Baru jumat lalu saya mendampingi mahasiswa ke salah satu sekolah yang melaksanakan pendidikan inklusif di Surabaya. Memang, semua sekolah baik di Surabaya ataupun daerah lain sepertinya sedang berproses menuju pendidikan yang inklusif. Walaupun sebenarnya, banyak diantara sekolah tersebut justru menjauh dari esensi pendidikan inklusif itu sendiri.
Melaksanakan pendidikan untuk semua, pendidikan yang mengakomodir nilai-nilai inklusi memang bukan proses yang singkat. Namun setidaknya, memulai hal tersebut lebih baik ketimbang sama sekali tidak bukan? Lalu sebenarnya apa itu inklusif dan apa jadinya ketika di padupadankan dengan kata”pendidikan”?
“Pendidikan Inklusif” dan “Inklusif”
Pendidikan Inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994).
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusif adalah sebuah upaya agar anak berkebutuhan khusus dapat belajar bersama dengan teman seusianya tanpa memandang kekhususan – kekhususan yang dimiliki.
Jelas dikatakan bahwa pembelajaran di sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif harus menciptakan suasana belajar tanpa memandang kekhususan atau membuat kekhususan itu menjadi poros yang mentereng di lingkungannya.
Dalam pendidikan inklusif, tidak ada lagi kata anak berkebutuhan khusus dan bukan anak berkebutuhan khusus, karena sejatinya setiap individu berbeda-beda dan memiliki kebutuhan khususnya masing-masing. Guru seharusnya sadar betul akan hal ini, sadar bahwa setiap individu dikelasnya memiliki kebutuhan khusus.
Tidak ada bedanya ketika seorang guru menemukan peserta didik yang tidak mempunyai kaki sehingga ia tidak bisa mengikuti pembelajaran berlari tapi disisi lain ia mahir dalam pembelajaran matematika. Contoh lain misal sang guru di lain waktu menemukan peserta didik yang tidak mampu melukis dengan indah, namun si anak tersebut malah pandai dalam fisika.
Dari ilustrasi contoh gambaran tersebut, yang sehari-hari dapat dengan mudah kita temukan di ruang sekolah, biasanya guru akan langsung melabel Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) pada peserta didik pertama karena tidak memiliki kaki yang baik untuk berlari, namun tidak bagi peserta didik kedua yang lemah dalam bidang fine arts, misal melukis.
Padahal pengertian dasar dari inklusif itu sendiri ialah sikap positif menerima keberagaman dengan kesadaran bahwa setiap individu adalah berbeda dan memandang setiap keberagaman memiliki potensinya masing-masing.
Beberapa pernyataan diatas seharusnya dapat dijadikan dasar renungan bersama agar pendidikan inklusif tidak serta merta hanya jargon belaka tapi—minimal— masuk dalam wacana-wacana paling dasar dalam pendidikan tanah air.
Dengan sendirinya, jika wacana pendidikan inklusi sudah masuk dalam arus utama pendidikan saat ini, maka kita bisa berharap banyak bahwa setiap sekolah dapat melaksanakan pendidikan inklusif dengan pemahaman yang lebih jelas dan dalam.
Pemahaman Bahwa Pendidikan Inklusi Adalah Sebuah Pendekatan
Menurut Badan PBB yang mengurusi bidang pendidikan dan kebudayaan – UNESCO, pendidikan harus dilengkapi dengan dua pendekatan inti yaitu, pertama, sedini mungkin siswa diberikan pendidikan untuk belajar menerima serta mengenal perbedaan. Kedua, siswa terlibat dalam suatu kegiatan bersama berupa aktivitas sosial.
Ini berarti bahwa pendidikan selain bertujuan untuk mengembangkan kemampuan secara akademik dan personal, juga bertujuan untuk mengembangkan kemampuan sosial. Hasil akhirnya adalah anak dapat bersikap, berperan dan berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku. Sehingga dapat diterima oleh masyarakat di tiga lingkungan utama (sekolah, keluarga, masyarakat) dan secara otomatis menjadi bagian dari masyarakat dunia. Inilah yg melandasi adanya pendidikan inklusif di dunia.
Jadi, perlu digaris bawahi bahwa inklusif sebenarnya adalah sebuah Pendekatan. Menurut Depdikbud (1990: 180) pendekatan dapat diartikan, “sebagai proses, perbuatan, atau cara untuk mendekati sesuatu”.
Sedangkan menurut pendapat Wahjoedi (1999 121) pendekatan pembelajaran “adalah cara mengelola kegiatan belajar dan perilaku siswa agar ia dapat aktif melakukan tugas belajar sehingga dapat memperoleh hasil belajar secara optimal”.
Suherman (1993:220) pun mengemukakan pendekatan dalam pembelajaran adalah suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pembelajaran atau materi pembelajaran itu, umum atau khusus.
dari tinjauan teoritis tersebut bisa kita coba generalisasikan bahwa pendekatan dalam kacamata pendidikan adalah juga sebuah proses dimana perbuatan dan cara, diatur untuk mendekati sesuatu dengan tujuan tertentu.
Contoh lawas misal dua pendekatan yang populer di dunia pendidikan, yaitu (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
Sampai sini, arah pertanyaanya kemudian menjadi jelas; apakah ada sebuah sekolah yg menyatakan dirinya sendiri atau melabelkan dirinya sendiri sebagai sekolah “student centered approach” atau “teacher centered approach” ? Rumusan pertanyaan tersebut sebenarnya muncul dari fenomena penyematan kepada sekolah tertentu yang menerapkan pendekatan inklusif dalam prakteknya di kegiatan belajar sekolah memang sudah cukup marak terjadi.
Nah, pointnya sampai disini menjadi jelas bukan? Bahwa — menurut pemahaman saya — pendidikan inklusif tidak harus disematkan pada sekolah-sekolah tertentu. Dia seharusnya sudah autopilot disekolah manapun.
Karenanya mencoba untuk adil dalam berfikir dalam memahami pendidikan yang inklusif sudah barang tentu akan berdampak pada pola penerapan di sekolah. Lagian, rasa-rasanya memang sudah seharusnya tidak perlu ada labeling inklusif tidak inklusif, guru ABK dan bukan guru ABK, siswa berkebutuhan khusus dan bukan berkebutuhan khusus, sekolah inklusif atau bukan sekolah inklusif.
Angga Eryana
Mahasiswa S2 Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Surabaya