Bagaimana pemuda Belanda dan Indonesia memandang sejarah revolusi fisik 1945-1949 yang dipandang oleh Indonesia sebagai dekolonisasi dan oleh Belanda dipandang sebagai restorasi kolonial?
Terjawab dalam diskusi yang diselenggarakan oleh komunitas Historika bekerjasama dengan History Bersama dan Kemendikbud.
Diskusi diawali dengan pemutaran film dokumenter Hoe Nederland met Zijn Geschiendenis Omgaat ( bagaimana Belanda berdamai dengan sejarahnya) kemudian dilanjutkan dengan diskusi bersama narasumber Hendi Jo (Jurnalis Majalah Historia), Marjoleen Van Pagee (peneliti Leiden) serta moderator Sutono Rendra Lystano (komunitas Historika).
Singkatnya film ini mengungkapkan tentang bagaimana Belanda menarasikan sejarah restorasi kolonialnya di Indonesia lalu membandingkanya dengan pendudukan Nazi Jerman di Belanda serta peristiwa May Lai, Vietnam (pembantaian penduduk Vietnam oleh Tentara Amerika)
Dilengkapi juga dengan kesaksian lisan dari pelaku peristiwa aksi polisionil/agresi, wartawan perang dan sejarawan Belanda yang meneliti peristiwa revolusi fisik di Indonesia tahun 1945-1949.
Terungkap bahwa perang tidak melulu tentang si jahat versus si baik. Namun ada cerita tentara yang mengalami rasa bersalah seumur hidupnya karena menyiksa tawanan, ada kisah tentara yang disertir dari pasukanya dan membelot ke pihak lawan, dan tentunya ada cerita bagaimana masyarakat yang tersadarkan bahwa negaranya tidak jujur dalam menuliskan masa lalunya.
Diskusi ini melihat kemungkinan adanya jembatan yang dapat dibangun oleh keduabelah pihak yang dahulunya bertikai untuk melihat perang di masa lalu sebagai kisah pahit bersama yang harus dijadikan pembelajaran, agar tak terulang di masa kini dan masa depan.
Saya rasa Penulisan buku pelajaran sejarah di Indonesia dan Belanda harus menuliskan dua sisi peristiwa, tidak mentok pada sudut pandang penulisan Indonesia sentris dan Belanda sentris .
Guru – guru sejarah perlu memperluas pandanganya, merangsang daya analisis siswanya melalui sumber yang beragam serta mengadakan diskusi dalam bangun pikir kesejarahan.
Dalam menarasikan sejarah perang kita harus pula meninggalkan penceritaan ala sinetron yang memandang peristiwa peperangan sebagai lakon yang serba hitam putih.
Kita harus melihatnya jauh lebih luas dari sudut pandang politik, sosial, ekonomi dan budaya.
Penulis: Mega Trianasari Soendoro