Saya sering enggan ketika ada orang tua yang ngeyel ingin tahu peringkat siswanya baik di kelas maupun paralel.
Kebetulan memang saya guru yang ngurusi kurikulum, jadi saya menjadi sasaran terakhir bagi orang tua ketika kolom rangking menghilang dari form rapor anaknya. Meskipun saya ini guru matematika yang hampir setiap hari berkutat dengan angka, tapi benci sekali jika setiap segi dalam pendidikan selalu diangka-angkakan.
Biasanya, kalau saya sedang banyak waktu luang, maka saya beri ceramah sekalian orang tua wali murid yang menanyakan rangking mengenai betapa tidak pentingnya pertanyaan mereka. Tapi, ketika saya sibuk atau bosan, biasanya saya berdalih bahwa form rapor dari aplikasi e-rapor memang tidak menyertakan kolom rangking (TITIK).
Bagi saya, rangking itu, daripada memberi manfaat lebih banyak memberi mudharat. Pertama, rangking hanya memberikan kebanggaan semu bagi mereka yang berada di 3 besar. Rangking seolah membuat mereka bangga, tapi perlahan rangking menyesatkan orientasi belajar mereka agar belajar hanya untuk kebanggaan rangking semata yang pada akhirnya membutakan mereka akan nikmat belajar. Kedua, rangking menyisihkan mereka yang tidak masuk di tiga besar sisanya. Mereka yang sudah berusaha maksimal belajar, pada akhirnya harus berkecil hati karena dibandingkan dengan keunggulan temannya.
Ketiga, rangking justru berpotensi memecah belah. Dua orang yang rata-ratanya hanya berselisih 1,5 (misal rata-rata si A 88,7 dab si B 87,2) dapat berselisih 5 poin dalam rangkingnya (misal si A rangking 3 dan si B rangking 8. Ini tentu menjadi bias tersendiri. Seorang yang kemampuannya bisa dikatakan nyaris sama pada akhirnya dianggap jauh berbeda. Si A diganjar hadiah, sedangkan Si B harus dihukum dengan belajar tambahan di rumah.
Saya cenderung setuju ketika awal K13 dihembuskan, dan adanya penambahan deskripsi nilai pada kolom rapor. Meskipun, harus diakui itu menambah pekerjaan saya juga, tapi manfaat bagi siswa dan orang tua yang menyadarinya jauh harus lebih diutamakan.
Deskripsi pada rapor berfungsi baik bagi orang tua. Ia memberikan informasi mengenai kemampuan anak yang perlu ditingkatkan. Deskripsi juga tidak berpotensi sebagai pemecah belah. Seorang siswa yang mempunyai nilai 85 dan 80 mungkin punya predikat dan deskripsi capaian yang sama.
Kedua, deskripsi mampu mengedukasi orang tua agar tidak berorientasi pada nilai. Misal seorang siswa dapat memiliki nilai 85 tapi ada beberapa kompetensi yang ia harus tingkatkan pada deskripsinya. Di sisi lain, seorang siswa yang hanya mendapat nilai 75 tapi mempunyai deskripsi yang baik pada setiap capaian kompetensinya. Ini mengajarkan pada orang tua agar tidak terlalu bangga dengan nilai 85 dan tidak terlalu kecewa hanya karena nilai 75.
Karena sejauh yang saya tahu, angka-angka dirapor selama ini sering disalahgunakan oleh orang tua maupun guru. Alih-alih dijadikan bahan evaluasi, angka-angka ini sering dijadikan target pendidikan. Misalnya, orang tua menargetkan anaknya agar nilai matematikanya lebih dari 80. Atau guru yang menargetkan siswanya, agar dimapelnya semua siswa memperoleh nilai diatas 75.
Lebih parahnya, angka-angka ini sering dijadikan sebagai pembentuk stigma terhadap anak.
Misalnya, tidak sedikit orang tua yang merasa anaknya bodoh hanya karena nilai matematikanya di bawah 80, tapi tidak jika di atas 80. Tidak sedikit pula guru yang menganggap siswanya bodoh hanya karena dalam beberapa kali ulangan ia mendapat nilai dibawah 75. Sebenarnya, ada banyak sekali bias yang mungkin tidak disadari ketika penilaian dilakukan.
Pertama apakah siswa sudah diajarkan dengan proporsi benar. Artinya apakah mereka diajarkan sesuai dengan kompetensi yang akan diujikan.
Kedua, apakah indikator yang digunakan sebagai penanda ketercapaian kompetensi sudah dibuat dengan pas. Jangan sampai, misalkan kompetensi dasar yang diajarkan adalah perkalian bilangan bulat 1-10 tapi yang menjadi indikator justru siswa harus dapat mengalikan puluhan dengan cara bersusun ke bawah.
Ketiga, apakah tingkat kesulitan soal (pada ranah kognitif terutama) sudah diperhitungkan dengan masak. Keempat, apakah soal yang dibuat sudah valid, reliable, dan readable. Kelima, apakah cara penskorannya sudah adil dan disosialisasikan ke siswa sebelumnya. Keenam, apakah standar Kriteria Ketuntasan Milimal (KKM) yang ditetapkan sudah representatif dengan semua siswa.
Lah, jangan sampai membuat KKM yang hanya mungkin dilampaui oleh segelintir siswa yang pandai saja. Lalu kemudian, jika ada banyak siswa yang gagal mencapai target KKM lantas menyalahkan mereka yang kurang belajar.
Ada banyak hal dalam penilaian yang perlu dikoreksi sebelum penilaian dijadikan alat evaluasi. Dan bukan dijadikan sebagai target atau pembentuk stigma. Sudah semestinya pendidikan kita bergerak ke depan dan meninggalkan urusan angka-angka hanya kepada sekolah. Biarkan guru dan sekolah saja yang ngopeni angka-angka itu sebagai dasar analisis keberhasilan pembelajaran mereka. Biarkan statistika yang mengelolanya.
Rapor yang dibagikan ke siswa dan walinya mestinya tak perlu mencantumkan angka-angka. Tirulah, sebagaimana penilaian sikap yang ada pada rapor K13. Biarkan hanya predikat dan deskripsi mengenai apa keunggulan dan apa yang perlu ditingkatkan dari seorang siswa.
Sudah semestinya tak perlu lagi ada orang tua yang menanyakan berapa nilai ulangan anaknya. Tak jaman lagi orang tua yang harus saling membanggakan peringkat anaknya, padahal secara rerata mungkin hanya berselisih koma.
Sudah saatnya orang tua diedukasi untuk menanyakan apa yang sudah dipelajari anaknya. Orang tua harus mulai bangga dengan keterampilan anaknya tanpa perlu membandingkan dengan anak tetangga.
Kemudian, mari kita buat agar para siswa belajar bukan karena mengejar nilai, melainkan karena menikmati pengetahuan yang siap dijelajahi di depan mereka. Kita tunjukkan bahwa para siswa punya keunggulan di bidang masing-masing tanpa perlu meniru keahlian temannya atau minder karena tak punya keahlian seperti kebanyakan dari mereka. Tumbuhkan rasa percaya diri pada mereka, bahwa mereka tercipta unik dan berbeda. Buat mereka bekerja sama karena perbedaannya dan jangan pisahkan mereka hanya karena perbedaan angka-angka semata.
Sudah saatnya kita mengubah arah pendidikan kita. Beranikah kita memulai pendidikan yang tak lagi memprioritaskan angka-angka?
Guru matematika di SMP Al-Furqan MQ Tebuireng lulusan Master Pendidikan Matematika UNESA.