9
“Dokkk… Dokkk… Dokkk,” suara ketukan pintu terdengar sayup-sayup terdengar di telingaku.
“Gayatri, Gayatri, Gayatri, Dokkkk…dokkkk…dokkk,” suara ketukan pintu makin keras terdengar berbarengan dengan namaku. Namun rasa penatku masih enggan sekali untuk ditinggalkan dan terus mengajak memeluk bantal guling.
“Bangun Gayatri. Kamu mau ikut ke Kebun Binatang tidak ?”
“Huahh…iya bentar Bii, masih ngantuk sekali aku,” jawabku lirih sambil berusaha bangun dan jalan membuka pintu kamar.
“Aduh Gayatri, kamu ini susah sekali dibanguninnya ?”gerutu Bibi Kanti ke aku.
“Iya maaf Bi, aku pulang hampir jam 5 pagi tadi.”
“Walah, kamu ini kerja kayak tidak kenal waktu saja. Jadi bagaimana kamu mau ikut ke Kebun Binatang tidak, itu sudah ditungguin pamanmu ?”
“Duh maaf Bi, aku tidak ikut jalan-jalan ya. Masih ngantuk berat Bi.”
“Huh kamu ini kerja terus kerja terus. Ya sudah kalau begitu istirahat yang cukup. Jangan kerja terus, sakit kamu nanti!”
“Iya Bi.”
“Aku tinggal kalau gitu. Kamu istirahat, kalau mau makan , bibi sudah masak tadi.”
“Siap Bi.”
Usai Bibi Kanti sekeluarga dan Maria keluar jalan-jalan, aku kembali masuk ke kamar. Kameraku masih teronggok di meja kamar. Peristiwa kecelakaan tadi malam pun kembali melintas saat aku melihat kamera itu. Segera aku nyalakan laptop dan memasukkan memori kamera untuk melihat gambar hasil jepretanku semalam.
Satu persatu aku amati gambar dengan cermat dan sambil menguap beberapa kali. Gambar polisi, gambar wartawan, dua profesi yang hampir mirip pikirku. Sama-sama tidak memiliki jam kerja. Gambar mini bus yang jatuh ringsek ke jurang juga aku perhatikan perlahan-lahan dengan seksama. Ada sekitar 30 gambar sendiri yang aku ambil untuk mengabadikan minibus itu.
Desok-desok di beberapa bagian mobil nampak jelas terlihat. Beberapa warna lain dari mobil juga terlihat berderit di minibus itu. Satu persatu aku gambar mobil terus aku lihat dengan baik dan untuk aku pilih supaya bisa buat gambar di koran nantinya. Tapi tanganku kembali ke gambar mobil yang ada warna berbeda dari mobil itu. Deritan warna itu tampak seperti cat mobil lain. Bukan seperti karena pohon di sekitar jurang. Gambar itu lantas aku perbesar beberapa kali, benar itu pasti bukan karena warna akibat jatuh ke jurang kemudian terkena mobil. Itu pasti warna mobil lain yang menabrak kemudian berbekas di minibus yang ringsek karena jatuh ke jurang tadi.
“Ahhh pasti ada yang tidak beres dengan kecelakaan minibus semalam.”
Mungkin aku tidak akan seperti Brown Moses yang namanya melegenda karena berhasil menguak kisah penyelundupan senjata di perang sipil Suriah hanya dari rumah dengan menganalisa video-video dari Youtube. Tapi aku yang pemula dan tak punya keahlian, mungkin bisa beragkat dari gambar yang janggal ini.
####
Bengkel Ketok Magic di bilangan Haji Nawi Jakarta cukup terkenal untuk urusan mobil ringsek dan dempul. Segala desok mobil pasti beres di tangan mereka. Aku menyempatkan diri terlebih dahulu sebelum berangkat ke kantor. Cukup sederhana ruangan di bengkel Ketok Magic itu. Ruangan kerjanya hanya terdiri dari ruangan yang ditutupi seng dan terdengar suara pletak-pletok dari dalam suara orang bekerja.
“Siang bang,” sapaku ke pekerja bengkel.
“Iya Mba, ada yang bisa dibantu?”
“Bang sorry ini aku mau nanya, ini kalau desokan kayak gini bisa dibenerin di sini ga ?” tanyaku sambil memperlihatkan foto yang sudah aku print sebelumnya.
“Gampang itu mba.”
