11
Lagu-lagu lama Iwan Fals terus mengalun dalam mobil mewah Boy di sepanjang perjalanan tol Semarang-Jakarta. Terutama lagu bento ada setidaknya 3 kali diputar ulang oleh Boy. Entah Boy ingin menjadi sosok Bento yang digambarkan Iwan Fals atau Boy suka dengan sindiran lagu itu. Kepalaku terkantuk-kantuk beberapa kali sepanjang awal perjalanan. Rasa letihku dan AC mobil yang begitu nyaman semakin membuatku pulas di mobil pejabat eselon ini.
“Haiiiiyaaaaa,” tiba-tiba Boy teriak keras sambil menggebrak dasboard mobil. Mendengar itu spontan rasa kantukku buyar karena kaget mendengar suara Boy. Sementara Boy malah tertawa girang karena sukses membuatku kaget. “Hhahahahaha Aci, Aci, molor terus aja kamu.”
“Whuuu bikin kaget saja Kamu Boy. Aku pikir nyerempet apa mobilmu,” kupukul pundak Boy karena kesal.
“Tidak di bioskop, tidak di mobil molor terus kamu,” Boy kembali meledekku.
“Biarin saja. Yang penting kan tidak merugikan orang lain.”
“Hahahahha, maaf-maaf katanya pingin tahu kabar baiknya malah tidur saja sepanjang jalan.” Boy memelankan mobilnya ketika mendekati pintu pergantian tol dan kemudian membayar tol. Kuteguk segelas kopi yang sempat kubeli di Semarang tadi sebelum berangkat. Sudah ga enak lagi pikirku kalau harus melanjutkan tidur. Sekalian saja terjaga di sisa perjalanan menuju Jakarta.
“Ga jalan bareng Alexa kamu tumben?”
“Oh sudah dong setiap ada waktu kosong selalu aku maksimalkan dengan Alexa yang tercantik di dunia.”
“Lah sekarang kamu kenapa malah jalan sama aku?”
“Iya kan bareng biar ada teman mengobrol perjalanan ke Jakarta. Mumpung, mumpung ada kamu Ci.”
“Huuu dasar kamu, cuman manfaatkan aku saja biar ga sepi di jalan.”
“Iya kan kamu juga dapat tumpangan gratis mobil camry mewah ini hehehhe.”
“Bisa aja kamu. Jadi apa kabar bagusnya Boy ? Awas kalau tidak bagus aku pukul lagi kamu karena sudah berani-beraninya membangunkanku.”
“Ini kabar kamu pasti suka Ci!”
“Apa sih jadi penasaran saja aku ?”
“Gini-gini Aci. Kantorku kebetulan sedang mencari humas untuk kantor pusat di Jakarta. Nah kebetulan aku yang diminta cari untuk kandidatnya.”
“Terus?”
“Iya terus kriteria yang dicari cocok banget dengan Kamu Ci. Wartawan, lulusan ternama dari universitas negeri, wanita. Pas. Kamu mesti ambil Ci peluang ini ?”
“Kenapa memang Boy ?”
“Gaji kamu sekarang berapa ?”
“5 juta Boy.”
“Nah kamu jika diterima dan pasti diterima karena rekomendasiku. Gajinya 10 kali lipat dari gaji kamu sekarang. Rp 50 juta untuk tahun pertama. Tahun berikutnya akan terus meningkat, itu belum termasuk tunjangan lain-lainnya. Mobil misalnya.” “Wow besar banget Boy gajinya.”
“Itu dia Ci, kamu senin depan harus segera datang ke kantorku dan interview. Secepatnya pokoknya kalau bisa !”
“Tapi Boy. Aku masih bimbang.”
“Sudahlah Ci. Kamu jangan berpikir lama dengan tawaran ini. Coba kamu bayangkan orang tua kamu bagaimana senangnya jika nantinya tahu anaknya bekerja di perusahaan internasional dengan gaji yang besar. Rumah dan mobil disediakan.”
