“Hanya dengan pendidikan kita akan tumbuh menjadi suatu bangsa”
Dewi Sartika
Salah satu sosok pahlawan dari Jawa Barat yang membawa dimensi menarik dalam pendidikan adalah Dewi Sartika. Ia dengan tekadnya, memberikan segala daya upaya agar masyarakat Indonesia (waktu disebut pribumi) mampu mengenyam bangku sekolah.
Pada waktu itu, sekolah diperuntukkan hanya terbatas untuk kaum ningrat. Dewi Sartika mendobraknya dengan membuka kelas-kelas belajar untuk semua. Berbagai kalangan diterima tanpa membeda-bedakan golongan atau kelas di masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah kaum perempuan. Paradigma zaman itu bahwa urusan perempuan hanya sumur, dapur, dan kasur juga coba digeser. Dengan inisatif untuk pencerahan lewat pendidikan, ia mendorong paradigma tandingan bahwa perempuan juga punya hak untuk belajar.
Sekolah Keutamaan Isteri adalah bukti nyata kepedulian Dewi Sartika pada pendidikan. Sekolah ini juga menjadi tonggak pendidikan yang mana buat saya menjadi awal kebangkitan pendidikan di Bandung. Walau terbatas hanya di wilayah kota tapi pergerakan pendidikan sedikit banyak mempengaruhi kesadaran warga untuk menjadi manusia terdidik.
Dengan sekolah yang digagasnya, penanaman nilai dan makna seperti cageur (sehat), bageur (baik hati), dan pinter (pintar) coba disematkan. Gagasan tersebut tenyata beririsan dengan konsep pendidikan Waldorf yang dikembangkan oleh pemikiran seorang antroposofis, ilmuwan, dan seniman, Rudolf Steiner.
Irisan ini hanya konsep yang terbawa oleh saya ketika melihat konsep pendidikan tersebut sebagai ide yang tidak jauh berbeda. Mari kita bedah irisan ini dengan mendekatkan pada tiap sisi irisannya.

Irisan Dalam Tahap Perkembangan
Dalam filosofi pendidikan Waldorf, tahapan perkembangan konsep pendidikan harus sesuai dengan fitrahnya manusia. Mulai dari 0-7 tahun, dimana aspek fisik manusia mengalami perkembangan terlebih dahulu. Ia harus bergerak ke sana ke mari agar fisiknya menjadi kuat. Perkembangan indera-indera yang paling mendasar tumbuh pula di fase awal ini. Fisik yang sehat, terlindungi dengan baik, mampu mengeksplorasi, mampu menyentuh atau bersentuhan dengan elemen-elemen alam semesta dengan baik.
Pada fase ini, anak sebaiknya tidak dibatasi pergerakannya agar mampu untuk mengukur, memperkirakan hal-hal seperti jarak, keseimbangan, berat, halus, kasar, hangat, panas, dingin, tajam, tumpul, dan lain-lain. Orang dewasa disarankan agar tidak terlalu banyak membatasi ruang gerak anak tapi sangat perlu senantiasa memastikan dan meyakinkan rasa aman buat anak melakukan apapun. Anak berkehendak bebas sehingga ia tumbuh kehendaknya.
Fisik yang sehat sejak kecil ini akan mendukung ia untuk melakukan apapun di masa yang akan datang. Kehendak yang muncul dan tumbuh dari fase ini akan menentukan kehendak di masa yang akan datang. Kehendak bisa tumbuh jika fisiknya sehat. Fisik yang sehat ini kalau dalam pemahaman saya adalah sama dengan “cageur” yang dikembangkan oleh Dewi Sartika.
Cageur dalam bahasa Sunda selalu diawali dari fisik terlebih dahulu. Kalau orang Sunda saling bertanya kabar biasanya “Kumaha euy, cageur?”
Cageur atau sehat secara fisik menjadi awal untuk seorang manusia melakukan kehendaknya.
Tahap selanjutnya adalah 7-14 tahun yang dalam filosofi pendidikan Waldorf anak mulai berkembang ke tahapan rasa. Sehingga keindahan, keharmonisan, dinamika dan seni, harus menjadi pokok utama yang diajarkan guru-guru.
Apresiasi pada hal-hal yang indah seperti bahasa yang indah, seni suara, seni rupa, gerakan atau tarian-tarian indah akan membangun rasa pada anak didik. Inilah kegiatan yang disebut sebagai masa olah rasa.
Penghantaran pelajaran di sekolah Waldorf dilakukan dengan sangat indah. Pekerjaan guru, pekerjaan anak didik akan dibuat seindahmungkin untuk menumbuhkan rasa ini. Imajinasi dan kreatifitas secara perlahan akan diasah dalam diri anak agar mereka kelak mampu mengembangkan pengetahuan, inovasi lewat imajinasi yang tumbuh dalam dirinya.
