Pada akhir Perang Dunia I (PD-I), banyak bekas pasukan Kerajaan Inggris menjadi bagian dari orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan. Ketika film-film hitam-putih dan brosur-brosur menampilkan tagline “a new life, a new start on your own dairy farm in the paradise of western Australia”, keluarga-keluarga Inggris secara tidak terduga mau melakukan perjalanan ke sisi lain dunia dibawah program imigrasi yang secara kuat meyakinkan mereka. Program yang dikenal dengan Skema Perumahan Kelompok (Group Settlement Scheme),
Land of Milk and Honey
Dalam periode setelah PD-I, Australia Barat sebagai salah satu dari 6 negara bagian di Pemerintah Federasi Australia, masih mengimpor kebanyakan komoditasnya – terutama susu – dari negara-negara bagian di sebelah timur, yang jaraknya ribuan kilometer. Padahal Australia Barat memiliki daerah potensial yang belum digarap, terutama di kawasan Barat Daya (South West). Diamana kawasan Barat Daya memiliki curah hujan yang cukup, yang nampaknya ideal untuk pertanian. Masalah utamanya adalah kurangnya populasi manusia untuk membersihkan lahan dari semak-semak.
Pada film-film hitam-putih dan brosur-brosur tentang Australia Barat, orang-orang Inggris dipikat dengan iklan “ready to use farm”. Yang berarti suatu paket dari peternakan-lahan-pagar. Lalu ribuan keluarga Inggris datang, mencari land of milk and honey. Namun pada kenyataannya yang ada di Australia Barat hanya lahan dengan semak-semak.
Group Sttlement Scheme merupakan suatu program yang mendominasi sejarah kehidupan bangsa Australia pada tahn 1920-an. Walaupun para imigran tidak mendapatkan apa yang mereka impikan – suatu lahan peternakan dengan lahan dan pagar – tetapi sepanjang 1919 dan 1920 sekitar 500 pemukiman berhasil dibangun di wilayah Australia Barat.
Agresi Militer Jepang
Kebangkitan Kekaisaran Jepang merupakan salah satu pemicu Perang Dunia II (PD-II) terutama di front Asia Pasifik. Jepang yang setelah Restorasi Meiji menjadi negara industri, kemudian merampas kawasan Asia Tenggara dari para penjajah Eropa, setelah terlebih dahulu menghancurkan pangkalan Angkatan Laut AS di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941.
Pasukan Jepang juga kemudian memerangi Australia sebagai bagian dari negara-negara Sekutu. Bagi angkatan bersenjata Australia, serangan Jepang membuktikan kekhawatiran bahwa Jepang merupakan ancaman utama dari Asia. Bagi pemerintahan militer Jepang, serangan merupakan serangan psikologis terhadap bangsa Australia bahwa tidak ada tempat yang aman bagi Sekutu walaupun di sisi bumi bagian selatan pun. Sedangkan penulis sendiri memiliki opini sendiri dari sudut pandang psikologis para pemimpin Jepang, bahwa serangan merupakan rangkaian “pembalasan” Jepang terhadap penghinaan delegasi Australia yang dipimpin oleh PM Billy Hughes pada Paris Peace Conference secara diam-diam (tahu sama tahu) mendukung Presiden Amerika Serikat (AS) Woodrow Wilson yang menolak deklarasi racial equality atau kesetaraan ras.
Walaupun daratan utama Australia tidak mendapatkan invasi dari pasukan Jepang, tetapi tentu saja serangan berlangsung mealui udara dan pertempuran di laut. Sejarah mencatat, serangan paling kuat adalah serangan udara ke kota Darwin di wilayah utara Australia pada 19 Februari 1942. Terdapat beberapa perkiraan tentang jumlah korban, namun angka “resmi” yaitu 243 orang tewas dan 250 orang luka atau hilang.
Serangan pasukan Jepang ke Darwin juga merusak 46 kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan Darwin, 21 diantaranya rusak parah. Sebelum sampai ke wilayah udara Darwin, pesawat-pesawat tempur Jepang terlebih dahulu menembak jatuh 9 pesawat kittenhawks milik Angkatan Udara Australia.
Imigrasi Pasca Perang Dunia II
Pada 2 Agustus 1945, Menteri Imigrasi Australia yang baru, Arthur Calwell berpidato tentang visinya bagi Australia pasca PD-II :
If Australians have learned one lesson from the
Pacific War it is surely that we cannot continue to
hold our island continent for ourselves and our
descendants unless we greatly increase our numbers.
We are about 7 million people and we hold 3
million square miles of this earth surface … much
development and settlement have yet to be
undertaken. Our need to undertake it is urgent and
imperative if we are to survive …
Ketika Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945 Australia masih mendapatkan imbas dari agresi Jepang selama PD-II di Cina dan Asia Tenggara. Australia harus menangani persoalan pengungsi yang datang ke Australia selama perang.
