Mau tidak mau, seorang pemimpin mesti bisa melahirkan sikap dan perbuatan sebelum melakukan retorika heroiknya, Ing Ngarso Sung Tulodo.
Beberapa pujian atas pidato Nadiem Makarim, selaku Menteri Pendidikan terkait hari guru (25 November 2019) berhasil viral. Sebagian Masyarakat seakan mendapat angin segar dari pidatonya yang begitu heroik dan menggugah hati terkait nasib guru saat ini.
Bagaimana tidak, ditengah derasnya tuntutan tanggungjawab sosial terhadap guru, alumni pasca-sarjana Harvard Business School ini coba menjelaskan dengan lugas bahwa guru tak boleh lagi terjebak pada urusan-urusan administratif belaka.
Tak hanya itu, mantan konsultan manajemen di Mckinsey ini juga seakan coba membuka “Gerbang hitam” yang kerap membelenggu nasib guru di Indonesia. Misalnya, akses guru honorer yang sepenuhnya belum merata. ditambah, kritik atas angka dan nilai-nilai ujian sekolah yang semakin menjebak guru dan siswa.
Secara implisit, apa yang disampaikan pendiri Gojek tak ada yang salah, karena persoalan pendidikan memang begitu kompleks. Mulai dari pemerataan pendidikan masyarakat, Sistem lembaga pendidikan yang belum mampu menahan korsleting jiwa guru dan siswa.
Ditambah, lembaga keguruan yang (ternyata) masih “linglung” mencari jalan keluar dari lingkaran “Trap Globalisme”. Salah satunya, adalah sistem pendidikan nasional yang tengah dipaksa menjurus pada unggulnya sumber daya manusia Indonesia, Revolusi industri 4.0.
Hakikatnya, konsep Revolusi Industri 4.0 ini pula yang coba diretorikakan Mas Menteri dalam pemberitaan media Jawa Pos (18 November 2019), bahwa lembaga pendidikan (SMK) mesti lebih bisa menciptakan tenaga pekerja yang lebih baik dari Badan Layanan Kerja (BLK) yang dalam pelatihan keterampilan dan keahlian siswanya hanya 3,6, atau 12 bulan.
Artinya, bagi penulis arah pendidikan tak akan banyak berubah meski menteri Pendidikan dinahkodai oleh teknokrat sekelas Nadiem Makarim. Lembaga pendidikan akn tetap menjadi pencipta pekerja-pekerja industri yang berbakat.
Padahal, jika ditelisik lebih jauh, menurut review World Bank 2019 bahwa sesungguhnya Indonesia tidak siap dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0. Bahkan lebih mengerikannya lagi, jika Indonesia belum juga dapat dikategorikan masuk pada Revolusi Industri 2.0 sampai saat ini.
Terbukti, dalam laporan akhir tahun 2019, menyatakan hasil belajar para pelajar di Jakarta lebih buruk dari rerata hasil belajar pelajar pedesaan di Vietnam, ironis.
Di sisi lain, jika merujuk pada pemikiran Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan atau keterampilan semata tetapi memiliki rasa untuk hidup bersama dan bermanfaat lebih baik terhadap sesama.
Bahkan dalam bukunya yg berjudul “pendidikan” beliau juga kerap menyinggung terkait intuisi pedagogis, insting pedagogis, dan pengetahuan pedagogis. Tiga cara itu pula yang menjadi “Pendidikan” Maha-Kuasa menuntun manusia pada jalan yang benar.
Sehingga output dari pendidikan bukan sekadar mempersiapkan manusia yang siap bekerja pada industri namun bertujuan untuk mempertajam kecerdasan, memperkuat kemauan, dan memperhalus perasaan.
Pertanyaannya, melihat kecenderungan retorika yang dilakukan oleh pendiri Zalora Indonesia selama 30 hari pasca diangkat oleh Jokowi, Apakah Mas Menteri telah menghasilkan ide-ide perubahan dalam dunia pendidikan yang telah termaktub pada program kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sampai saat ini? selain pidato yang kerap berhasil viral.
Sekali lagi, kita boleh saja senang atas karakter Menteri yang pernah menjadi bos penyedia jasa berbasis daring yang begitu rendah hati untuk mendengar saran dari komunitas dan pegiat pendidikan.
Namun sejauh telinga kita mendengar pidatonya, sungguh ini petanda jika itu hanya sebuah retorika alateknorat yang “linglung” atas persoalan pendidikan nasional. Ibarat sebuah mobil, posisi teknokrat yang tadinya hanya menjadi gas, kini berubah menjadi supir yang kebingungan mencari jalan pulang.
Hendro Rahmandani