12
Kafe Maja yang biasanya menjadi tempat aku minum kopi bersama Boy penuh sekali di hari minggu ini. Beruntung masih ada satu meja kosong di pojokan dalam. Bahkan sangat cocok sekali untuk dijadikan tempat bicara dengan Mas Sigit soal otopsi para korban. Seperti janjinya beberapa hari lalu kepadaku yang akan memberikan hasil otopsi kesepuluh korban kepadaku.
“Ini fotokopi hasil otopsi 10 korban kecelakaan yang di puncak Bogor seperti yang kamu minta,” Mas Sigit menyodorkan map polos besar. Aku hanya melongok sebentar isi di dalam map polos tersebut, kemudian segera kumasukkan ke dalam tas agar tak menimbulkan kecurigaan orang di dalam kafe.
“Tapi ingat Gayatri, meskipun hasilnya sudah aku berikan ke polisi. Kamu jangan sebut di tulisanmu, kalau hasil otopsi ini kamu dapatkan dariku !”
“Iya aku janji Mas Sigit. Tapi kalau aku mewawancarai kamu sebagai ahli apakah boleh mas ?”
Alat perekam yang sudah kupegang kemudian aku nyalakan sebagai tanda pembicaraan berikutnya akan aku rekam sebagai wawancara.
“Sebaiknya jangan, tolong kamu matikan saja. Tapi kalau sekedar gambaran penyebab kematian mereka nanti aku ceritakan garis besarnya.”
“Baiklah kalau begitu Mas,” alat perekamku kembali aku matikan dan aku masukkan ke dalam tas.
“Kalau soal pendapat ahli kamu bisa wawancara dokter lainnya nanti. Untuk menjelaskan apa-apa yang ingin kamu konfirmasi. Ini supaya tidak terlalu kentara aku sebagai dokter yang melakukan otopsi dan aku yang membocorkan hasil otopsinya ke media massa.”
Jadi seberapa besar itu kandungan merkuri dalam darah para korban?”
“Itu semuanya sudah tercatat lengkap dalam hasil otopsi yang kuberikan kepadamu itu.”
“Tapi mengapa polisi kemarin ketika aku lihat di TV dan beberapa media online tidak menyebutkan soal merkuri di dalam darah para korban.”
“Iya mungkin tidak ada yang bertanya dan tidak ada perlunya polisi menjelaskan soal itu. Sebab, memang garis besar kesepuluh korban meninggal karena kecelakaan.”
“Baik Mas Sigit kalau begitu terima kasih atas semua informasinya dan bantuannya.”
“Sudah cukup, tidak ada yang ingin ditanyakan lagi?”
“Siap cukup mas. Habis ini kemana Mas Sigit ? Apa mau mampir ke rumah paman Handoko yang di Bintaro.”
“Ah sudah ga usah, sampaikan salamku saja ke Pak Handoko dan istrinya. Aku mau jalan-jalan saja, barangkali ketemu dengan jodohku nanti.”
“Hahahaha bisa aja Mas Sigit, masa dokter muda dan ganteng masih sulit mencari calon istri?”
“Ya begitulah faktanya Gayatri. Buktinya kamu juga tidak berminat untuk menjadi istriku. Malahan berminatnya mewawancaraiku, hahahha.”
“Bisa aja Mas Sigit.”
“Hahaha bercanda Gayatri. Lagian wartawan bukan istri ideal seperti gambaranku.”
“Lho kok bisa mas?”
“Iya, kamu waktu buat diri kamu sendiri saja tidak ada. Bagaimana nanti mau ada waktu buat suami dan keluarga.”
“Hahaha benar juga mas omonganmu.”
“Bercanda Gayatri, hehehe jangan dimasukkan ke dalam hati. Baiklah kalau begitu, aku tinggal dulu ya !”
“Hah iya Mas, hati-hati di jalan ya ?”
Mas Sigit kemudian keluar meninggalkan kafe. Cukup menyentil juga candaanya soal waktu wartawan buat keluarga. Sangat mengena sekali. Terbukti selama bekerja menjadi wartawan, aku jarang sekali menelpon orang tua. Sekedar berjalan bersama-sama Najwa dan pengasuh Najwa, Maria seperti awal-awal aku di Jakarta juga tak pernah lagi.
Setelah membayar bon, aku kemudian menyusul Mas Sigit meninggalkan kafe. Tidak mau searah dengannya, aku belok ke kiri kafe menyusuri trotoar.
Namun, tiba-tiba aku terperanjat ketika melihat foto Boy dalam gambar sebuah majalah tambang yang dipajang di lapak penjual koran dan majalah. Langsung kubuka halaman per halaman berita majalah tambang yang mengupas informasi tentang Boy. Mukaku memerah dan bibirku bergetar seakan tidak percaya dengan isi berita yang ada di majalah ini. Tidak mungkin orang yang selalu menemaniku saat kanak-kanak dan remaja bisa melakukan hal ini kepadaku. Langsung kutelpon Boy seketika setelah selesai membaca berita di majalah tambang itu.
“Halo Aci.”
“Boy dimana kamu sekarang ? Aku ingin bertemu sekarang !” “Ada apa memang Ci ?”
“Sudah kamu jangan banyak bertanya. Aku ingin bertemu sekarang,” jawabku ketus.
“Oke kalau begitu kita ketemu di kantor kamu saja nanti sore,” jawab Boy masih datar.
“Apa di kantorku, ngapain kamu di sana ?” intonasi nadaku mulai meninggi ketika Boy mengajakku ketemuan di Kantor Warta Ibukota. Tapi Boy tetap menjawab seperti biasa dengan nada bercanda. “Ada lah.”
“Baik kita ketemu nanti sore di kantor. Awas jangan ingkar.”