sebelumnya sudah dapat informasi dari Polres Bogor mengenai kecelakaan tersebut. Termasuk rencana pengiriman jenazah korban. Karena itu begitu, ambulans datang, Aku sudah perintahkan ke penggali kubur untuk menyiapkan 10 kuburan untuk para korban.”
“Dari pihak keluarga apakah tidak ada yang diberitahu Pak Lurah ?”
“Sungguh tragis memang. Kesepuluh korban itu masih satu keluarga dan saudara-bersaudara. Karena tidak ada keluarga yang tersisa, kami saat itu langsung mengambil inisiatif untuk langsung menguburnya.”
“Jadi kuburan mereka sekarang dimana Pak?”
“Ada tidak jauh dari sini. Besok Mba Gayatri kalau mau bisa kesana untuk melihatnya.”
“Baik PakLurah kalau begitu, aku ucapkan terima kasih atas informasinya. Kalau begitu aku izin pamit terlebih dahulu, karena sudah mau malam juga.”
“Iya sama-sama. Kalau ada yang belum jelas, jangan sungkan-sungkan untuk kembali bertanya ke kami. Sebisa mungkin kalau bisa, akan kami bantu.”
“Terima kasih Pak Lurah.”
Aku lalu meninggalkan kantor kelurahan usai wawancara dengan lurah. Tukang ojek yang masih menungguku kemudian mengantarku mencari penginapan di dekat perkotaan yang tidak jauh dari dusun para korban. Sesampai di penginapan, tenagaku sepertinya sudah habis untuk perjalanan dari Jakarta ke Semarang tadi. Setelah mandi aku pun langsung merebahkan tubuhku di atas kasur dan tertidur lelap.
###
Keesokan paginya tukang ojek yang mengantarku semalam sudah berada di depan hotel seperti permintaanku. Pak Ahmad namanya, ia memperkenalkan dirinya sebelum pulang semalam. Jam 7 pagi persis, tidak kurang tidak lebih. Namun, melihat matanya yang masih merah, tampaknya istirahatnya semalam tidak sempurna betul. Tak sepertiku, yang sudah kembali bugar untuk kembali menyusuri potongan teka-teki di sana-sini yang masih berserakan.
“Haiii Pak…masih ngantuk ?”
“Huah, sudah ga Mba. Yuk kita berangkat,” jawab Pak Ahmad itu sambil menguap.
“Yang bener nih Pak. Yakin gapapa jalan sambil mengantuk?” “Tenang mba ! Aku sudah minum kopi tadi. Dijamin aman !”
“Siap deh kalau begitu Pak. Kita nyari makan dulu yuk Pak dekat kelurahan kemarin!”
“Ayo Mba, kebetulan belum makan juga Aku,” jawab Pak Ahmad serambi tersenyum malu.
Bukan hanya matanya yang masih memerah, motor Pak Ahmad juga kelelahan sepertinya. Beberapa kali disela motor bebeknya tak kunjung menyala juga. Diotak-atiknya busi motor. Setelah digosok-gosok sedikit dan diamplas. Baru motor bebeknya bisa distarter. Kami berdua pun kembali meluncur ke daerah sekitar kelurahan.
“Nah itu Pak ada warteg sepertinya kita ke sana saja yuk Pak !” “Siippp Mba.”
Usai memarkir motor, kamipun masuk ke warung tegal tak jauh dari kelurahan. Mungkin karena baru jam 8 pagi, belum banyak orang yang makan di warung ini. Hanya ada 2 pembeli saja ketika kami masuk ke dalam. Dua orang penjaga warungnya juga terlihat masih sibuk dengan urusan masing-masing. Seorang penjaga masih sibuk menggoreng tahu tempe. Sementara satu orang lainnya masih sibuk menata lauk pauk yang sudah matang untuk dipajang di kaca-kaca. Sambil melayani pembeli yang sudah datang di pagi-pagi seperti kami.
“ Makan apa Pak dan Mba ?”
“Aku nasi dan lele pakai sambal Mba,” jawabku singkat.
“Kalau aku nasi, ayam goreng dan sambal. Minumnya es teh manis Mba,” Pak Ahmad memesan ke penjaga warung setelahku.
“Silahkan Mba nasinya.”
