“Terlebih dahulu aku minta dibuatkan kopi susu. Begitulah hendaknya setiap hari,”
Moh. Hatta, Untuk Negeriku
Berikan sedikit lebih banyak perhatian pada kutipan kalimat di atas, bukan sekedar kalimat meminta kopi susu setiap pagi, tapi tentang bagaimana tokoh kita Bapak Moh. Hatta memulai harinya. Ia membuka satu hari baru dengan secangkir kopi susu, dan begitu setiap hari, laiknya orang pada umumnya.
Tapi begitu beliau, selepas kopi paginya, ia bergerak bersenjatakan pemikiran dan kelihaiannya dalam bernegosiasi untuk menyetir bangsa ini bersama Sjahrir, Soekarno dan tokoh-tokoh lainnya ke podium kemerdekaan. Sedangkan kita, apa yang kita lakukan selepas kopi pagi kita? Itulah yang membedakan tingkat keproduktivitasan harian kita dengan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan dahulu.
Garis dasarnya adalah bukan bagaimana cara kita memulai, tapi cara kita produktif seoptimal mungkin setiap harinya. Kopi pagi yang mungkin tidak kita lewati sebagaimana pahlawan-pahlawan yang terdahulu, tapi apa kontribusi kita di sisa hari? Boleh jadi kita memulai hari dengan cara yang sama, tetapi nyatanya keseharian kita jauh berbeda dari mereka.
Kita akan merapat pada satu pertanyaan yang merantai pada sebuah cara. Bagaimana? Bagaimana kita bisa menjadikan hari kita seproduktif tokoh-tokoh masyarakat di era perjuangan kemerdekaan? Memulai sesuatu yang baru mungkin terasa sulit di awal, tapi ada satu hal lain yang lebih sulit lagi untuk kita lakukan yaitu meninggalkan kebiasaan lama.
Karena itu, yang diperlukan hanyalah satu langkah pertama yang kemudian akan menggiring kita ke langkah-langkah berikutnya. Sehingga secara perlahan tapi pasti, kita turut mengambil peran dalam kemajuan negeri ini.
Di manapun itu, aksi kepedulian selalu berangkat dari sebuah kesadaran. Karena itu, hal pertama yang perlu dibangun dalam jiwa-jiwa generasi muda yang hidup di dunia serba-cepat ini adalah sebuah kesadaran.
Sebuah rasa kepedulian yang kelak akan memotivasi kita untuk mengambil alih kemudi negara ini dan menuntunnya menuju kemajuan dan kesejahteraan.
Pertama, kita mundur beberapa ratus petak kembali ke tempat, waktu dan suasana perjuangan kemerdekaan Indonesia. Saat jalan-jalan dipenuhi oleh kuli paksa pribumi berbadan kurus dengan rangka belulang yang menonjol.
Saat orang-orang kumpeni berkulit putih pucat, berbadan tegap, berbalut pakaian dinas gagah mengawasi mereka yang ditindas dengan tangan tersilang di punggung.
Berjalan congkak seraya dagu terangkat pongah. Saat perempuan dan anak-anak dicekam rasa takut. Saat yang kaya berusaha berkawan dengan penjajah dan yang miskin berusaha melawan berdarah-darah.
Saat pendidikan hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki ikatan darah kebangsawanan. Saat perang bisa membara kapan saja dan gerilyawan menyatukan diri dengan belantara selama berbulan-bulan, bahkan tahun.
Kedua, coba pahami semangat mereka yang kini belum tampak pada jiwa para penerus bangsa ini. Rasakan amarah mereka yang menggelegak ketika kumpeni membumihanguskan rumah mereka.
Apa yang membuat mereka sedemikian berani menantang maut, bertatap muka dengan moncong senjata Belanda? Siapa yang dulu berani janji bahwa darah, keringat dan air mata mereka akan membawakan kemerdekaan bagi bangsa ini?
Tapi buktinya, tanpa janji menang pun, mereka tetap mengangkat senjata curian dan bambu runcing mereka. Menghadang meriam baja dan tank militer milik kumpeni. Adu cerdik dengan otak-otak licik penjajah. Bahkan dengan bertaruh nyawa, mereka tetap meradang dalam nasionalisme.