“Wah keren abang,” pujiku ke pekerja Ketok Magic itu.
“Bang sorry, mau nanya dulu. Ini deritan warna itu karena tabrakan dengan mobil lain atau karena pohon ya bang? Soalnya mobil kantorku semalam jatuh, tapi pegawai yang bawa tidak mau ngaku karena apa.” aku sedikit memaksa pekerja Ketok Magic memantengi foto minibus khusus bagian yang desok dan ada warna berbeda dari mobil lainnya.
“Itu sudah jelas cat mobil Mba. Dari sekilas juga sudah ketahuan.” “Oh begitu ya Bang, karena gesekan dengan mobil lain ya?” “Iya betul Mba.”
“Oke baik bang kalau gitu. Terima kasih kalau gitu infonya ya Bang. Aku tanyakan dulu dengan orang kantor dulu, bagaimana baiknya ya.”
“Ya sama-sama Mba, kalau mobilnya mau dibawa ke sini bisa telpon dulu. Jadi tidak ngantri nanti.”
“Siap bang terimakasih kalau gitu.”
Akupun meninggalkan bengkel Ketok Magic. Dugaanku juga tak berbeda dengan pekerja bengkel itu. Warna di badan minibus tersebut bukan karena terjatuh ke jurang, tapi itu karena bergesekan atau bertabrakan dengan mobil lain. Aku terus berpikir tentang kecelakaan tadi malam, sambil berjalan ke jalan raya mencari taksi
“Taksi,” ucapku memberhentikan taksi biru yang sedang melintas.
“Ke Thamrin, Warta Ibu Kota Pak.”
“Iya neng.” Sopir taksi itu kemudian langsung memacu gas mobil taksi.
Jalanan masih lengang siang itu.
###
Pintu ruangan Pak Johannes terbuka ketika aku sampai kantor. Sang empu ruangan terlihat sibuk menulis di komputer. Dua jemarinya terlihat asyik menari di atas keyboard komputer. Hanya sesekali saja jari kelingkingnya dipakai untuk mengetik.
“Tookkk…tokk…tokk.”
“Masuk,” jawab Pak Johannes tanpa melihatku. “Siang Pak Johannes,” sapaku sambil duduk. “Iya Gayatri, ada apa ?”
“Ini Pak aku mau menunjukkan foto-foto kecelakaan tadi malam !” Tiga puluh foto yang sudah aku cetak kemudian kuperlihatkan ke Pak Johannes. Beberapa lembar saja yang ia lihat.
“Oke kamu serahkan ke redaksi foto saja langsung, foto yang menurut kamu bagus !”
“Sebentar pak, saya mau diskusi soal liputan investigasi dari foto ini.” “Maksudmu ?”
“Coba Pak Johannes perhatikan foto-foto mobil yang sudah aku lingkari itu Pak !”
“Hmmm, iya kenapa dengan foto yang kamu lingkari ?”
“Menurutku foto itu menunjukkan kalau deritan warna di mobil yang kecelakaan itu bukan karena bergesekan dengan pohon, tapi karena bertabrakan atau bergesekan dengan mobil lain.”
“Jadi maksudmu ?”
“Jadi maksudku kecelakaan tadi malam itu bukan merupakan kecelakaan karena cuaca buruk seperti yang sudah diberitakan beberapa media lain. Juga bukan kecelakaan tunggal, tapi sudah ada rekayasa sehingga terjadi kecelakaan. Yaitu ditabrak mobil lain.”
“Hmm, lalu?”
“Kalau diizinkan, aku ingin mengambil tema ini untuk dijadikan investigasi ?”
“Boleh juga, untuk tema investigasi pertama kamu. Ringan tidak terlalu sulit membuktikannya. Oke kamu selesaikan secepatnya tema investigasi ini. Mana rancangan proposal kamu ?”
“Ini Pak,” aku menyerahkan selembar kertas yang berisi draft proposal tulisan investigasiku.
“Oke menarik, untuk detailnya silahkan kamu bicarakan dengan Alex ya!”
“Siappp Pak Johannes. Terima kasih kalau begitu.”
Senang rasanya rencana liputan investigasiku disetujui oleh Pak. Johannes, pemimpin redaksiku. Kesempatan pertamaku untuk tidak menjadi juru tulis pejabat-pejabat pemerintah. Apa yang diomongkannya tidak mesti kutulis seperti biasanya. Kesempatan untuk menulis sesuai dengan fakta di lapangan, dengan temuan sendiri dan kepuasan bisa menjadi pemberi informasi yang berbeda.