“Tapi kan aku ini wartawan bukan humas.”
“Iya itu tidak jadi soal, toh tidak jauh berbeda dunia wartawan dan humas. Kamu bayangkan berapa banyak orang yang bisa kamu tolong dengan penghasilanmu nanti. Terutama keluarga kamu.”
“Tapi kalau diundur bagaimana Boy. Kebetulan aku masih ada liputan yang belum kuselesaikan.”
“Aci ini kesempatan emas. Ini lamaran banyak sekali orang yang ingin mendapatkannya. Sayang sekali kalau kamu melewatkan dan menundanya. Orang lain pasti akan segera mendahului kamu, kalau kelamaan berpikir nanti.”
“Tapi aku tidak bisa memutuskan secepat itu Boy.”
“Ayolah Ci, kesempatan ini tidak akan datang 2 kali dalam hidupmu.” “Kok tumben kamu memaksaku seperti begini.”
“Ya bukannya memaksa. Tapi ini kan demi kebaikan kamu. Tapi kalau …” Boy tak melanjutkan omongannya. Sepertinya ia sedikit kecewa dengan keputusanku yang lama soal tawaran kerja darinya. Sementara, aku sendiri memang justru tidak begitu tertarik dengan tawaran kerjanya. Tawaran di perusahaan bergengsi dari Amerika Serikat. Yang mungkin, banyak orang yang berebut dan mengantri untuk masuk ke sana. Sementara, aku masih bimbang dan pura-pura jual mahal dengan tawaran Boy sahabat kecilku. Bagiku bekerja memang bukan soal berapa banyak yang bisa kukumpulkan. Tapi bekerja adalah soal berapa besar hasil pekerjaanku nanti bisa bermanfaat bagi orang lain.
Parahnya lagi, pikiranku bahkan kembali lagi ke potongan-potongan puzzle yang sudah terkumpul beberapa bagian. Tawaran Boy sudah tak kupikirkan lagi. Foto minibus yang seperti ditabrak mobil lain, hasil otopsi yang menunjukkan ada merkuri yang sesuai dengan karakter wilayah tambang di dusun Karangmangu, perusahaan tambang yang memberi rekreasi gratis para korban, malah kembali lalu lalang di pikiranku. Jadi pertanyaannya rekreasi itu sengaja didesain untuk kecelakaan atau tidak ? Tapi kalaupun itu disengaja, apa motifnya. Aku masih belum mendapatkan benang merahnya.
Sementara pikiranku berputar keras soal tekaiteki puzzle, Boy masih terdiam kecewa sambil terus menginjak gas mobil mewahnya. Sepertinya ia sudah tidak tertarik melanjutkan obrolan soal bekerja di XO Internasional. Ia lebih asyik mendengarkan alunan musik Iwan Fals sambil terus menginjak gas mobil dan menyetir sesuai kelak kelok jalan raya hingga sampai ke rumahku.
###
Keesokan paginya, tak seperti biasanya paman Handoko memanggilku untuk mengajak makan berdua di meja makan. Terutama di hari sabtu begini, ia pagi-pagi begini biasanya sudah mengajak Najwa untuk jalan-jalan atau sekedar berlari-lari di taman. Sebagai pengganti 5 hari kerjanya dan tidak berjumpa dengan Najwa anaknya.
“Gayatri, aku mendengar kamu mendapat tawaran dari Boy untuk bekerja di perusahaannya. Bagaimana kamu tertarik ?”
“Lho kok Paman tahu kalau aku dapat tawaran dari Boy?” aku terkaget paman Handoko tiba-tiba bertanya soal pekerjaan yang ditawarkan Boy. Darimana ia tahu pikirku. Sebab Boy baru membuka obrolan itu kemarin dalam perjalanan pulang dari Semarang ke Jakarta.
“Iya dari Boy lah. Kemarin sebelum pulang habis nganterin kamu dia sempat cerita kepadaku sebelum pulang.”
