Dalam konteks sosial masyarakat Indonesia, Guru memiliki posisi yang penting dan dianggap lebih tinggi dibanding anggota masyarakat yang lain. Guru dihargai sebagai sumber pengetahuan, sosok yang akan menuntun generasi penerus untuk menjalani kehidupan.
Pandangan ini amat wajar jika merujuk asal kata tersebut dari bahasa sansekerta yang berarti orang yang menghalau kegelapan dan membawa siswa ke arah terang. Makna ini tertanam kuat dalam alam pikir masyarakat Indonesia sehingga posisi Guru dianggap lebih dari sebuah pekerjaan.
Namun, dalam konteks pendidikan formal di sekolah, pandangan demikian justru memiliki dampak negatif dalam kegiatan belajar. Guru dianggap menjadi sumber pengetahuan dan sumber kebenaran atau paling tidak sebagai penentu mana yang benar. Padahal, pengetahuan dan kebenaran dapat diperoleh siswa tidak hanya melalui guru, tetapi melalui sumber-sumber lain ataupun yang didapatkan dari pengalaman hidup dalam konteks keseharian. Hal ini akhirnya membuat relasi antara guru dengan siswa dalam kegiatan pembelajaran menjadi tidak setara.
Hal ini nampaknya menimbulkan masalah bagi dunia pendidikan saat ini dimana sumber informasi dan pengetahuan telah berlimpah dan mudah diakses oleh siswa. Selain itu, pembelajaran yang berpusat pada guru dipandang tidak dapat mengembangkan daya kritis dan kreatif siswa dalam kegiatan belajar. Posisi guru yang dianggap tokoh sentral yang memindahkan ilmunya secara konvensional (one way traffic) melalui penjelasan, sementara siswa hanya mendengarkan. Kegiatan belajar seperti ini nyatanya membuat siswa bersikap apatis dan tidak tertarik dalam proses pembelajaran (Abdul Kodir, 2018). Hingga pada tahun 2013, pemerintah mengeluarkan Kurikulum baru dan mengenalkan kegiatan belajar yang berpusat pada siswa atau Student Learning Center yang mendorong keaktifan siswa dan pembelajaran yang lebih interaktif.
Pembelajaran berbasis pada siswa pada dasarnya merupakan suatu pendekatan baru dalam merancang kegiatan belajar. Namun, di lapangan nyatanya pendekatan tersebut lebih mengarah pada pedoman praktis dalam melaksanakan kegiatan belajar. Banyak guru yang masih kesulitan dalam menerapkan pembelajaran berbasis siswa. Hal ini dapat dipahami sebab dalam Kurikulum 2013 konsep tersebut lebih banyak memberikan langkah-langkah teknis yang semakin membebani tugas guru dalam kegiatan belajar.
Menurut Setyo Wibowo, masalah pendidikan di Indonesia apapun kurikulum maupun modelnya adalah anggapan bahwa pengajaran merupakan proses transfer pengetahuan tahap demi tahap yang melupakan kenyataan kegiatan belajar yang terjadi dalam keseharian (Setyo Wibowo, 2013). Dalam tulisanya, ia memperkenalkan konsep pengajaran universal alamiah, dimana individu belajar dari melihat, memperhatikan dan meniru segala sesuatu yang ia lihat dalam kehidupan.
Mengambil contoh dari kehidupan Lamafa (juru tangkap ikan Paus di Lamalera, Flores) dimana anak-anak dididik sebagai pemburu di masa depan tanpa banyak diberi penjelasan karena tata krama di atas perahu melarang orang terlalu banyak bicara (Setyo Wibowo, 2013). Nyatanya melalui proses tersebut, anak-anak tetap dapat melanjutkan profesi sebagai lamafa tanpa sedikitpun mendapat penjelasan. Sejalan dengan pendapat tersebut, penulis meyakini bahwa perubahan peran guru tidak harus dimulai dalam kerangka teknis dan praktis, melainkan dari pemahaman atas relasi dan interkasi antara guru dengan siswa di dalam kegiatan pembelajaran.
Kesetaraan Guru dan Siswa: Pengalaman Joseph Jacotot
Dalam menjelaskan konsep pendidikan universal alamiah, Setyo Wibowo mengambil contoh dari pengalaman Joseph Jacotot yang ditulis oleh seorang filsuf Prancis, Jacques Ranicere dalam buku “The Ignorant Schoolmaster”. Joseph Jacotot (1770-1840) adalah seorang pengajar sastra Prancis di Universitas Louvain, Belgia. Awalnya, seperti pengajar pada umumnya, ia meyakini bahwa tindakan esensial guru adalah menjelaskan dan mentransmisikan pengetahuan untuk membentuk pemikiran siswa dan memimpin pikiran itu melalui perkembangan dari tahap sederaha hingga tahapan yang kompleks (Ranciere: 1991). Namun, dalam perjalanan kehidupannya sebagai pengajar, Jacotot justru dihadapkan pada suatu momen yang membongkar pemahamannya mengenai peran guru dalam pembelajaran.
