Mencoba memaknai kembali untuk kesekian kali. Agustus 2016, masa lampau mencoba untuk muncul dalam ingatan kolektif bangsa lebih dari 71 tahun silam. Dimensi waktu yang sama namun dengan nuansa yang beda.
Tak ingin kita memaknai kebebasan yang dulu diperjuangkan para pahlawan hanya di saat momen seremonial sedang berlangsung. Jika hanya ritme formalitas yang rutin digelar tiap tahun, sekedar perayaan upacara bendera pun bisa lebih dari cukup. Gamblangnya awet dalam hal ritual namun kering secara moralitas.
Sementara pengawetan ritual secara kuantitas juga tak pernah seiring sejalan dengan peningkatan kualitas, yang idealnya lebih baik. Riak ritme generasi bangsa saat ini, semakin banyak mendapat tantangannya sendiri dari banyak anak kandung Globalism yang sangat membius, untuk kemudian lelap tak sadar. Sementara kecenderungan akan kohesi persatuan bangsa juga terlihat makin mengendor.
Ketika itu hanya menjadi satu ritual yang alakadarnya, maka momentum apalagi yang bisa membangkitkan bangsa ini dari keterpurukannya.
Di hadapan masyarakat global yang kian represif, dengan segala daya upaya yang ada, dengan segala kesengsaraan yang berkepanjangan, kita sangat berhak untuk sejahtera, lahir dan batin.
Tentunya, sebuah pondasi kedaulatan harus utuh kita punya. Muak sebenarnya membayangkan bagaimana bangsa ini telah borok dalam menjaga kedaulatannya sendiri, hukum, sosial, politik, budaya, pendidikan, geografis apalagi ekonomi. Apa yang disebut mengenai kedaulatan ekonomi. ternyata tidak lebih dari utang, barang import, dan Penanam Modal Asing (PMA) yang terlihat sangat longgar proteksinya.
Baiklah, memang siapa bilang hidup itu mudah.
Dan lebih dari setengah abad yang lalu, siapa yang menyangka lingkup kesulitan bangsa saat ini sedemikian luas (walaupun dengan lingkup akses yang juga sedemikian luas dan mudahnya). Bahkan menggerogoti. Hell, Lagipula apa itu hidup jika tak ada masalah-masalah. Jika demikian, apa itu hidup jika tak berdaulat. Terlepas dari kacamata filosofis, merasakan kedaulatan bangsa di segala aspeknya, adalah kebutuhan akut yang harus segera dipenuhi.
Bahkan sampai hari ini. 71 tahun sudah kita menggenapi diri sebagai bangsa dengan segala dinamikanya. Kesadaran tidak turun dari langit, tapi hasil jerih payah kita dalam menyampaikan apa-apa yang sudah mafhum diartikulasikan dengan baik dalam sejarah peradaban besar dunia. Mediasi tersebut nampaknya belum sepenuhnya berhasil, mengingat ranah pendidikan kita masih juga amburadul. Bergelut antara tanggung jawab negara yang belum tuntas dan hak pendidikan rakyatnya yang tak kunjung terpenuhi (pasal 31 UUD 1945).
71 tahun proklamasi bangsa Indonesia bukan momen sekejap, patut kiranya kita syukuri benar-benar proses (mengisi?) kemerdekaan sekarang ini (tentunya kita sama-sama sepakat bahwa tidak semua pencapaian yang kita dapat adalah semata-mata buruk bukan..) karena tanpa itu, sama saja kita tak menghargai proses yang sudah terpilin dalam untaian tali sejarah kita sebagai satu kesatuan historis, geografis sekaligus politis. Bagi generasi muda, moment kebangkitan ini bisa menjadi spirit untuk melawan kegelisahannya sendiri terhadap kejumudan transformasi sosial, politik dan ekonomi Indonesia yang bergerak lamban.
Silahkan saja mendambakan hero yang sebagian besar memang dicitrakan berasal dari generasi muda.
Pendambaan messianistik sah-sah saja, namun bukan berarti pula gampang terlena dan melakukan orgasme prematur terhadap tokoh muda yang ingin tampil, misalkan sebagai calon pemimpin bangsa kedepan. Jika gagal pada akhirnya, kekecewaan akut kembali akibat banyaknya ekspektasi terhadap tampilan luar dan citra semu seorang penyelamat bangsa. Jika bersedia, saat ini kita hanya perlu sangat kritis membaca. Siapa yang menjamin seorang misalkan Arjuna dalam kisah pewayangan tidak akan terjerembab kedalam lumpur politik kita yang ganas? hehehe..
Tulisan ini tidak pula ingin mengatakan kepada para generasi atau elit muda supaya jangan muncul atau berteriak soal regenerasi. Itu perlu bahkan, harus. Tetapi, lebih dari itu, mereka harus bergerak secara otentik baik dari segi gagasan maupun gerakan. Harus ada orkestrasi untuk mensinergikan kekuatan-kekuatan kaum muda di seluruh penjuru secara inklusif. Dibutuhkan kepemimpinan dan pengorganisasian yang jelas dengan agenda yang sistematis melalui aksi-aksi dan karya yang kongkrit. Saatnya pemuda untuk “berproduksi” sambil bicara! Bukan cuma teriak dan merengek. Tabik kebangkitan 4 life !!!
Penulis: Subhan Aisyi Atharizz