“Hai Pak.Alex, ” kutepuk pundak Pak Alex dari belakang
“Hai Gayatri. Tumben semangat sekali kamu. Aku kirain siapa kamu jadinya,” jawab Pak Alex agak kaget.
“Nih Pak, silahkan dibaca proposalnya!” “Hmm proposal investigasi ya ?” “Yup Pak.”
“Oke bagus. Mana narsum-narsum yang rencananya kamu wawancara nanti ?”
“Polisi, saksi-saksi, hmm, nanti lihat di perkembangan Pak.” “Oke saksi itu siapa menurut kamu ?”
“Hmm. Siapa ya ?” aku seperti tak siap mendengar pertanyaan Pak Alex. Sudah jelas malam itu tidak ada saksi lain di kecelakaan itu. Kalaupun ada aku jelas tak tahu siapa itu. “Korban kecelakaan mungkin Pak,” jawabku sekenanya.
“Kok mungkin, kamu sudah lihat korbannya bagaimana ?”
“Belum Pak,” aduh jadi malu menjawab pertanyaan Pak Alex seperti menunjukkan kebodohanku.
“Oke rancangan kamu sudah bagus. Kamu bisa mulai dari korban dulu. Jadi sekarang korban dirawat dimana ?”
“Belum tahu Pak, ini aku baru mau cari informasinya.”
“Aduh kamu ini bolong-bolong semua informasinya. Kamu cari segera ya nanti kamu langsung jalan ke sana kalau sudah dapat. Kita koordinasi seperti biasanya kalau sudah jalan !”
“Siapp Pak.”
“Oke kalau begitu.”
Secepatnya aku berjalan meninggalkan kantor menuju rumah sakit tempat merawat korban yang belum aku ketahui. “Siang Pak Sobary, ini Gayatri wartawan Warta Ibukota yang semalam meliput kecelakaan di Puncak, Bogor,” sapaku ke Kapolres Bogor melalui sambungan telpon.
“Iya Gayatri, ada yang bisa Aku bantu ?”
“Pak, para korban kecelakaan tadi malam dirawat di mana ya ?” “Setahuku korban tadi malam tidak ada yang selamat.” “Astaga meninggal semuanya Pak ?”
“Iya itu informasi yang kuterima tadi pagi dari pihak rumah sakit.” “Oh ya Pak rumah sakit mana?”
“Korban sekarang masih di rumah sakit Putri Bogor. Kamu ke sana saja kalau mau lebih jelas!”
“Baik kalau begitu Pak Sobary, terima kasih informasinya.”
“Sama-sama Gayatri,” Pak Sobary langsung menutup sambungan teleponnya. Aku lantas ke bawah mencari taksi untuk pergi ke RS Putri Bogor.
“Taksi,” taksi biru itu langsung berhenti ketika aku memanggilnya.
“RS Putri Bogor Pak,” pintaku ke sopir taksi itu.
“Baik mba.”
Taksi yang kunaiki langsung meluncur deras ke Bogor. Sepanjang perjalanan di tol, aku masih berharap masih ada korban yang selamat sehingga bisa diwawancarai untuk mengetahui penyebab kecelakaan. Beberapa masukan dari Pak Johannes dan Pak Alex kutulis di buku saku kecilku yang selalu kubawa. Hingga tak terasa satu jam sudah berlalu dan kamipun sampai di RS Putri Bogor.
“Sudah sampai Mba.”
“Baik pak, tolong di print argonya ya Pak!” “Silahkan Mba, Rp 150 ribu.”
“Ini Pak ongkosnya, terima kasih.” Sopir taksi itu langsung memutar mobilnya dan keluar dari halaman lobi rumah sakit. Cukup megah rumah sakit yang berada di daerah penyangga ibu kota . Akupun langsung menaiki tangga menuju ke lobi. Ratusan orang terlihat lalu lalang, ketika aku sampai di sana.
“Siang Ibu, aku Gayatri dari Media Warta Ibu Kota,” sapaku ke resepsionis rumah sakit sambil menunjukkan ID-Card wartawanku.
“Ada yang bisa aku bantu mba?”
“Aku mau tanya informasi tentang kecelakaan di Puncak Bogor, Apakah aku bisa melihat korban atau dokter yang menanganinya?”
