KEMERDEKAAN adalah hak segala bangsa, termasuk Bangsa Indonesia. Penjajahan merupakan salah satu bentuk dari ketidaksesuaian antara peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Bangsa Indonesia sudah sejak lama terjerat dalam penderitaan akibat penjajahan, namun akhirnya, Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka pada 17 Agustus 1945. Kemerdekaan yang sudah dinantikan selama ratusan tahun akhirnya terwujud. Berbagai pengorbanan untuk melawan penjajahan telah dilakukan oleh para pejuang, pahlawan, tokoh masyarakat, dan segenap rakyat. Namun, ternyata proklamasi kemerdekaan tidak langsung merubah kehidupan masyarakat menjadi sejahtera.
Kehidupan sosial rakyat Indonesia pada awal kemerdekaan diliputi serangkaian konflik/kerusuhan—yang dikenal dengan istilah Revolusi Sosial—yang bertujuan mengubah tatanan masyarakat pasca-penjajahan lewat kekerasan.
Contoh dari peristiwa revolusi sosial di awal kemerdekaan adalah Gerakan Anti Swapraja (Gerakan Revolusi Sosial di Keraton Solo pada awal tahun 1946) yang merupakan dampak dari euforia kemerdekaan yang terlalu tinggi. Peristiwa revolusi sosial yang lain di masa awal kemerdekaan juga terjadi di daerah Tegal yang ditulis oleh Anton Lucas dan dikenal sebagai “Peristiwa Tiga Daerah”.
Pada dasarnya, revolusi sosial dipicu oleh dendam kepada kelompok masyarakat yang mendapat keuntungan (hak istimewa) di saat masa kolonial.
Mencapai kemerdekaan bukan berarti suatu bangsa sudah bebas dari segala masalah. Hal terpenting bagi suatu bangsa yang telah merdeka adalah bagaimana cara untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih.
Pada masa awal kemerdekaan, inilah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dengan perjuangan bersenjata dan upaya-upaya mempertahankan kemerdekaan lain yang dilakukan di berbagai daerah.
Hal-hal mengenai kehidupan awal kemerdekaan Indonesia dapat kita ketahui lewat berbagai sumber sejarah. Salah satu sumbernya yaitu karya sastra. Menurut Mursal Esten, Sastra atau Kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia, melalui bahasa sebagai media dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia di masa kini maupun mendatang.
Karya sastra dapat berbentuk novel, cerpen, puisi, dan lain-lain. Sejarah Sastra Indonesia biasanya dibagi berdasarkan periodisasi angkatan. Angkatan ’45 adalah para sastrawan yang menerangkan bagaimana kehidupan Indonesia di zaman Jepang.
Para sastrawan angkatan ’45 yakni, Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Achdiat Karta Mihardja, Trisno Sumardjo, dan Utuy Tatang Sontani. Angkatan ’45 ini dikenal dengan gaya menulis yang realis, lebih ekspresif, dan nasionalis.
Merasakan Masa Revolusi Lewat Karya Idrus
Idrus lahir di kota Padang tanggal 21 September 1921. Ia menempuh pendidikan di HIS, MULO, dan Algemene Middelbare School. Idrus banyak menulis cerita pendek. Ia juga membaca roman-roman dan novel Eropa dari perpustakaan sekolah. Pada 1950, Ia bekerja di Balai Pustaka. Ia juga mendirikan Majalah Kebudayaan Indonesia dan menjabat kepala redaksi.
Ia pun makin dikenal setelah menerbitkan Soerabaya, Corat-Coret di Bawah Tanah, dan AKI. Idrus meraih gelar Master of Art dari universitas Melbourne Australia, sekaligus menjadi pengajar di universitas tersebut.