“Terimakasih Mba.” Setelah melayaniku, pegawai warung itu kemudian melayani Pak Ahmad dengan cekatan. Sambil menyantap makanan, aku lalu membuka obrolan dengan penjaga warung.
“Ibu pernah main ke Dusun Karangmangu ?” “Iya pernah lah Mba. Memang kenapa Mba?”
“Gapapa Bu, nanya saja. Aku kemarin mendengar mereka banyak yang menjadi korban kecelakaan di Puncak, Bogor.”
“Iya benar. Kasihan sekali mereka. Satu keluarga besar di satu dusun itu menjadi korban semuanya.”
Pak Ahmad dan 2 pembeli lainnya sepertinya tidak terlalu tertarik dengan obrolanku. Mereka terlihat asyik menyantap lauk pauk yang begitu menggoda di piring masing-masing.
“Ibu kemarin melihat penguburannya ?”
“Aku sih tidak ikut penguburannya. Tapi kata tetangga mereka kemarin dimakamin langsung sama penggali kuburan yang ditunjuk perusahaan.”
“Perusahaan tempat mereka bekerja maksud Ibu ?”
“Bukan Mba, perusahaan tambang emas yang dekat rumah mereka itu loh,” penjaga warung satunya lagi tiba-tiba menimpali pertanyaanku sambil meletakkan tahu tempe di tempayan di atas kaca.
“Loh memang ada perusahaan emas di sini Bu ?”
“Lah ya ada Mba, itu lokasinya kan tidak jauh dari rumah mereka. Perusahaan itu juga kabarnya yang kasih uang gratis untuk liburan mereka semuanya.”
“Oh begitu Bu.”
Mendengar informasi dari 2 penjaga warung ini, satu bagian puzzle dari kecelakaan di Bogor mulai terlengkapi. Walaupun begitu, belum cukup juga mengungkap apa penyebab sebenarnya kecelakaan 10 warga Dusun Karangmangu itu. Usai makan, aku dan Pak Ahmad melanjutkan mencari informasi ke warga lainnya di sekitar kelurahan. Dengan cara yang sama seperti tadi. Makan di warung atau sekedar pura-pura beli minum kemudian mengajak mereka mengobrol. Dan hasilnya kurang lebih sama dengan 2 penjaga warung tadi.
Untuk memastikan keberadaan perusahaan penambangan emas, aku lantas kembali menyusuri lereng pegunungan dekat dusun Karangmangu. Benar saja, tepat 500 meter dari jalanan dusun Karangmangu aktivitas penambangan emas cukup terlihat dengan kasat mata.
PT Karya Tambang Indonesia, setidaknya plang besar itulah yang terpampang di depan pintu gerbang itu yang menunjukkan nama perusahaan tambang tersebut. Dari kejauhan aku kemudian mengambil beberapa foto para pekerja. Kolam pembuangan limbah tambang emas yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari aliran air sungai di Dusun Karangmangu. Aku juga sempat memberanikan diri untuk wawancara dengan manajemen perusahaan tambang tersebut. Tapi menurut penjaga tidak ada yang berkenan untuk diwawancarai perihal kegiatan sosial perusahaan tambang tersebut. Yakni kegiatan sosial yang memberangkatkan warga Dusun Karangmangu untuk rekreasi dan akhirnya kecelakaan tersebut.
Setelah cukup dengan nama perusahaan tambang dan segala aktivitasnya, aku kemudian kembali ke hotel. Namun, sebelum kembali aku sempatkan terlebih dahulu untuk mengambil air minum yang berada dalam kendi-kendi depan rumah korban, seperti yang aku lihat kemarin. Termasuk air di sungai yang mengalir di sekitar warga Dusun Karangmangu. Barangkali saja air tersebut bisa menjadi tambahan kepingan puzzle penyebab kematian kesepuluh warga Dusun Karangmangu..
###
Kotak-kotak pelafon kamar hotel tempatku menginap kutandai secara imajiner sebagai kepingan-kepingan puzzle penyebab kecelakaan Warga Karangmangu. Hanya beberapa saja yang masih menjadi teka-teki. Sementara tubuhku mengambil sedikit keuntungan dengan merebahkan di kasur empuk hotel, ketika mataku dan otakku bekerjasama menyelesaikan puzzle yang dalam imajinasiku plafon-plafon hotel. Cukup lelah memang rasanya 2 hari mondar-mandir mengumpulkan kepingan. Iya sudah 2 hari aku di Semarang. Aku kembali teringat dengan Mas Sigit. Barangkali saja hasil otopsi kesepuluh korban sudah keluar. Segera kucari kartu namanya, kuhubungi dia melalui ponsel.