“Ahh si Boy ada-ada saja, masalah beginian diceritakan,” gerutuku agak kesal mendengar pengakuan paman. Lagipula Boy belum meminta izinku soal cerita ke paman, tapi main cerita saja.
“Kenapa kamu Gayatri, tidak suka paman bicara soal ini?”
“Ahhh enggak paman, bukan begitu. Aku masih bingung Paman untuk tawaran ini, karena masih ada belum ada pekerjaan yang belum selesai di kantor.”
“Loh kan itu tinggal dibicarakan dengan kantor untuk urusan itu. Apalagi seperti Boy kesempatan ini tidak akan datang untuk yang kedua kalinya.”
“Iya Paman.”
Paman Handoko mulai mendesakku agar menerima tawaran Boy, daripada harus bertele-tele memberikan nasehat kepadaku.
“Kamu juga ingat, kalau kamu sudah bekerja di perusahaan internasional begitu nantinya kan kamu juga bisa mengajak saudara-saudara kamu atau keluarga yang lain untuk bekerja di sana. Mencari pekerjaan sekarang kan sulit.”
“Ah Paman bisa saja. Mana bisa ?”
“Iya bisalah, itu buktinya Boy bisa mengajak kamu. Apa itu namanya kalau bukan karena perkenalan.”
“Iya tapi, aku masih butuh waktu Paman untuk memutuskannya. Aku kan wartawan bukan humas.”
“Kalau Boy sudah bilang bisa dan rekomendasikan kamu artinya sudah tidak ada masalah.”
“Aduh Paman aku agak bingung menjelaskan soal ini ke Paman. Tapi nanti aku coba pikirkan nasehat Paman soal tawaran Boy.”
“Bapak dan ibu kamu pasti bangga nanti Gayatri kalau anaknya bisa bekerja di perusahaan internasional dan mendapatkan gaji yang besar dan fasilitas yang bagus.”
“Iya Paman.”
“Baiklah kalau begitu, paman tinggal dulu menjemput Najwa dan bibimu dulu di taman. Kamu pikirkan matang-matang ya.”
Kubanting bantal di kursi sofa, ketika paman sudah keluar. Kesal sekali rasanya dengan Boy karena bercerita langsung ke paman tanpa minta izin terlebih dahulu kepadaku. Tapi mungkin benar juga yang dilakukan Boy. Sebagai sahabatku yang sudah berpuluh-puluh tahun ingin yang terbaik bagiku. Bekerja dengan gaji yang tinggi, fasilitas lengkap dan tidak banting tulang seperti sekarang. Mungkin benar juga nasehat paman Handoko. Ia tidak tega kalau melihat keponakannya yang perempuan harus banting tulang mengais berita. Pergi pagi pulang malam, hari libur juga sering menjadi korban. Tapi Boy dan Paman Handoko, apakah mengetahuinya kalau profesi wartawan ini begitu aku cintai.
Sekilas desakan 2 orang terdekatku membuat aku goyah untuk menerima tawaran tersebut. Pikiranku menjadi bimbang antara melanjutkan liputan investigasiku soal kecelakaan di Bogor atau langsung pindah kerja dengan gaji 10 kali lebih besar dan fasilitas mewah. Tapi kalau tidak dilanjutkan, bagaimana tanggung jawabku kepada para korban yang sudah sejauh ini aku selidiki. “Barangkali bpak ibuku punya pendapat yang berbeda soal ini,” gumamku sendiri. Aku kemudian menelpon rumah untuk meminta pendapat bapak ibu.
“Halooo, siapa ini ?” suara ibuku terdengar di penghujung telepon. Suara yang sangat aku kenal, meskipun sudah setengah tahun lebih tidak berjumpa dengannya.
“Gayatri Ibu.”
“Gayatri, bagaimana kabarmu ? Kenapa sekarang jarang telpon ke rumah?”