“Oke tunggu sebentar !” resepsionis itu kemudian menghubungi seseorang di ujung telpon untuk menanyakan korban kecelakaan tadi malam. “Mba nanti coba temui Dokter Sigit, kebetulan dia yang tangani korban tadi malam.”
“Baik mba terima kasih informasinya, kalau boleh tahu kantor Dr Sigit dimana ?”
“Mba lewat kanan lurus nanti di sebelah kiri itu ruangan Dr Sigit!” “Sekali lagi terima kasih informasinya.”
Tak menyia-nyiakan waktu, aku langsung berjalan menelusuri lorong rumah sakit putri yang panjang itu. Cukup bersih dan wangi sepanjang lorong rumah sakit ini. Tidak seperti rumah sakit lainnya yang biasanya selalu beraroma obat, sehingga orang yang masuk ke dalamnya sudah merasakan betul aroma rumah orang sakit. Tapi tidak RS Putri ini. Ada coffe, restoran cepat saji, toko souvenir. Menarik sekali pikirku rumah sakit ini. Membuat orang yang sakit dan penjenguknya merasa nyaman dengan rumah sakit. Apalagi orang sepertiku yang takut sekali dengan suntik dan obat rumah sakit.
“Nah itu dia ruangan Dr Sigit,” gumamku.
“Tokkk tokk,” aku mengetuk pintu Dr Sigit yang sedang tertutup.
“Iya silahkan masuk !” bunyi seseorang dari dalam ruangan Dr Sigit. Aku kemudian masuk ke dalam ruangan Dr Sigit. Lelaki berbaju putih itu sedang menghadap ke belakang dan menata beberapa dokumen ketika aku masuk.
“Silahkan duduk, ada yang bisa aku bantu ?” tanya Lelaki itu yang masih sibuk menata dokumennya
“Aku Gayatri dari Warta Ibu Kota.” Mendengar penjelasanku lelaki itu kemudian agak cepat berbalik menengok ke arahku.
“Oh maaf, aku pikir suster tadi. Jadi apa yang bisa kubantu, Gayatri ?” aku agak terkaget ketika melihat wajah Dr Sigit, tampak familiar menurutku. Beberapa memoriku pada masa kecil seperti mulai terlihat kembali.
“Dr Sigit dari Surabaya, Jawa Timur ?” “Iyaa benar, memangnya kenapa ?” “Dokter masih ingat aku….Gayatri ?” “Gayatri, Gayatri. Siapa ya ?”
“Tetangga dokter dulu yang sakit Malaria, anak Pak Wijaya.”
“Astaga kamu Gayatri anak Pak Wijaya. Tak kusangka kamu sudah sebesar ini.”
“Iya iya aku Gayatri yang kecil itu,” jawabku bahagia bertemu dengan orang-orang yang hidup di masa kecilku.
Dr Sigit orang yang menolongku ketika aku sedang menghadapi ajal kala itu. Ingatanku pun melesat kencang ke kisah masa lalu tanpa terkendali. Yaitu kisah saat Aku mendadak sakit keras. Tubuhku menggigil karena demam tinggi saat itu. Sesekali darah menetes dari hidungku. Bapak ibuku pun panik saat itu. Salah seorang tokoh desaku, Pak Polo pun menyarankan nama Gayatriku diganti. Keberatan nama katanya saat itu. Nama yang hanya kuat disandang anak-anak raja. Sebagai orang yang hanya lulusan SD, bapak ibu manggut-manggut saja kala mendengar nasehat Pak Polo. Sejumlah nama pengganti pun disiapkan orang tuaku sebagai usaha orang tua yang ingin anaknya sembuh.
“Kalau Kartika bagaimana Bu?”
“Aku sih nurut saja, Tapi kalau bisa sih jangan pakai nama orang-orang gede lagi. Nanti kejadiannya begini lagi Pak.”
“Lah Ibu ada usul lain nggak selain Kartika?”
“Kartika sih bagus. Tapi kalau ditambahi Bunga atau Ayu gitu bagus tidak Pak. Jadi Bunga Kartika atau Kartika Ayu begitu,”
Panjang sekali diskusi bapak dan ibu kala itu. Beruntung anak tetanggaku yang sedang kuliah kedokteran di Malang sedang pulang saat itu. Mas Sigit namanya. Ia kebetulan ikut orang tuanya menengok aku saat itu. Nampaknya dia punya pendapat berbeda dengan Pak Polo kala itu.