Rasa yang terbangun dan kemunculan untuk apresiasi yang terus berkembang, secara tidak langsung akan membuat anak menjadi sosok yang baik. Ia bisa mengapresiasi karya orang lain, ia bisa mengapresiasi siapapun dan menghormati dengan baik. Hati yang terus dibangun seperti ini akan menjadikan dirinya sosok yang “bageur”. Ia mampu memaknai hal-hal di luar dirinya sehingga ia tahu jalan yang baik untuk dilakukan selama menjalani kehidupannya.
“Bageur” dalam konsep yang diusung oleh Dewi Sartika, salah satunya adalah baik hati dan mampu melihat dan mengapresiasi hidup orang lain dengan baik.
Orang yang ‘bageur’ biasanya orang yang bisa membawakan diri dengan baik. Baik hatinya baik lakunya. “Bageur” terbangun salah satunya dari rasa yang bisa melihat segala sesuatu dengan indah. Keindahan dalam segala hal sehingga ia tidak punya hati yang tidak benar. Ia menjadi mampu berempati dan bersimpati terhadap yang lain. Menjadi peduli dan menghargai karya hasil sendiri dan juga orang lain.
Orang yang bageur, niscaya akan berbuat baik dan benar. Tidak mungkin orang bageur melakukan kejahatan. Orang terdidik harus menjadi orang bageur dan bener, demikian mengutip pesan-pesan orang tua zaman dahulu.
Selanjutnya di tahap 14-21 tahun. Yang dalam fase perkembangan pendidikan Waldorf masuk di masa mengembangkan pikir. Olah pikir sedang masa-masanya tumbuh di fase ini. Anak-anak mulai tumbuh kritisisme pada hal-hal yang terjadi. Biasanya anak yang asalnya tidak pernah melawan, pada fase ini ada perlawanan-perlawanan kecil yang dilakukan kepada orang dewasa.
Ia sudah melihat banyak sisi perihal kehidupannya. Misalnya ia mulai menghakimi benar dan salah atas pilihannya. Proses ini muncul karena pikiran sudah mulai mampu menimbang hal-hal yang pada mulanya seolah dibiarkan begitu saja mengalir adanya.
Kemampuan pikir yang baik ini di sekolah diarahkan pada hal-hal yang bersifat analisis. Kelak ia akan menggunakan pengalaman sebelumnya untuk mendasari pemikirannya. Berpikir kreatif untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul baik dalam dirinya atau di luar dirinya sangat dibutuhkan.
Berpikir kreatif ini menjadi corak penting yang dikejar sekolah Waldorf di jenjang usia ini. Tentu saja seni tetap dilakukan agar anak seimbang olah pikir dan olah rasanya.
Kemampuan berpikir yang baik ini akan membuat seorang anak menjadi “pinter” yang dalam pesan pendidikan Dewi Sartika disimpan paling akhir setelah “Cageur”, “Bageur” dan “Pinter”. Pintar adalah kemampuan anak dalam mengolah pikirnya dengan baik. Jika dulu di sekolah-sekolah selalu dicap anak pintar adalah anak yang memiliki ranking satu di kelasnya.
Sekarang, bentuk kepintaran atau kecerdasan tidak diukur oleh satu hal saja tetapi oleh banyak faktor. Pintar matematika, pintar bahasa, pintar seni, pintar tari, dan bentuk-bentuk kepintaran lainnya.
Pendidikan Holistik
Pada akhirnya, konsep pendidikan Waldorf bersatu padu tidak terpisah-pisahkan. Tidak bisa dikatakan misalnya pada tahap 0-7 tahapan fisik yang harus berkembang sementara yang lainnya diabaikan. Pada kenyataannya semua beriringan. Pada tahap awal, perasaan dan pikiran atau olah rasa dan olah pikir juga berkembang. Demikian juga pada tahap-tahap selanjutnya. Hanya saja, fokus pada tahap olah fisik, olah rasa, dan olah pikir jika dilakukan pada tahapannya yang tepat maka perkembangan anak akan berjalan sesuai fitrahnya.
Hal yang sangat disayangkan jika orang dewasa, baik itu orang tua atau guru di sekolah memaksakan satu tahapan lebih maju dibandingkan dengan tahapan yang semestinya dilewati oleh anak. Prosesnya jadi seperti buah yang dipaksa matang sebelum waktunya.
Misalnya menjejali anak dengan beban kognitif dari awal masuk sekolah dasar, memasukkan anak pada les-les di luar sekolah sehingga anak letih dan tidak menikmati masa kecilnya.
Demikian juga dengan cageur, bener, pinter, secara konsep selalu beriringan. Tidak ada yang berdiri sendiri karena anak pada akhirnya akan menjadi manusia utuh. Ia harus cageur, bageur, dan pinter secara fisik, perasaan, dan pikiran. Sebagai orang dewasa, tugas kita semua untuk mendidik anak sesuai tahapannya. Mengutip ustadz Hari Santosa, harus mendidik sesuai fitrahnya.