Dewantara – Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat, serta gerak dinamik masyarakat yang tidak kenal lelah, adanya kebutuhan akan model dan corak belajar yang menampung kemajuan dan dinamika tersebut terlihat semakin penting, apalagi di negara besar seperti Indonesia ini.
Pendidikan memang mempunyai tantangannya sendiri pada tiap zaman. Diperlukan satu strategi khusus dan proporsional dalam mengolah model pembelajaran dari waktu ke waktu. Sub judul diatas sebenarnya adalah sebuah jurnal pendidikan dari Prof. Dr. Soekartawi, seorang guru besar ekonomi Unibraw yang aktif menggerakkan E-Learning di Tanah Air. Masih segar di ingatan istilah pendidikan via Daring yang sempat ramai beberapa waktu lalu atau website belajar online yang sekarang sering diiklankan di televisi. Sebenarnya keduanya sama saja, menerapkan model E-learning/ICT learning pada proses belajarnya.
Nah, berkaitan dengan hal tersebut, Prof. Dr. Soekartawi mengenalkan sebuah bentuk pembelajaran terbaru yaitu Blended E-Learning – sebuah model Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang disebutnya dengan “alternatif” model belajar jarak jauh di Indonesia. Walaupun sebenarnya PJJ pun juga sudah menjadi sebuah alternatif yang sudah diusahakan pemerintah sejak lama. Apa alasannya?
Silakan cek mengenai data statistik terbaru kurun waktu 10 tahun terakhir (klik disini), tabel tersebut memperlihatkan jumlah Angka Partisipasi Sekolah (APS) kisaran usia 13 sampai 18 tahun di pedesaan Indonesia yang relatif masih rendah, diungkapkan bahwa hambatan yang mempengaruhi tingginya persentase tersebut salah satunya adalah masih terbiasanya model pembelajaran tatap muka (face-to-face) dalam proses pendidikan. Sementara kendala aksebilitas pendidikan di beberapa daerah kenyataanya pun masih terus dipecahkan pemerintah. Utamanya di daerah tertinggal yang secara geografis berada paling depan dan paling luar alias 3 T.
Dengan cakupan geografis Indonesia yang sedemikian luas dan beragam, bisa dipastikan model pembelajaran tatap muka langsung yang masih umum berlaku (mainstream), dapat menjadi kendala berarti dalam mewujudkan kesempatan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Lebih lanjut, paparan Prof. Soekartawi pada dasarnya mengajak kita untuk membandingkan dua model pembelajaran tersebut untuk kemudian digunakan sesuai kondisi dan faktor-aktor yang mendukungnya. Model pertama yaitu Pendidikan Jarak Jauh berbasis jaringan (online learning activities), dan model kedua adalah tatap muka (structured face-to-face activities), dengan kata lain, model pembelajaran muktahir dengan model konvensional.
Keduanya dikupas secara proporsional, baik kelemahan mauun kelebihannya, hingga akhirnya, ditemukan pada satu titik temu. Titik temu inilah yang menjadi alternatif model pembelajaran jarak jauh yang dicampur (blend) dengan kelebihan yang ada pada model face-to-face dan kelebihan yang ada pada online Learning tadi. Hasil akhirnya adalah sebuah Blended E-Learning dengan “jalan keluar” dari kelemahan-kelemahan dua model tadi dalam penerapannya.
Untuk model PJJ sendiri, saat ini peningkatan sarana infrastruktur yang memadai seperti jaringan internet yang anti lelet memang menjadi tantangan tersendiri untuk diselesaikan, mengingat saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa akses internet sudah menjadi kebutuhan masyarakat luas. Namun yang menjadi kelemahan atau lebih tepatnya hambatan dari model PJJ ini toh tidak semata berputar pada hal teknis semata seperti anggaran atau standard bandwidth yang digunakan.
Hal lainnya yang tak kalah penting yang juga menjadi catatan tersendiri pada model pembelajaran tatap muka adalah kesiapan pedagogik dari para pendidiknya sendiri menjadi suatu keharusan. Tentu saja diperlukan lebih dari sekedar terampil dalam mengajar secara tatap muka – disinilah kiranya poin penting bagi peningkatan kompetensi guru yang memang selalu ditantang untuk terus berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman – baik itu secara pedagogik, profesional, maupun sosial.
Selanjutnya adalah penataan atau manajemen pendidikan yang jika sudah terbangun nantinya (PJJ) tidak malah kontra-produktif dengan misi yang diemban. Fungsi utama manajemen pendidikan yang seyogyanya tidak kaku, bersifat luwes, efisien dan efektif menjadi mutlak adanya.
Pendidikan Jarak Jauh sebenarnya memang bukan barang baru dalam dunia pendidikan tanah air. Seperti dijelaskan diawal tadi, pemerintah kita sejak lama mengusahakan model PJJ ini sebagai jalan keluar lain untuk pemerataan pendidikan di Indonesia. Di tahun 1978, Indonesia sudah memulainya pada level Sekolah Menengah Terbuka (SMP Terbuka). Sementara itu, di tingkat Perguruan Tinggi, Universitas Terbuka (UT) baru dimulai tahun 1984 melalui Keputusan Presiden RI Nomor 41, tanggal 4 September 1984.
Walhasil, Blended E-Learning yang meramu segala kelebihan dari model konvensional/tatap muka dan model jarak jauh via jaringan patut kiranya disosialisasikan secara terus-menerus oleh pemerintah dan segenap stakeholder. Bahwa kondisi geografis, aksebilitasnya, dan sarana prasarana (yang perlu selalu di upgrade) sesuai kebutuhan masyarakat juga menjadi tugas bersama bagi kita guna mencerdaskan generasi bangsa. Pada akhirnya, pendidikan berbasis teknologi sejatinya bukanlah lagi menjadi “ruang gelap” yang sulit diaplikasikan. Atau jangan sampai malah menjadi “ruang pencerahan” yang tidak ramah kantong dan membuat jarak bertambah jauh.
Subhan Aisyi Atharizz
Pemerhati pendidikan