“Pak Wijaya dan Bu Lastri, ini Gayatri mesti secepatnya di bawah ke rumah sakit ini. Kalau tidak berbahaya nanti,” ujar Mas Sigit setelah melihat kondisiku.
“Lah emang kenapa Nak Sigit, ini bukannya panas biasa saja. Biasanya Gayatri juga sembuh dalam beberapa hari ke depan,” tanya bapak penasaran.
“Nggak bisa Pak, ini kalau dilihat-lihat dari gejala dan tanda bintik-bintik di badan Gayatri. Nampaknya dia terkena demam berdarah,”
“Wah yang benar Nak Sigit, Ibu jadi takut mendengarnya. Tadi Pak Polo bilang suruh ganti nama dan syukuran saja supaya cepat sembuh nanti,” tanya Ibu dengan serius.
“Baiknya sih secepatnya Bu dibawa ke rumah sakit. Nanti soal nama bisa kita laksanakan berbarengan dengan berobat. Jadi maksimal dua-duanya.”
Saat itu juga akhirnya aku dibawa ke rumah sakit. Benar saja diagnosa Mas Sigit, aku terjangkit demam berdarah kala itu. Beruntung nyawaku masih bisa terselamatkan. Begitu juga dengan nama Gayatriku. Karena terlalu fokus dengan pengobatanku di rumah sakit Bapak Ibuku jadi lupa dengan rencana mengganti namaku dengan Kartika Ayu atau Bunga Kartika. Selamat sudah nama Gayatri kala SD.
“Hai, Gayatri, Gayatrii,” Mas Sigit menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan wajahku memastikan aku masih tersadar. “Gayatri, Haiii kamu lagi ngapain?” tak tahan melihat aku bengong, Mas Sigit kemudian menepuk pundakku. Aku terkaget dari lamunan dan sedikit malu karena terbayang-bayang masa lalu.
“Hehehe jadi ingat masa lalu Mas. Ketika dulu sakit Malaria mau diganti nama.”
“Hahahaha iya siapa dulu namamu mau diganti. Kartika ya?”
“Iya untung ada mahasiswa kedokteran dulu yang datang ke rumahku ya. Kalau tidak hmm, bisa ganti namaku,” geleng-geleng kepala aku kalau teringat masa-masa itu.
“Hai ngomong-ngomong kamu kesini ada apa Gayatri ? Kok jadi melantur kemana-mana obrolannya.”
“Oh ya hampir lupa Dr Sigit.”
“Ah sudah panggil Sigit saja !”
“Baik-baik Mas Sigit. Aku mau nanya soal korban kecelakaan yang di Puncak tadi malam bagaimana kabarnya ?”
“Oh soal korban kecelakaan tadi pagi di Puncak. Iya kebetulan aku yang tangani mereka. Sayang penumpangnya sudah tidak terselamatkan semua. Mereka sudah tewas ketika sampai rumah sakit.”
“Apa sudah tewas Mas ?”
“Kringg …kringg,” belum sempat menjawab pertanyaanku telpon Mas Sigit berdering.
“Bentar ya Gayatri. Ya, haloo…Oke saya kesana segera,” Mas Sigit menutup telponnya. “Aci maaf, aku tinggal dulu ada rapat dengan kepala rumah sakit, sudah mulai. Jadi aku harus segera ke sana.”
“Oh baik gapapa Mas.”
“Nanti sore kalau ada waktu kita ngopi bersama saja di kafe depan kalau kamu tidak terburu-buru. Tapi sementara aku tinggal dulu untuk rapat.”
“Siap Pak Dokter. Nanti sore ya Mas di kafe depan.”
Mas Sigit kemudian bergegas ke tempat rapat. Sementara aku pergi ke luar rumah sakit terlebih dahulu untuk menghabiskan waktu sampai sore nanti.
###
Aroma kopi hitam di atas cangkir terasa kuat di hidung di kala aku menunggu Mas Sigit di kafe RS Putri. Heran juga aku dengan kualitas kopi yang dijual di rumah yang notabenenya untuk orang-orang sakit. Sungguh nikmat dan mungkin bisa menjadi obat tersendiri bagi mereka yang sakit, jika ingin sekedar menyesap kopi idaman mereka. Kopi dari berbagai daerahpun ada di sini. Kopi Wamena, Flores dan kopi luwak Masurai juga ada di kafe ini.
“Hai Gayatri,” Mas Sigit menyapaku yang lagi duduk sendiri membaui aroma kopi.
