Kemajuan teknologi di bidang informasi tidak dapat terbantahkan saat ini. Namun sebagai anak bangsa, kita tidak boleh mentah-mentah menelan teknologi itu.
Selain teknologi itu penting untuk kemajuan kemanusiaan, teknologi juga berdampak negatif hingga sampai pada taraf menghancurkan kemanusiaan itu sendiri. Pengalaman perang dunia I dan II sudah membuktikan hal itu.
Saat ini, kita sudah memasuki era kemapanan media informasi yang sangat canggih. Lihat saja perkembangan telepon pintar. Baik itu yang menggunakan sistem operasi android ataupun ios. Media sosial terutama WhatsApp, Facebook, Youtube, Instagram, Twitter yang terpasang di smartphone menjadi kekuatan yang mampu merubah mindset manusia.
Alat teknologi canggih itu juga dapat menjadi sasaran bagi kekuatan politik tertentu untuk meraih keuntungan ekonomi dan politik dengan merusak tatanan sosial manusia.
Fakta-fakta bermunculan dan terekam dalam jejak digital saat ini. Selama berlangsungnya pilpres dan pileg di Indonesia, media sosial menjadi kekuatan yang digunakan oleh manusia-manusia yang turut aktif dalam kancah pertarungan politik pada waktu itu.
Teknologi secara nyata digunakan untuk mengembangkan permusuhan dan sebaran kebencian. Penyebaran akun-akun negatif itu menimbulkan perpecahan. Kelompok-kelompok tersebut saling aktif membangun permusuhan.
Realitas sosial hari ini tergambarkan dengan sangat telanjang bahwa medsos bisa menjadi kekuatan pengembang kerusuhan sosial bila tidak diapresiasi secara kreatif lagi arif. Manusia dapat menggunakan medsos untuk menyerang pihak lain, mengembangkan kebencian dan membunuh karakter.
Jejak digital sepanjang periode kampanye pilpres dan pileg kemarin menjadi fakta obyektif bahwa media sosial digunakan untuk menyerang pihak lain, memfitnah lawan politik, bahkan menyebarkan kebencian atas nama agama.
Manusia seakan tidak dapat mengontrol dan mengendalikan dampak negatif dari penggunaan medsos. Manusia berupaya memfabrikasi ungkapan-ungkapan, wacana bernuansa fitnah dan kebencian. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi opini publik.
Pembuat yang memproduksi atau memfabrikasi kata-kata dan wacana kebencian bertujuan meraih keuntungan ekonomi dengan kegiatan tersebut. Sebaliknya publik pun terus diserang kesadarannya untuk seakan-akan saling berhadap-hadapan dan bermusuhan di dunia maya.
Dampak lain dari produksi wacana dan kata-kata penuh kebencian tersebut tentu saja dapat berpengaruh negatif pada dunia pendidikan anak-anak. Karena medsos baik Facebook, Twitter, Instagram dan Youtube tidak hanya dibagikan kepada sasaran-sasaran kelompok sosial tertentu, tetapi sudah menjadi konsumsi publik secara massal. Sehingga anak-anak usia sekolah pun praktis dapat menikmati kebohongan dan kebencian lewat media sosial itu.
Kondisi wacana publik yang diwarnai kebencian dan kebohongan itu menjadi tantangan berat bagi dunia pendidikan kita. Guru, sekolah dan orangtua serta anak-anak, menjadi korban suasana kebencian dan kebohongan. Mereka dihegemoni oleh informasi yang memperkeruh dan meracuni publik dengan narasi kebohongan dan kebencian.
Pendidikan dan pengajaran sebagai proses transformasi kebudayaan manusia menjadi faktor yang sangat penting dalam menangkis wacana publik yang tercemar oleh kebencian dan kebohongan. Sekolah sebagai arena transformasi kebudayaan merupakan salah satu pusat kegiatan untuk membentengi anak-anak dari pengaruh buruk tersebut. Tentu saja sekolah dapat berperan menjadi institusi yang memupuk manusia-manusia kreatif, karena di tangan manusia-manusia kreatif, teknologi menjadi faktor yang penting dalam mengembangkan kebudayaan dan kemanusiaan.
Kreativitas
Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan kreativitas anak (siswa). Kreativitas akan berkembang dan memberi sumbangan pada harkat dan martabat kemanusiaan, bila landasan demokrasi terbangun dengan jembatan relasi antar manusia semakin menguat, maka..
Antara manusia terjadi dialog secara setara sehingga hubungan antara “aku dan kamu” menjadi intim sebagai hubungan antar pribadi.