Dalam dunia sastra Indonesia, Idrus dikenal sering menimbulkan kontroversi melalui komentar, karya, dan ceramah sastranya. Akhirnya Idrus tutup usia pada tanggal 18 Mei 1979 di Padang.
Novelet Idrus yang berjudul “Surabaya” menceritakan kehidupan sosial masyarakat Surabaya di awal kemerdekaan. Dimulai dengan peristiwa Hotel Yamato, yang menunjukkan nasionalisme rakyat Surabaya yang dengan berani menyobek bendera Belanda menjadi Merah-Putih. Pada awal kemerdekaan, rakyat Surabaya merasa sudah bebas. Banyak dari mereka yang menuhankan senjata. Namun, situasi tidak berlangsung lama ketika AFNEI datang ke Indonesia. AFNEI yang awalnya datang untuk memenuhi beberapa tugas, malah melanggar perjanjian dan menindas rakyat Indonesia, termasuk Surabaya.
Sampai kepada pertempuran Surabaya yang menceritakan bagaimana sekutu menyerang dan membuat rakyat Surabaya menjadi kaum pelarian. Pertempuran tersebut mengakibatkan banyak hal atau peristiwa. Seperti yang sudah kita ketahui, pertempuran (pergerakkan senjata) pastinya akan menimbulkan korban jiwa dan penderitaan bagi yang terjajah.
Setelah membaca buku ini, kita juga menjadi tahu bahwa banyak pihak Indonesia yang dengan serakah mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan. Pada masa itu, status sosial juga mempengaruhi keadaan suatu individu. Mereka yang termasuk kalangan penting atau kooperatif dengan penjajah, biasanya akan bernasib lebih baik (mendapat hak istimewa). Di sisi lain, kaum yang merasakan penderitaan akibat penjajahan terus berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara apapun, bahkan dengan menjual dirinya sekalipun. Namun, tidak sedikit pula yang tetap rela berkorban mempertahankan kemerdekaan.

Buku yang kedua, kumpulan cerita yang berjudul “Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma”. Buku ini berisikan kumpulan cerita pendek karya Idrus, dimana novelet “Surabaya” juga masuk kedalamnya. Berbeda dengan “Surabaya”, buku ini menceritakan Indonesia di zaman pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan. Ada kisah romantisme dan kepahlawanan di dalam buku tersebut.
Kisah romantisme yang dimuat adalah kisah Zulbahri dan kisah kejahatan membalas dendam. Kedua kisah ini sangat menarik karena biasanya orang-orang berpikir di masa penjajahan hanya ada pertempuran atau perang. Diceritakan bagaimana orang zaman dulu masih mempercayai ilmu-ilmu (dukun).
Lalu, diceritakan juga tentang Sanyo (penasehat departemen), fujinkai, dan heiho. Pada bagian ini, kelicikan dan keserakahan Jepang dijelaskan dalam strategi (propaganda) penjajahannya. Dengan membaca buku ini juga, kita dapat mengetahui banyak istilah-istilah dalam bahasa Jepang yang digunakan pada masa penjajahan. Sampai ke “Jalan Lain ke Roma”, menceritakan tentang pribadi bernama Open yang semasa hidupnya mengalami banyak masalah seperti dipecat, bercerai, sampai akhirnya masuk penjara.
Refleksi
Idrus adalah seorang penulis yang berani karena ia menerangkan keluh kesah di setiap karyanya. Selain itu, ia menggambar kondisi masyarakat saat itu, dimana tidak semua masyarakat menderita, tetapi ada pula beberapa orang yang memanfaatkan keadaan itu demi kepentingannya sendiri. Ia juga berani mengkritik pemerintah Belanda melalui karyanya. Gaya berbahasa yang unik, kritis, dan sinis merupakan cara penyampaian yang menjadi ciri khas dari Idrus.

Melalui kedua buku ini, Idrus nampaknya hendak mengubah cara pandang kita terhadap penjajahan yang terjadi setelah kalahnya Jepang, yang mengakibatkan kekosongan kekuasaan.
Karena vacuum of power tersebut, masyarakat Indonesia terlalu percaya diri sehingga mendewakan senjata padahal faktor kemerdekaan bukan dilihat dari persenjataan.
Banyak pelajaran yang dapat diambil dengan membaca kedua buku tersebut. Salah satunya adalah kita dapat memahami bahwa masalah yang terjadi saat ini ternyata sudah terjadi pada masa lampau. Contohnya ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Bahkan tidak hanya itu, masih banyak karya sastra lainnya. Karya sastra mengandung nilai kemanusiaan.
Namun, zaman sekarang tingkat membaca masih rendah, khususnya pada kaum muda. Padahal dengan membacanya, terlebih mengenai fakta sejarah zaman dahulu, kita dapat mengetahui dan memahami bagaimana suatu peristiwa sejarah terjadi sesuai dengan persepsi sang penulis.