Dalam rangkaian kebijakan “white Australia” budak-budak yang berada di Australia dideportasi keluar Australia. Budak-budak yang merupakan pekerja pada lahan-lahan perkebunan mayoritas berasal dari keturunan suku-suku bangsa melanosoid dari Papua dan Kepulauan Oceania. Kebijakan itu melengkapi aturan yang membatasi kedatangan pekerja imigran.
Membatasi Imigran
Melalui Immigration Destriction Act tahun 1901, Pemerintah Federal Australia membatasi imigrasi ke Australia. Pada penerapannya aturan tersebut menolak para imigran yang berasal dari negara-negara non-Eropa untu masuk ke Australia.
Mekanisme teknis menolak imigran menggunakan – apa yang disebut dengan – “dictation test”. Dimana imigran yang berharap untuk masuk Australia harus lulus dalam tes “dictation”. Dalam “mendiktekan” para petugas imigrasi menggunakan 50 kata (khusus dipilih dalam rangka tes) untuk mengetes para pendatang tersebut. Pada kenyataannya, tes tidak dirancang untuk memperbolehkan petugas imigrasi untuk mengevaluasi para imigran pelamar yang mau masuk ke Australia berdasarkan kemampuan berbahasa. Malahan daripada tes 50 kata, seorang imigran pelamar sudah diputuskan diterima atau ditolak sebelumnya hanya dengan melihat ciri-ciri fisik yang bersangkutan.
Pada tahun 1914 Australia telah menjadi semakin “white” dengan populasi penduduk mencapai 4 juta jiwa. Pada tahun yang sama, terjadi Perang Dunia I di Eropa.
Perang Dunia I dan Dampaknya
Keterlibatan Australia dalam Perang Dunia I (PD-I) tidak lepas dari keterlibatan Inggris yang merupakan salah satu aktor utama dalam PD-I. Sebagaimana diketahhui bahwa Australia adalah bagian dari negara-negara persemakmuran Inggris (commonwealth state), sehingga Australia termasuk bagian dari Kerajaan Inggris, dan saat Inggris mengumumkna untuk ikut terlibat dalam PD-I maka Australia juga melibatkan diri dalam PD-I.
Keterlibatan Australia dalam PD-I dideklarasikan oleh Perdana Menteri (PM) Joseph Cook pada 15 Agustus 1914. Setelah deklarasi, Australia mulai mengirimkan sebanyak mungkin bantuan untuk kerajaan, baik berupa bahan-bahan mentah maupun bantuan berupa sumber daya manusia untuk berperang.
Australia mengirimkan 400.000 tentaranya ke medan perang di Timur Tengah dan Eropa untuk mendukung pasukan Inggris dan Sekutu-nya dalam melawan Jerman, Austria-Hongaria, dan Turki. Tercatat 16.000 tentara Australia tewas dalam PD-I.
PD-I berakhir pada 1918. Kemenangan berada pada pihak Sekutu (Alliance), yaitu Inggris, Russia, Perancis, Italia, dan – yang pada akhirnya bergabung dengan Sekutu – Amerika Serikat. Pihak-pihak yang kalah dipaksa menandatangani perjanjian kekalahan. Salah satu perjanjian itu adalah Perjanjian Versailles, yang pada perkembangan selanjutnya memicu paham ultra-nasionali di Jerman.
Masih di Perancis, tepatnya masih di kota Paris, pada 1919 juga diadakan Konfrensi Perdamaian Paris (Paris Peace Conference). Saat itu delegasi Inggris dipimpin oleh PM Lloyd George dan didampingi oleh Sir Henry Wilson sebagai penasehat Kerajaan Inggris. Sir Henry Wilson merupakan Letnan Jendral pasukan Kerajaan Inggris yang memiliki cita-cita untuk kejayaan Inggris.
Menentang Deklarasi ‘Racial Equality’
Bill Hughes selaku PM selaku delegasi Australia menentang kebijakan race equality yang diusulkan oleh delegasi Kekaisaran Jepang ketika 72 delegasi negara-negara bertemu pada Paris Peace Conference. Walau saat itu Australia menganggap Jepang sebagai sekutunya, namun angkatan bersenjata Australia tetap menganggap Jepang sebagai ancaman utama dari Asia.
Ketika mayoritas delegasi setuju dalam konsep kesepakatan racial equality, namun presiden AS Woodrow Wilson kemudian mengikuti Australia untuk menolak kesepakatan racial equality. Billy Hughes dari Australia secara diam-diam (tahu sama tahu) mendukung AS yang menolak deklarasi racial equality atau kesetaraan ras. Kedua pemimpin tersebut mewakili ketakutan kedua negara tersebut terhadap kebangkitan Kekaisaran Jepang di kawasan Samudera Pasifik.
Meilhat realitas yang berlangsung pada Paris Peace Conference. Liga Bangsa-bangsa telah gagal menekankan perjanjian racial equlity. Delegasi Jepang meninggalkan Paris dengan perasaan pahit. Jepang merasa diperlakukan sebagai bangsa “kelas kedua” di bawah bangsa-bangsa kulit putih.
Sumber : indonesia.embassy.gov.au/ ;
“Immigrant Nation” dari Al Jazeera-English
Ahmad Muttaqin