Konsep kreativitas tersebutlah yang dalam pandangan pemikiran Conny R Semiawan dkk, didasarkan pada fungsi dasar berpikir, merasa, pengindraan cipta talen, dan intuisi. Kreativitas pun terintegrasi di dalamnya; berpikir rasional, perkembangan emosional atau perasaan pada tingkat yang lebih tinggi, perkembangan bakat khusus (pengindraan cipta talenta), kesadaran yang menghasilkan imajinasi fantasi, dan pendobrakan pada kondisi ambang kesadaran atau ketidak-sadaran (intuisi). Kreativitas pada dasarnya merupakan hasil sintesis faktor-faktor itu. (Conny R. Semiawan, dkk: 1988, 60).
Kreativitas dengan landasan itu dapat menjadi sumber pemelihara kekuatan positif untuk meminimalisir atau mengendalikan dampak negatif kemajuan teknologi. Sehingga teknologi bukan digunakan untuk menghancurkan kemanusiaan, sebaliknya menjadi perangkat yang memperkuat pertumbuhan nilai-nilai kemanusiaan, perubahan sikap, pengembangan perilaku positif bagi pertumbuhan kualitas dan martabat manusia.
Tentu saja penekanan kreativitas dimaksud di atas adalah pada kebudayaan. Jadi, kalau saat ini perkembangan teknologi tidak dikendalikan oleh tingkat kreativitas manusia, maka teknologi akan menjadi kekuatan destruktif bagi manusia sendiri.
Di tangan manusia Indonesia yang kreatif, media sosial dapat menjadi kekuatan untuk mengembangkan kegiatan ekonomi, pendidikan dan keagamaan yang menyejukkan. Sebaliknya, di tangan orang-orang tidak kreatif, media sosial menjadi tempat menyebarkan intoleransi, kebencian dan kebohongan publik, tindakan kriminal, misal imitasi dari kasus kekerasan seksual yang dapat berdampak buruk pada pendidikan anak.
Pendidikan Karakter (Budi Pekerti)
Pendidikan karakter atau pendidikan budi pekerti adalah juga faktor lain yang sangat penting untuk mendidik anak (murid) dalam mengantisipasi kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pendidikan dapat menelaah tentang pentingnya pendidikan karakter atau budi pekerti itu bagi anak-anak. Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa dalam pendidikan budi pekerti itu, faktor dasar (bawaan lahir) saling pengaruh-mempengaruhi (konvergen) dengan faktor luar melalui proses pengajaran atau pendidikan (faktor ajar).
Tokoh pendidikan bangsa itu berpendapat bahwa budi pekerti (karakter) terdiri dari dua hal penting yang mesti dimaknai, yaitu “Budi” dan “Pekerti”. Budi mengandung 3 faktor penting yang terkonsolidasi satu dengan lainnya. Ketiga faktor penting itu adalah komponen pikiran, perasaan dan kemauan. Sedangkan “Pekerti” adalah tenaga atau daya.
Budi pekerti sifatnya jiwa manusia, mulai angan-angan, sehingga terjelma menjadi tenaga. Setiap manusia yang terbangun “Budi Pekerti”-nya senantiasa dapat menggunakan pikiran (rasionalitas), dia juga dapat menimbang-nimbang segala sesuatu, dapat merasa-rasakan. Seorang yang ber-budi-pekerti selalu dapat menggunakan ukuran-ukuran dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. (Ki Hajar Dewantara: 2004: 25).
Segala tingkah laku, gerak upaya orang yang ber-budi-pekerti senantiasa menggunakan rasionalitas dan perasaan-perasaan dalam mengambil suatu sikap dan tindakan. Dia juga selalu mempertimbangkan segala sesuatu dari berbagai sudut pandangan dengan ukuran-ukuran yang pasti dan tepat. Sehingga dia dapat memutuskan sesuatu dengan kebijaksanaan, tidak merugikan pihak lain, dan tidak menyinggung perasaan orang lain.
Bila proses pembentukan budi pekerti/karakter mengalami degradasi berarti perlu ada yang dievaluasi dari sistem pendidikan kita. Bila pendidikan nasional menghasilkan manusia-manusia yang intoleran, manusia-manusia yang secara sadar memfabrikasi kebencian dan kebohongan, itu menandai bahwa pendidikan kita perlu dikritik secara mendasar. Kritik itu berarti diarahkan terhadap ilmu pendidikan sebagai ilmu yang secara khusus menjadi sumber pengembangan pendidikan dan pengajaran.