Gelombang pengungsi akibat PD-II menghadirkan persoalan yang lebih besar bagi Calwell. Sekitar 6000 pengungsi yang berasal dari Indonesia (waktu itu Hindia Belanda), Cina, dan Malaysia berdatangan akibat invasi Jepang ke negara-negara tersebut. Dari jumlah 6000 itu, sekitar 5000 diantaranya kembali ke negaranya ketika PD-II berakhir, tetapi lebih dari 500 orang mengajukan permohonan untuk tinggal di Australia sebagai penduduk. Banyak diantaranya yang menikahi warga negara Australia dan mereka membangun rumahnya di Australia.
Ada juga kondisi lain, dimana misalnya beberapa orang berkewarganegaraan Cina juga enggan kembali ke negaranya karena khawatir kemungkinan tekanan-tekanan dari kekuasaan komunis. Pada tahun 1946 juga tercatat pelarian atau pengungsi Yahudi mulai datang ke Australia. Dan kalau dipikir-pikir, Cina dan Yahudi, dua bangsa paling banyak berdiaspora.
Sejak Federasi Australia berdiri, pemerintah Australia sangat mengandalkan Inggris supaya mendatangkan warganya ke Australia, namun pendirian tersebut mulai menemui kebuntuan. Pada bulan April 1947, Australia kedatangan 600 orang yang berasal dari 26 negara. Media massa Australia melihat kedatangan orang-orang imigran yang mayoritas berasal dari wilayah Eropa bagian utara dan Timur Tengah sebagai kedatangan orang-orang asing. Media massa Australia langsung menyerang kebijakan Kementrian Imigrasi yang dipimpin oleh Calwell, dengan menggambarkan kedatangan para imigran tersebut mengancam peluang kerja warga negara Australia.
Untuk membalikkan pendapat-pendapat negatif yang menimpa diri dan kementrian yang dipimpinnya, maka Calwell merumuskan suatu langkah penting dalam kebijakan imigrasi. Calwell bertemu dengan International Refugees Organitation dalam rangka mencari para imigran “terbaik” untuk didatangkan ke Australia.
Calwell dalam setiap kiprahnya mencari imigran “terbaik” selalu melibatkan pers. Ia belajar bagaimana pers dapat mempengaruhi opini publik pada saat itu, baik melalui berita-berita yang ditayangkan di bioskop-bioskop maupun ulasan-ulasan di media cetak.
Dalam seleksi, pertimbangan yang diutamakan tetap berdasarkan ciri-ciri fisik. Empat kata yang menerjemahkan kemauan Kementrian Imigrasi adalah: kulit putih (white), pirang (blonde), berparas menawan (beautiful), serta memiliki tubuh yang sehat (healthy). Minat Kementrian Imigrasi saat itu tidak lagi berpatokan haruss warga negara Inggris tetapi lebih diperluas, meliputi negara-negara Eropa bagian selatan dan timur, seperti Italia, Yunani, maupun Polandia.
Sejumlah 884 pengungsi datang dalam rombongan kapal laut pertama yang datang hasil pencarian Calwell. Merekalah yang masuk kategori “beautiful”. Media massa datang meliput, dengan mengambil gambar para pemuda-pemudi imigran yang datang dalam kapal tersebut. Dan sepertinya publik Australia banyak menaruh harapan.
Selanjutnya, yang tidak mendapat banyak perhatian adalah gelombang kedatangan berikutnya, yang mengangkut puluhan ribu imigran lagi. Semua difasilitasi Kementrian Imigrasi, baik apakah para imigran tersebut memenuhi kriteria “beautiful” atau tidak. Tercatat, dalam gelombang kedatangan tersebut mengangkut 170.000 imigran.
Tidak semua kisah imigran berjalan mulus. Sepert banyak imigran yang terkena deportasi selama periode 1947-1949. Hal itu melanda banyak imigran Cina yang sudah berkeluarga.
Sebagaimana hal tersebut juga dialami oleh Anni Yakub pada tahun 1949. Anni merupakan seorang janda asal Indonesia dengan 8 orang anak yang datang ke Australia. Suaminya terbunuh ketika berperang membela Hindia Belanda dari serangan Jepang pada PD-II. Ketika Anni menikahi seorang warga negara Australia, bernama John O’Keefe, Anni masih masuk kedalam daftar orang yang hendak dideportasi. Kasus tersebut banyak mengundang perhatian pers dan publik Australia, karena sarat dengan nuansa perjuangan dan percintaan seorang imigran. Keputusan pengadilan Negara Bagian Victoria memutuskan Anni, sang nyonya O’Keefe, tidak boleh dideportasi.
Demikianlah Australia, suatu bangsa yang terus berkembang. Australia akan selalu dikenang sebagai bangsa imigran, yang pada garis waktu sejarah mendesak penduduk asli benua Australia. Sangat menarik mempelajari ketergantungan Australia kepada Inggris sejak tahun 1901, namun kemudian semenjak tahun 1980-an lebih memilih untuk mendekatkan diri dengan kekuatan politik-ekonomi AS.
Sumber:
– Jerzy Zubrzycki; Arthur Calwell and The Origin of Post-War Immigration; Bereau of Immigration, Multicultural and Population, 1995
– “Immigrant Nation” dari Al Jazeera-English
Ahmad Muttaqin