Jika disuruh memilih dua kader terbaik Muhammadiyah, Pak Anies atau Pak Muhadjir, saya akan memilih yang pertama.
Dengan demikian Pak Muhadjir jelek? Tidak. Keduanya saya yakin memiliki visi sama terkait revolusi mentalnya Jokowi. Hanya saja madzhabnya agak berbeda. Contohnya, Pak Anies mengambil sikap zero tolerance penggunaan kekerasan dalam dunia pendidikan. Sedangkan Pak Muhadjir lebih nyentrik, let’s just say an old-fashioned way.
Pak Muhadjir mengingatkan saya waktu masih bocah. Saat ngaji, pembimbing saya kerap memegang penggaris kayu panjang. Tentu dia tidak sedang mengajar geometri pada saat yang sama. Ia saya kira tengah memutar switch saklar. Kasih sayang yang awalnya bernuansa lembut mendadak bertiwikrama secara intimidatif.
Nggak usah nanya apakah saya pernah kena sabet penggaris itu. Jangan pula tanya betapa gugupnya saya mengaji. Fokus saya terpecah, antara bait al-quran dan ancaman penggaris.
Di surau lain, tempat kawan saya mengaji, tiwikramanya malah unik. Anda tahu rhema*ushon? Itu lho krim putih yang gunanya untuk mengurut saat kaki terkilir, yang panasnya minta ampun. Pembimbing mewanti-wanti para murid agar benar makhrajul hurufnya, tajwidnya harus tertib. Jika tidak, krim putih pedas itu akan dioleskan ke bibirnya.
Saya dan kawan saya, tidak pernah tanya kenapa harus dengan penggaris atau krim ‘nikmat’ itu? kami tidak punya cukup keberanian untuk bertanya. Kami, terlalu penakut untuk protes. Justru, kami menganggap praktek tersebut sebagai rasa cinta pembimbing pada muridnya. Kalau kami mengadu ke ortu, biasanya mereka memaklumi tindakan pembimbing. “Makanya belajar ngaji yang benar, Le,” begitu mereka pernah bilang.
Sejujurnya, kami tidak suka dengan bagaimana kami diperlakukan, but was there any other options we had? Tidak ada. Kami selalu merasa opsi yang tersedia hanya ‘take it or leave it’. Mogok ngaji? wah urusannya tambah runyam.
Sampai sekarang praktek kekerasan atas nama pendidikan yang saya alami kala bocah menebalkan keyakinan saya bahwa kekerasan itu tidak enak, bahkan atas nama kasih sayang sekalipun. Kasih sayang yang bersandar pada ancaman represifitas sesungguhnya adalah ketakutan, bukan penghormatan.
Dalam 10 tahun terakhir ini, saya sering menjadi guru temporer di berbagai forum pelatihan maupun workshop, sebutan umumnya; fasilitator. Saya tidak pernah sekalipun membawa penggaris, apalagi krim neraka setiap kali memimpin forum, apalagi sembari ngomong “Yang tidak menghormati forum akan saya olesi krim ini!” hahahaa Saya antikekerasan.
Namun demikian tidak berarti forum menjadi kacau balau, atau fasilitator kehilangan respeknya. Kekerasan dalam pendidikan adalah cara kuno yang mencurigai setiap orang tidak akan berubah jika tidak dikerasi. Dulu, cara ini kerap diterapkan oleh tuan terhadap budaknya. Budak dianggap bukan sepenuhnya manusia tapi separuh hewan yang oleh karenanya wajib diperlakukan sebagaimana layaknya binatang.
Tidak, saya tidak pernah dan tidak akan menganggap siapapun sebagai binatang. Saya percaya ada banyak cara yang bisa dilakukan selain kekerasan dalam pendidikan. Ini bukan teori, karena saya mempraktekkannya.
Dengan reasoning demikianlah saya lebih suka Pak Anies dalam hal ini. Bagi yang lebih cocok dengan Muhadjir’s way, silahkan saja. Namun anda harup siap dengan konsekuensinya.
Aan Anshory
Kordinator jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur, dan penggerak Gusdurian.