“Baik Ibu, aku kabarnya. Iyaa maaf, aku lagi sedang banyak kerjaan minggu ini. Ibu bagaimana kabarnya ?”
“Iya Bapak dan Ibu juga baik, sehat semuanya. Ada apa kamu pagi-pagi begini kok telpon ke rumah. Apa ada yang penting atau kamu sedang butuh uang?”
“Nggak Ibu, aku cukup disini. Gajiku sudah sebagian malah sudah kutabung untuk keperluan-keperluan dadakan barangkali ada. Tapi Bu, Gayatri mau cerita ini?”
“Cerita apa Gayatri ?”
“Begini Bu, Gayatri lagi bimbang soal pekerjaan. Ibu apakah masih kenal dengan Boy, temenku pas SD dan SMP?”
“Iya Ibu masih ingat. Boy yang anaknya ganteng, baik dan suka main ke rumah itu kan?”
“Ahhh Ibu memang ganteng apa si Boy, kalau baik sih iya.”
“Kamu dikasih tahu Ibu, ya gantenglah. Kamu saja yang tidak melihatnya. Tapi ngomong-ngomong kenapa dengan Boy?”
“Iya Ibu sih ada-ada aja soal Boy. Jadi begini nih Bu, Boy kan kerjanya di perusahaan besar di pertambangan. Sudah sukses pokoknya dia, punya mobil, rumah dan sebagainya.”
“Terus?”
“Terus Boy nawarin aku kerja untuk jadi humas di perusahaannya. Gajinya gede 10 kali lipat dari yang sekarang. Nanti juga akan dikasih fasilitas mobil dan rumah kalau mau. Nah bagaimana kalau menurut Ibu?”
“Kok menurut Ibu ? Menurut kamu bagaimana, kan kamu nanti yang akan menjalani pekerjaannya.”
“Kalau aku sih masih bimbang sih Bu.”
“Kok bimbang, kamu sebenarnya ingin menjadi apa dalam hidup ini. Itu kan sederhana, tinggal kamu rinci wartawan pekerjaannya apa dan humas pekerjaannya apa. Tinggal kamu pilih deh !”
“Tapi gajinya kan bedanya bumi dan langit Bu?”
“Gayatri, bekerja itu tidak hanya selalu untuk mengejar uang. Kalau kamu bekerja tapi tidak dari hati, apa gunanya juga uang banyak. Apa kamu akan tukar kebahagianmu dengan uang itu?”
“Ya nggak sih Bu?”
“Terkadang dalam kerjaan kita juga ada hak-hak orang lain yang harus kita selesaikan dalam pekerjaan kita. Karena itu juga Tuhan mempercayakan pekerjaan ke kita. Bukan secara sembarangan pekerjaan itu jatuh ke kita. Makanya kamu pikir matang-matang mau menjadi apa kamu dalam hidupmu nanti !”
“Iya Ibu. Terima kasih, Ibu memang Ibu paling hebat di dunia untukku.”
Kututup kemudian gagang telpon, kuhirup napas dalam-dalam supaya nasehat dari ibu tidak cepat meluap. Kusimpan rapi di bagian paling mudah di dalam otakku. Begitulah selalu ibu menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang sederhana. Tidak harus dengan pertimbangan yang berlebihan. Cukup melihat tujuan awal saja dan mendengar suara hati. Bahwa bekerja tidak selalu harus meluluh soal uang, tapi ada juga hak-hak orang lain yang dititipkan Tuhan ke dalam pekerjaan kita. Dan bukan sebuah kebetulan pula, Tuhan menjadikan pekerjaanku seperti sekarang.
Hal itu pula yang dilakukan ibu ketika memperbaiki boneka-boneka anak sahabat-sahabatnya yang rusak. Tidak meminta imbalan sepeser apapun. Meskipun terkadang, ia harus mengerjakan bonekanya di tengah malam saat semua orang sudah larut dalam mimpi masing-masing. Cukup dibayar dengan senyuman sang anak saja kata ibu saat aku dulu masih kecil.