Para pendidik (baca: guru dan/atau dosen) sudah mengetahui bahwa ilmu pendidikan sudah berkembang pesat. Pendekatan pendidikan makin berkembang, sampai berpengaruh ke perencanaan pembelajaran (konkritnya melalui RPP atau SAP), strategi belajar mengajar (konkritnya melalui metode dan model pembelajaran), sampai kepada evaluasi pembelajaran serta tindak lanjut hasil pembelajaran.
Pemerintah pun sudah merespons, setidaknya sejak tahun 2004 melalui Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pemerintah mulai ‘nggeh’ untuk mengejar target “kompetensi” dan tidak lagi pada “materi pelajaran”. Upaya transformasi pembelajaran pun dilakukan, biasanya melalui pelatihan-pelatihan pengembangan kurikulum di setiap daerah, meliputi setiap jenjang baik SD, SMP, SMA, sampai SMK. Kurikulum kemudian berubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (2006) dan Kurikulum 2013. Lalu istilah pembelajaran seperti “kompetensi inti”, “kompetensi dasar”, maupun “indikator pencapaian kompetensi” menjadi pembahasan rutin dalam setiap rapat dinas pendidikan, pelatihan, maupun kegiatan MGMP.
Tapi pertanyaan terbesarnya, “sudahkah guru berubah dalam melakukan pembelajaran di kelas?” dan “sudahkah pembelajaran di kelas bertransformasi menjadi pembelajaran yang PAIKEM ?”
Capaian Belajar Peserta Didik Kita
Cara mengukur capaian belajar yang menurut saya cukup objektif dan sederhana adalah dengan menggunakan peringkat Programme for International Student Assessment (PISA). Survei PISA melibatkan 72 negara, menggunakan tolak ukur kompetensi membaca, kompetensi matematika, dan kompetensi sains, serta memilih responden berumur 15 tahun secara acak. Bahkan hasil survey PISA tahun 2012 juga yang dijadikan landasan bagi pemerintah untuk menerapkan Kurikulum 2013 (K-13).
Hasil PISA tahun 2012, Indonesia menempati peringkat 71 dari 72 negara. Lalu, pada PISA tahun 2015, Indonesia peringkat 69 dari 76 negara. Secara kasat mata ada peningkatan memang, namun secara keseluruhan Indonesia masih tertinggal jauh dari negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) lainnya, termasuk Vietnam dan Thailand. Namun demikian, empat kesimpulan dari pemerintah terhadap hasil PISA tahun 2015, berbunyi 1)meski peningkatan capaian Indonesia cukup signifikan, namun capaian secara umum masih di bawah rerata OECD, 2)bila peningkatan ini terus kita pertahankan, maka pada tahun 2030 capaian kita akan menyamai OECD, 3)hal yang terpenting adalah bagaimana kita melakukan tindak lanjut berdasar diagnosa yang dihasilkan dari survei diagnostik PISA, 4)siswa harus dibiasakan dengan soal-soal kecakapan berpikir orde tinggi (HOTS).
Akankah Guru-guru Konservatif Bertahan ?
Penulis dalam opini yang singkat ini tidak mampu berbicara lebih detail tentang kompetensi guru dalam melakukan pembelajaran. Data kuantitatifnya harus berdasarkan penelitian ataupun jurnal-jurnal pendidikan. Data kualitatifnya pun harus mengecek di tiap-tiap sekolah maupun dinas pendidikan kota/kabupaten maupun provinsi. Namun izinkan penulis berbicara melalui yang penulis tahu dan amati sekilas.
Bahwa ketika berbicara kompetensi dan budaya kerja guru, masih banyak yang perlu diperbaiki. Mulai dari yang paling mudah diukur, seperti jam datang dan jam pulang guru di sekolah, sampai pada apa saja yang guru kerjakan di sekolah, lalu seperti apa guru mengimplementasi K-13 di kelas-kelas, lalu sejauh mana guru melakukan rangkaian proses pembelajaran (perencanaan, strategi pembelajaran, evaluasi, dan tindak lanjut evaluasi), dan seberapa sering guru melakukan penelitian kelas.
Guru hari ini tidak cukup hanya memiliki ijazah S-1 atau S-2 dan sertifikat pendidik. Yang terpenting, guru hari ini, harus memiliki kemampuan mendidik peserta didik yang memiliki ketrampilan abad 21. Pembelajaran abad 21 menurut UNESCO meliputi pilar to know, to do, to be, dan to live together. Maka dari itu membutuhkan peserta didik yang tertanam Critical thinking, Creativity, Communication, dan Collaboration.
Seiring dengan kemampuan belajar secara Critical thinking, Creativity, Communication, dan Collaboration, maka kemampuan peserta didik untuk mengakses media informasi meningkat. Guru perlu mendukung dan bahkan meningkatkan penguasaan peserta didik terhadap media informasi dan teknologi. Hasil yang juga diharapkan adalah generasi peserta didik yang literate, bukan hanya dalam hal membaca buku, namun juga literate dalam hal media informasi dan teknologi informasi-komunikasi.


Berarti guru yang memiliki mind-set konservatif (dalam arti menginginkan kondisi ‘status quo, serta malas keluar dari ‘zona nyaman’) sudah tidak pantas dan tidak layak lagi ada di kelas. Karena untuk mendidik peserta didik yang memiliki ketrampilan abad 21 tidak dapat ditolerir lagi pola pengajaran yang teacher oriented. Dengan demikian, maka guru-guru yang memiliki mind-set progresif lah yang akan dibutuhkan dan dicari oleh para peserta didik. Progresif dalam arti kata ‘selalu berusaha merubah kondisi menjadi lebih maju’.
Dan hubungan antara keberadaan guru-guru yang ber-mind set progresif akan saling melengkapi. Apabila sekolah mengadopsi sistem ujian dan penilaian secara daring, maka guru-guru ber-mind set progresif akan menjadikan hal itu mempermudah mereka, sedangkan mereka sendiri tetap melakukan analisis butir soal. Apabila peserta didik menggunakan video pembelajaran dari guru lain yang dianggap memiliki cara baru, maka guru-guru ber-mind set progresif tetap akan memberikan konsep-konsep yang lebih komprehensif lagi.
Ahmad Muttaqin, M.Pd
Guru SMAN 3 Cilegon