Hai Mas, sudah selesai rapatnya ?”
“Sudah beres semua. Sorry menunggu lama !”
“Ah gapapa. Aku tadi juga jalan-jalan dulu ke Istana Bogor. Ngobrol-ngobrol dengan teman wartawan di sana.”
“Oh asyik juga kamu bisa masuk Istana Bogor. Aku yang di sini kerjanya sudah 10 tahun dan lokasinya hanya berjarak ratusan meter tak bisa masuk ke sana!”
“Ah biasa saja mas, namanya juga kerjaan. Bukan karena akunya dekat dengan orang istana hehehe,”
“Mba, black coffe satu ya,” pinta Mas Sigit ke pekerja kafe.
“Oh ya jadi apa yang bisa kubantu soal kecelakaan tadi malam?”
“Aku mau tahu kondisi semua korban kecelakaan tadi malam mas. Kalaupun sudah meninggal bagaimana hasil otopsinya.”
“Iya seperti yang sudah aku katakan tadi, semua korban sudah meninggal. Tapi untuk otopsinya kamu mesti menunggu 2-3 hari ini untuk selesai semuanya,” jelas Mas Sigit
“Tapi apakah para korban meninggal karena kecelakaan dan jatuh ke jurang?”
“Aku belum bisa pastikan itu. Mesti menunggu hasil keseluruhan hasil otopsi. Tapi aku janji kalau sudah keluar hasil otopsinya akan kuhubungi kamu.”
“Dari pihak keluarga apakah sudah ada datang yang menjenguk korban?”
“Sejauh ini sih belum ada yang datang. Kamu malah orang yang pertama menanyakan mereka. Ada sekitar 10 orang yang meninggal, tapi belum ada satupun yang datang kesini.”
“Kalau alamat mereka dimana Mas?”
“Untuk alamatnya mungkin kamu bisa tanya ke pihak kepolisian. Karena identitasnya masih sama polisi.”
“Terima kasih kalau begitu Mas Sigit.”
“Eh ngomong-ngomong kamu tinggal dimana Gayatri. Kalau aku di Tanah Kusir Kebayoran Lama.”
“Wah dekat denganku itu Mas Sigit. Aku sementara masih tinggal dengan pamanku di Bintaro.”
“Hmm boleh kalau gitu kapan-kapan, kamu main saja ke rumahku kalau mau atau aku yang mampir ke rumahmu.”
“Boleh juga, kalau Mas Sigit ada waktu. Tapi ya tahu sendiri kerjaanku. Jarang di rumah,” terangku sambil tersenyum.
“Sip kalau begitu. Minggu depan aku usahakan main. Habis ini mau kemana lagi kamu ?”
“Paling mau ke Polres Bogor mau tanya alamat para korban.”
“Oke kalau begitu, sampai ketemu nanti di rumah minggu depan ya.” “Ditunggu ya Mas Sigit, jangan lupa ajak istri dan anak!”
“Ahhh ngacau kamu, belum juga nikah, masa mau ajak anak istri.”
Ahh yang bener mas, maaf-maaf kalau begitu,” aku jadi salah tingkah merasa bersalah karena sok tahu.
“Hahahha ya gapapa, keasyikan bekerja jadi lupa nikah aku.” “Oke mas kalau begitu sampai jumpa minggu depan ya.”
Mas Sigit kemudian mengantarku ke lobby depan rumah sakit. Tangannya kemudian melambai memanggil sopir taksi yang mangkal di depan rumah sakit. Ia juga cekatan membuka pintu taksi untukku. “Oke Gayatri hati-hati di jalan ya!”
“Baikk mas, terimakasih banyak ya informasinya hari ini.”
“Sama-sama.”
###
Sebelum ke Polres Bogor, aku sempatkan terlebih dahulu kembali ke lokasi kecelakaan tadi pagi. Kebetulan arahnya tidak berjarak terlalu jauh dengan kantor polisi. Setiba di sana aku langsung turun dengan kamera sudah di genggaman tanganku. Sementara sopir taksi memilih menunggu di dalam daripada keluar mobil. Garis police line terlihat masih terpasang rapi seperti semula. Aku perhatikan kembali satu persatu tempat kejadian kecelakaan, mencari kemungkinan ada yang belum terfoto.
