Belakangan ini dunia internasional mengalami beberapa intrik seputar terpilihnya Presiden Donald Trump pada Pilpres Amerika Serikat (AS). Aturan maupun kebijakan-kebijakan Trump cukup kontroversial, terutama dengan pendekatannya terhadap imigran.
Melalui pelarangan izin masuk bagi 8 negara muslim Timur Tengah pada bulan tahun 2017 menunjukkan Trump menggeser nilai-nilai AS sebagai land of free, dan bahwa AS dikenal sebagai melting pot dari berbagai ras, etnis, agama, dan bahkan orientasi seksual. Bukan itu saja, Trump juga mengajukan pembangunan tembok sepanjang perbatasan AS-Meksiko. Sesuatu yang belum pernah dilakukan, dan akan sangat mahal jika benar-benar dilakukan.
Kehadiran Trump sebagai Presiden AS, yang tidak lama terjadi setelah keputusan Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa, sepertinya semacam membuka tirai bagi hadirnya primordialisme pada level negara. Secara umum – dan juga kasar – dapat dikatakan bahwa pemilih Trump kebanyakan adalah warga kulit putih yang tidak berpendidikan tinggi (universitas) selain para pejabat koorporasi yang tergiur janji Trump untuk mengurangi pajak bagi koorporasi-koorporasi di AS. Warga kulit putih yang selama pemerintahan Barack Obama melihat banyak insiden penembakan antara polisi kulit putih dengan warga kulit hitam, mungkin merasa tidak terwakili – bahkan khawatir – jika dipimpin oleh Capres Hillary Clinton yang berasal dari Partai Demokrat, partai yang sebelumnya mengantar Barack Obama sebagai presiden kulit hitam pertama AS.
Di Inggris, mayoritas warga Inggris pada akhirnya dalam referendum memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa karena mayoritas warga Inggris menguatirkan bahwa orang asing – terutama dari Polandia – akan mengambil sebagian besar peluang pekerjaan. Ditambah lagi begitu kuatnya iklan yang ditampilkan aktivis pro-keluar dari Uni Eropa (baca: Brexit) menampilkan bahwa Inggris akan menghemat puluhan juta pound apabila tidak lagi bergabung dalam Uni Eropa.
Ketika dua negara besar dan kuat secara pengaruh dan finansial seperti AS dan Inggris mengambil pilihan politik-ekonomi untuk lebih mementingkan kepentingan warga dalam negeri terlebih dahulu dibandingkan kepentingan luar negeri, maka kita dihantui oleh pertanyaan, “apakah lalu negara-negara lain akan mengikuti untuk menjadi primordial dan menutup diri?”
Kekalahan Pihak Ekstrem Kanan
Pertanyaan tersebut menemukan pembuktiannya pada Pemilu Belanda dan Pilpres Perancis yang berlangsung berdekatan pada bulan Maret dan bulan April tahun 2017. Di Belanda, partai VVD yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mark Rutte memperoleh suara tertinggi dengan mendapatkan 33 kursi di parlemen, kedua diikuti oleh PVV yang dipimpin oleh Geert Wilders mendapatkan 20 kursi, partai CDA (Kristen-demokrat) 19 kursi, D66 (Demokrat-66) 19 kursi, Kiri-Hijau 14 kursi, Partai Sosialis 14 kursi, dan sisa 31 kursi lain dibagi untuk enam partai kecil lainnya.
Keunggulan partai VVD yang dipimpin oleh Rutte dapat diartikan bahwa rakyat Belanda masih banyak yang mempercayai pemerintahan yang dipimpinnya. Namun yang jauh lebih melegakan bagi masyarakat Eropa dan juga dunia adalah bahwa partai PVV yang dipimpin Geert Wilders tidak mendapatkan kemenangan atau suara mayoritas. Sebelumnya, partai pimpinan Wilders unggul jauh dalam jajak pendapat, namun dukungan untuk mereka memudar dalam saat-saat terakhir. Dunia memantau Pemilu Belanda ini dengan seksama, sebagai indikasi bagaimana partai-partai populis anti pendatang dan memiliki pandangan sangat negatif terhadap ajaran Islam itu mendapat dukungan dalam pemilu.