Saat itu, ketika pertama kali mengajar Louvain, murid-muridnya hanya dapat menggunakan bahasa Belanda. Jacotot sendiri ketika mengajar sastra Prancis sama sekali belum menguasai bahasa Belanda sehingga menemui kesulitan untuk memberi penjelasan. Tak kehilangan akal, ia bereksperimentasi dengan merancang kegiatan belajar melalui sebuah buku cerita berjudul telemaque yang dicetak dalam edisi bilingual Belanda-Prancis. Jacotot lantas meminta para siswa untuk mempelajari bahasa Prancis melalui buku tersebut.

Hal ini tentu bertentangan dengan gaya mengajar pada umumnya. Para siswa tersebut seolah dilepas untuk mempelajari sendiri bahasa yang sama sekali belum mereka mengerti hanya melalui sebuah buku. Tapi hasil dari pembelajaran tersebut justru mengejutkan Jacotot. Siswa-siswanya justru dapat menguasai bahasa Prancis, hampir seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang Prancis.
Inilah yang disarikan oleh Ranciere dan Setyo Wibowo dari pengalaman tentang para lamafa dan pengalaman hidup Jacotot. Bukan hanya itu, dalam kehidupan sehari-hari, kita juga dapat melihat bagaimana setiap anak, tanpa diajari melalui penjelasan yang bertahap, dapat mempelajari bahasa dengan memperhatikan, meniru, melakukan kesalahan, mengkoreksinya dan mengulanginya kembali.
Inilah yang mereka sebut sebagai pengajaran universal alamiah yang bertentangan dengan model pengajaran konvensional yang berbasis pada penjelasan guru kepada siswa.
Ranciere juga menjelaskan masalah terbesar dalam pembelajaran yang berpusat pada penjelasan. Menurutnya, menjelaskan sesuatu kepada seseorang adalah pertama-tama menunjukkan kepadanya bahwa dia tidak dapat memahaminya sendiri. Orde penjelasan adalah mitos pedagogi, perumpamaan tentang dunia yang terbagi menjadi pikiran (guru) yang tahu dan (siswa) yang bodoh, pikiran yang matang dan yang belum dewasa, yang mampu dan yang tidak mampu, yang cerdas dan yang bodoh (Ranciere: 1991).
Artinya dalam model pengajaran tersebut, ada relasi yang timpang antara guru dengan siswa. Siswa dipandang sebagai objek yang serba kekurangan, ketimbang subyek yang memiliki kemampuan untuk belajar. Melalui penjelasan, guru tidak membuat siswa menjadi pintar, sebaliknya malah justru membuat siswa percaya bahwa dirinya bodoh dan tidak mampu menguasai sesuatu hal dengan belajar.
Guru-Murid sebagai Insan Pembelajar
Dalam pembelajaran patutnya guru dan siswa berada dalam posisi yang setara. Kesetaraan itu sendiri bukan sesuatu yang langsung muncul atau menjadi suatu tujuan pembelajaran, melainkan menurut Ranciere menjadi suatu dasar pengandaian. Kesetaraan harus menjadi awalan, dasar bagi relasi guru dan murid dalam kegiatan belajar. Ketika kesetaraan menjadi pengandaian dan dasar kegiatan pembelajaran, dari situ akan muncul semangat emansipasi dari siswa, suatu proses pemberdayaan kemampuan siswa untuk belajar.
Peran guru seperti ini nyatanya juga sama dengan konsep among yang disusun oleh Ki Hajar Dewantara. Dalam sistem among, guru berperan menjadi teladan, berada bersama peserta didik dan menuntun mereka. Melalui sistem tersebut, pendidikan dimaknai sebagai proses mengasuh anak-anak untuk bertumbuh dan berkembang dalam potensi-potensi diri (kognisi, afeksi, psikomotorik, konatif, kehidupan sosial dan spiritual). Dalam rangka itu, guru tidak memaksa siswa untuk mengikuti penjelasannya. Keterlibatan Guru dalam kehidupan anak tatkala anak itu dipandang berada ada jalan yang salah.
Tapi pada prinsipnya tidak bersifat paksaan. Keterlibatan pada kehidupan anak tetap dalam konteks penyadaran dan asas kepercayaan bahwa anak itu pribadi yang tetap harus dihormati hak-haknya untuk dapat bertumbuh menurut kodratnya. Dalam hal ini, Ki Hajar mendorong relasi yang setara dalam arti, guru adalah sahabat dan sekaligus teman bagi siswa untuk saling berbagi dan memperkaya wawasan pengetahuan (Samho & Oscar: 2010).
Selain itu, kesetaraan dalam pembelajaran juga dapat dimulai dengan kesadaran bahwa baik guru dan siswa sejatinya merupakan insan pembelajar. Dalam kegiatan belajar, bukan hanya siswa yang belajar melalui penjelasan ataupun bimbingan guru, melainkan guru juga dapat belajar dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa. Guru bukanlah manusia yang sudah memiliki pengetahuan yang paripurna. Ia harus menginsafi bahwa masih banyak hal yang belum ia ketahui dan meyakini bahwa dari siswapun ia dapat memperoleh pengetahuan. Dan akhirnya, kembali pada perkataan Ki Hajar, bahwa setiap orang—termasuk siswa—adalah guru!
Luqman Hakim (Guru Sejarah SMA Font Vitae Jakarta dan pegiat Taman Pembelajar Rawamangun)