Aku kemudian berjalan berkisar sepuluh meter dari lokasi kejadian mencari kemungkinan ada yang tertinggal dari pengamatanku. Benar saja, tampaknya bekas ban mobil di aspal jalan raya semalam yang tidak kelihatan, sore ini nampak jelas. Melihat besaran bekas ban mobil yang bergesekan dengan aspal terlihat jelas, ban mobil itu bukan dari satu mobil. Tapi berasal dari 2 mobil yang berbeda. Setelah mengambil beberapa foto deritan ban mobil yang masih tertempel di aspal, aku kemudian melanjutkan kembali ke Polres Bogor.
“Siang Pak Sobary, aku Gayatri wartawan Warta Ibu Kota.” Aku kembali menghubungi Kapolres Bogor di tengah perjalanan menuju kantornya
“Iya Mba Gayatri, ada yang bisa kami bantu?”
“Pak lagi ada di kantor polisi tidak sekarang. Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan terkait kecelakaan tadi malam.”
“Soal apa Mba Gayatri, apakah masih ada informasi yang kurang dari penjelasan kami tadi malam?”
“Iya pak soal tempat tinggal para korban yang meninggal.”
“Baik kamu datang saja ke kantor. Nanti temui saja petugas di sana. Kebetulan aku masih di luar kantor sekarang.”
“Baik terima kasih kalau begitu Pak.” Selang 30 menit, akupun sudah sampai di Polres Bogor. Matahari sore terlihat sudah hampir turun dari peraduan. Kantor Kepolisian juga sudah terlihat sepi dari aktivitas. Hanya beberapa petugas saja yang berjaga terlihat masih duduk di pos masing-masing.
“Sore Pak, aku Gayatri dari Warta Ibukota mau ketemu Pak. Wijanarko,” seperti biasa aku menunjukkan ID Card wartawanku supaya polisi cepat merespon.
“Silahkan isi buku tamu terlebih dahulu Mba!” Akupun lalu segera mengisi buku tamu untuk mempersingkat waktu.
“Silahkan ke ruangan sebelah kiri, itu ruangan Pak Wijanarko.” “Terima kasih Pak.”
Aku kemudian berjalan menuju ruangan orang nomor 2 di Kepolisian Bogor. Seperti biasa memang, kalau Pak Sobary sedang berhalangan hadir, maka Pak Wijanarko yang diminta menemui para wartawan. Meski tak seramah Pak Sobary, Pak Wijanarko tetap menemui wartawan. Sebab, ia tidak ingin dimarahi lagi oleh atasannya gara-gara tidak mau memberi keterangan kepada wartawan atau sekedar bertemu.
“Sore Pak Wijanarko, Aku Gayatri dari Warta Ibu Kota.” “Oke masuk. Silahkan.”
“Kedatanganku ke sini mau bertanya soal alamat korban kecelakaan semalam Pak.”
“Oh ini sudah kami siapkan. Tadi kebetulan Pak Sobary sudah telepon duluan. Ini alamat dan nama-nama korban silahkan dicatat kalau mau.”
“Aku foto saja ya Pak, daftar nama dan alamat korban?”
“Silahkan!” aku kemudian mengambil 2 kali jepretan daftar kesepuluh nama korban dan alamatnya yang tertera di kertas putih itu. Dari alamatnya mereka tertulis dalam satu kampung yang tidak jauh berbeda. Dusun Karangmangu di Semarang.
“Oh ya pak, keluarga korban apakah sudah diinformasikan atas kejadian ini?”
“Yang jelas untuk korban sudah kita kirim ke rumah masing-masing. Karena dari korban kami tidak menemukan nomor telpon yang ada.”terang Pak Wijanarko
“Bagaimana dengan penyebab kecelakaannya, apakah sudah diketahui.”
“Dari fakta lapangan yang kita terima, sementara masih merujuk kepada kecelakaan tunggal. Tergelincir dari jalan raya. Mungkin karena jalanan licin.”
“Apa tidak ada kemungkinan lain Pak?”
“Belum ada, hasil kesimpulan sementara dari petugas di lapangan kami. Itu merupakan murni kecelakaan tunggal.”
“Baik kalau begitu, Terima kasih atas informasinya Pak.” “Sama-sama.”
Selesai sudah pengejaranku hari ini. Namun belum juga ada titik terang dari kejadian tersebut. Kecurigaan sementaraku masih belum mengalami titik temu dengan keterangan pihak polisi. Sementara dari hasil otopsi dokter juga masih menunggu 2-3 hari lagi.