Dari sudut pandang ilmu pendidikan, proses pendidikan memiliki fungsi strategis yaitu untuk menumbuhkan kecerdasan, kreativitas, perasaan positif. Sebaliknya pendidikan juga berfungsi untuk melemahkan perasaan dan kemauan negatif dalam diri manusia. Dengan kata lain, pendidikan dapat memperkuat kehendak dan kemauan positif dalam diri manusia juga sekaligus meminimalisir kehendak dan kemauan negatif dari manusia.
Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan sudah menjadi kenyataan terutama di negara-negara maju tidak ketinggalan pula di Indonesia. Oleh karena itu pendidikan tinggi selalu dilengkapi dengan pusat-pusat penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan hasil daya berpikir manusia itu perlu diantisipasi karena ada dampak positif dan negatifnya.
Seorang pakar pendidikan Indonesia, Prof. Tilaar memberikan suatu pandangan berdasarkan fenomena pertumbuhan kebudayaan yang memasuki kebudayaan keempat. Peran pendidikan terutama pendidikan tinggi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada perkembangan abad XXI ini pendidikan tinggi tidak dapat memposisikan dirinya terpisah dari rakyat.
Pendidikan tinggi mesti menjadi pusat pengembangan tradisi interaksi antara para ilmuan dan rakyat. Tradisi itu diperlukan agar para ilmuan dan rakyat dapat menyatu dalam suatu proses apresiasi terhadap kosmos. (Tilaar: 1997: 203).
Dalam pertumbuhan kebudayaan memasuki tahap keempat itu, pendidikan tinggi perlu menyadari bahwa etika, moral, agama berperan sama pentingnya dengan unsur-unsur ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, sudah pasti pendidikan tinggi perlu mengapresiasi unsur ilmu pengetahuan dan teknologi, serta budaya dan filsafat.
Nilai-nilai agama dapat menjadi rujukan untuk membentuk etika dan moral yang dapat dikembangkan di perguruan tinggi. Pada dekade ini, kesadaran manusia dalam beragama mengalami kemajuan-kemajuan sangat pesat. Tetapi disisi lain ada sebuah ironi, kesadaran keberagamaan itu ditandai juga dengan pemunculan sikap intoleransi dan tindakan kekerasan bahkan teror atas nama agama.
Bukan hanya itu saja, sekelompok kekuatan tertentu memerankan agama sebagai identitas politik dan kemudian mengeksploitasi agama itu untuk memobilisasi kekuatan dengan menabrak cara-cara demokrasi. Kondisi itu dapat merusak pembangunan moral dan etika yang bersumber dari nilai-nilai agama.
Perguruan tinggi perlu mengembangkan suatu pandangan bahwa nilai-nilai agama merupakan salah satu faktor terpenting dalam proses pembentukan moral dan etika dalam kehidupan manusia. Bila agama hanya diperankan untuk mengembangkan “kebencian” satu pihak kepada pihak lain, maka fungsi terpenting agama mengalami degradasi dan distorsi.
Oleh karena itu kita perlu meletakkan agama dalam dimensi pembentukan etika dan moral kemusiaan, etik dan moral demokrasi, etik dan moral keadilan sosial. Sehingga etika, moral, dan agama dapat bergandengan tangan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengembangkan peradaban kemanusiaan.
Akhirul kalam, pendidikan kita saat ini memang sedang menghadapi tantangan. Selain tantangan dari kemajuan-kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang terus berkembang sangat cepat. Tantangan juga datang dari faktor manusia sebagai subyeknya yang bila di-tracking jejak digitalnya yang terkadang ada saja ditemukan narasi yang diwarnai oleh rasa kebencian dan dendam bahkan untuk beberapa kasus, dilakukan oleh tenaga pendidik sendiri. Tantangan lainnya, pada saat yang sama bangsa Indonesia dihadapkan pada persaingan global yang juga tidak dapat dielakkan, kita mesti menghadapi secara bersama.
Pendidikan untuk membentuk manusia seutuhnya patutlah menjadi perhatian bersama, manusia Indonesia yang terdidik tingkat kreativitasnya bisa bersinergi dalam pembentukan karakter atau budi pekerti. Pendidikan karakter atau budi pekerti itu berkembang ketika manusia memasuki usia perkembangan masa SD, SMP kemudian SMA.
Sementara pada tingkat pendidikan tinggi, pendidikan dikembangkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi tak boleh dilupakan faktor etik, moral dan agama perlu digandengkan secara sejajar dengan proses pengembangan ilmu dan teknologi di perguruan tinggi.
Penulis adalah Dosen Universitas Bung Karno dan Pegiat Pedagogik di Kelompok Belajar Rawamangun