Ketiga, masih nyatakah semua itu di otak anak muda hari ini? Mungkin kita tidak ada di sana untuk menyaksikan itu semua. Mungkin kita hanya mendengarnya dari guru sejarah di sekolah atau membacanya dari buku-buku sejarah, tapi semestinya itu tidak menutup kita dari mengapresiasi mereka.
Bukan sekadar melayangkan do’a ketika sesi mengheningkan cipta setiap Upacara Senin, tapi dengan cara menghidupkan mimpi-mimpi lama para pejuang. Hutang kita pada bangsa, adalah melunaskan cita-cita para pejuang. Tapi, ke mana perginya semangat juang itu?
Ada banyak faktor yang dapat menjadi penyebab lunturnya semangat nasionalisme generasi muda Indonesia, salah satunya adalah masuknya budaya asing yang sedikit banyak menambatkan pengaruhnya kepada anak-anak muda. Karena terlalu sibuk meniru gaya hidup orang-orang barat, kita jadi lupa akan tugas utama kita yaitu, mengisi kemerdekaan yang telah dimenangkan.
Meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara di kalangan anak muda sangatlah penting, karena bagaimanapun juga, kitalah yang kelak masinis dari lokomotif kenegaraan. Di era globalisasi ini, informasi semakin mudah untuk disebarkan dan semakin mudah pula untuk didapatkan.
Siapapun bisa mengutarakan pendapat bebas. Siapapun dapat mengakses informasi, membaca opini orang lain sehingga khalayak luas. Karena itu, sangatlah mudah bagi kita untuk memulai bara api kecil yang sukar sekali padam. Semangat yang bermula dari hal kecil, hingga kemudian bida berdampak besar.
Kita sudah tidak perlu berlayar berminggu-minggu demi menyebarkan berita persatuan seperti yang dilakukan oleh golongan pemuda di masa Sumpah Pemuda. Kita tidak perlu keluar masuk penjara atau pindah-pindah tempat pengasingan hanya karena menyampaikan pendapat yang kritikal terhadap pemerintah yang berkuasa, tidak seperti wartawan dan orator yang memperjuangkan kemerdekaan melalui tinta dan kata, lisan dan tulisan.
Bukankah itu sudah merupakan satu fasilitas? Satu kelebihan yang kita miliki yang semestinya bisa digunakan untuk lebih memperluas lagi semangat kebangkitan di kalangan anak muda dewasa ini.
Kebebasan. Kebebasan adalah satu hal yang tidak mereka miliki seabad yang lalu. Mereka merebutnya di suatu pagi hari Jumat, denagn semangat yang menjadi-jadi dan gelombang antisipasi yang menggelora.
Secara serempak semua media tertuju pada Jl. Pengangsaan Timur, tempat di mana teks proklamasi dibacakan untuk yang pertama kalinya. Naskah ketikan Sayuti Melik yang telah digodok matang-matang oleh pemikir-pemikir paling ulung milik negeri ini.
Hingga detik ini pun, negeri ini masih punya banyak pemikir ulung, hanya saja belum tergerak untuk mulai mencatat ulang suatu kemerdekaan yang telah menjadi milik kita sepenuhnya, tapi masih gagal untuk kita rengkuh seutuhnya.
Bakat juang tidak akan sepenuhnya hilang, mungkin sedikit tertimbun. Hanya butuh pendekatan yang tepat untuk menarik kembali semangat ’45 ke permukaan jiwa-jiwa muda yang menggelegak.
Kita bisa saja bangun pagi dan mulai merintis kembali kemerdekaan kedua Indonnesia, atau kita juga bisa saja bangun pagi dan kembali merunuti keseharian monoton kita. Pilihan semuanya berada di bawah kendali kita, sekali lagi kita berpapasan dengan kata kebebasan.
Jadi, apa yang kita lakukan selepas kopi pagi kita?
*Penulis adalah siswi dari Garuda Cendekia