“Haloo Mas Sigit .”
“Iya siapa nih ?”
“Waduh sudah lupa sama aku ya mas. Baru 2 hari kemarin ketemu sudah lupa.”
“Gayatri ?”
“Iya bener Gayatri Mas.”
“Iya ada apa Gayatri, sore-sore begini menghubungiku ?”
“Mas masih ingat dengan sepuluh korban kecelakaan yang di Puncak ga mas ?”
“Iya kenapa ?”
“Untuk hasil otopsinya apakah sudah dapat diketahui Mas ?”
“Baru saja keluar, tapi ini kami baru akan berikan ke polisi Bogor dulu sebelumnya.”
“Bagaimana hasilnya Mas, apakah ada yang janggal atau ada hubungannya dengan pertambangan ?”
“Ya kesepuluh korban memang meninggalnya karena faktor kecelakaan semuanya. Untuk detailnya nanti aku lihatkan ke kamu kalau sudah ketemu. Tapi …”
“Tapi kenapa Mas ?”
“Iya dari sepuluh korban dari pemeriksaan darahnya sebagian besar mengandung merkuri seperti pada umumnya warga yang tinggal di daerah-daerah pertambangan emas .”
“Apa ? merkuri ? pertambangan emas ?”
“Iya, tapi aku berani katakan kalau merkuri itu bukan penyebab utama mereka meninggal.”
“Baik kalau begitu Mas Sigit terima kasih banyak informasinya. Besok sore Aku sudah sampai di Jakarta, kalau ada waktu kita boleh ngobrol-ngobrol.”
“Oke Gayatri. Eh tunggu, tapi ingat ya informasi ini tolong jangan dikutip terlebih dahulu ya, soalnya belum aku berikan ke polisi.”
“Siap Mas Sigit. Terima kasih ya .”
Mas Sigit kemudian menutup teleponnya. Belum sempat aku taruh, ponselku kembali bergetar. Dari Boy rupanya, tumben amat pikirku Boy menghubungiku.
“Halooo Bu Wartawan. Lagi dimana sekarang ?” “Hai Boy, tumben amat kamu telpon?” “Nggak boleh ?”
“Ya bolehlah. Oh ya aku lagi di semarang sekarang. Ada apa Boy ?”
“Apa kamu lagi di Semarang ?” Boy terdengar seperti kaget dan tidak percaya ketika aku menyebut sedang ada di Semarang.
“Iya di Semarang, kenapa memang ?”
“Wah kebetulan aku juga sedang di Semarang juga.”
“Oh ya ?”
“Iya.”
“Tapi besok pagi aku sudah kembali ke Jakarta Boy.”
“Yasudah kalau begitu kita pulang bareng saja besok naik mobilku bagaimana?”
“Memang kamu mau pulang besok juga.”
“Yappp betul. Kebetulan aku ada kabar bagus juga yang ingin kusampaikan untuk kamu Ci. Kamu pasti suka mendengarnya.”
“Wah kabar apa Boy ?”
“Sudah besok pas di perjalanan pulang saja aku ceritakan. Bagaimana ?”
“Oke kalau begitu.”
“Sampai ketemu besok ya Boy.”
Begitu kututup telpon dari Boy, sebuah sms dari nomor tidak dikenal kemudian masuk ke nomor HP-ku.
SMS/ 0857.6547.8778
Hentikan penyelidikanmu atau nyawamu dan keluargamu bakal jadi taruhannya.
Orang salah kirim sms mungkin pikirku. Tidak mungkin sms itu ditujukan kepadaku. Tapi karena penasaran, aku kemudian mencoba menghubungi nomor tidak dikenal yang bernada ancaman tersebut. Tapi tiga kali dihubungi nomor tersebut tak mengangkat sama sekali. Tapi untuk keempat kalinya, nomor tidak dikenal itu sudah tidak bisa dihubungi.
“Ah sudahlah pikirku, mungkin orang iseng saja yang salah kirim sms,”gumamku. Aku lalu merebahkan diri untuk istirahat untuk persiapan besok kembali pulang ke Jakarta bersama Boy.