Warga muslim seluruh dunia mengenal Wilders sebagai pembuat film “Fitna” pada 2008. Di film itu Wilders mengemukakan gagasan bahwa ia merasa bahwa Islam telah mengurangi kebebasan di Belanda dan perilaku Nabi Muhammad tidak cocok dengan kemoralan Barat.
Saat ini juga di parlemen Belanda, koalisi apapun yang terbentuk di parlemen tidak akan melibatkan partai PVV yang diketuai Wilders. Secara lugas dapat dikatakan tidak ada partai manapun yang mau berkoalisi dengan PVV. Penulis yakin, rakyat Belanda merasa bangga dengan kondisi pasca Pemilu, karena menunjukkan keberagaman pada pilihan partai serta gagalnya politikus anti-imigran dan anti-islam naik sebagai pemimpin Belanda.
Sebulan setelah Pemilu di Belanda, keadaan politik di Perancis juga sangat dinamis. Pada Pilpres Perancis, empat calon ikut serta, yaitu Emmanuel Macron, Marine Le Pen, Francois Fillon, dan Jean-Luc Melenchon. Ada dua calon yang menonjol pada Pilpres kali ini yaitu Le Pen dan Fillon. Le Pen dari Partai Ekstrem Kanan terus menggaungkan kampanye anti-Uni Eropa dan mendorong Perancis untuk mengikuti tetangganya di utara, Inggris, untuk keluar dari Uni Eropa. Politikus esktrem kanan ini juga memiliki pandangan keras terhadap Muslim dan kaum imigran. Perempuan berusia 48 tahun ini dipandang sebagai capres yang paling tegas menekankan isu keamanan nasional. Sedangkan Fillon muncul dari Partai Konservatif. Sosoknya merupakan seorang konservatif sosial yang berkampanye tentang pemotongan belanja publik serta pajak bagi orang kaya, melonggarkan peraturan bisnis, mengurangi imigrasi, dan akan mengucurkan investasi miliaran di sektor keamanan, pertahanan, dan peradilan.
Namun diluar dugaan, Fillon terkena skandal pekerjaan fiktif yang menjerat istrinya, Penelope Fillon. Hal itu mengakibatkan Fillon tersingkir pada putaran pertama Pilpres dan menyisakan Le Pen dan Macron di putaran kedua.
Ketika “diadu” head-to-head antara Macron dan Le Pen, maka Macron keluar sebagai pemenangnya. Rakyat Perancis lebih memilih Macron dibandingkan dengan Le Pen karena reputasi ayahnya, Jean-Marie Le Pen yang terlibat penyataan miring soal insiden holocoust. Rakyat Perancis juga menunjukkan bahwa mereka menolak cara pandang Marine Le Pen terhadap keamanan negara, kebijakakan anti-imigran, dan diskriminasi terhadap komunitas muslim.
Penulis menganggap bahwa pilihan rakyat Belanda dan Perancis telah menunjukkan kalau rakyat di kedua negara tersebut menjunjung tinggi keberagaman dan mengedepankan rasionalitas diri mereka. Mayoritas rakyat Belanda, terutama kaum muda, menyadari tidak mungkin untuk memilih partai PVV yang rasis karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mereka anut. Mayoritas rakyat Perancis juga tidak menginginkan dipimpin oleh presiden yang diskriminatif dan akan membawa mereka keluar dari Uni Eropa, karena betapa rakyat Perancis melihat betapa Inggris tidak mendapatkan keuntungan yang besar dari proses Brexit mereka.
Proses demokrasi di Belanda dan Perancis menunjukkan bahwa pada masyarakat Barat di Eropa secara umum masih mengedepankan rasionalitas. Mereka memilih rasionalitas daripada sentimen primordialisme maupun tribalisme (mementingkan negaranya sendiri). Dan dengan demikian membuat demokrasi di masyarakat Uni Eropa kelihatan advance, sedang AS kelihatan under-developt.
Ahmad Muttaqin, M.Pd
Guru SMK Al-Ishlah Cilegon, Sekertaris II Forum MGMP SMK Prov.Banten