Telah usainya Rangkaian Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) tahun pembelajaran 2019-2020 membawa para peserta didik memasuki proses pembelajaran di ruang-ruang pembelajaran. Anak-anak sekolah itu diterima di sekolahnya, setelah sebelumnya mereka bersama orang tuanya harus mendaftar dalam suatu proses yang disebut Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Bagi yang memilih sekolah negeri, mereka harus menerima kebijakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait zonasi. Pro-kontra pun menjalar ke berbagai lini obrolan dunia nyata maupun dunia maya.
Seperti “Tiba-tiba” Zonasi
Bagi seorang pendidik, terutama yang bekerja di sekolah-sekolah negeri di luar Ibukota Jakarta, seperti penulis, kebijakan “zonasi” bagi kami pun merasa sebagai sesuatu yang relatif baru. Secara sederhana kami mencernanya sebagai suatu kebijakan yang, “memilih sekolah berdasarkan jarak yang dekat dengan rumah”. Hanya saja, persoalannya tidak sesederhana tujuan pemerintah dalam Permendikbud No.18 Tahun 2018 Tentang PPDB , yaitu untuk “mendorong peningkatan akses layanan pendidikan.”
Kemendikbud melakukan perubahan atau penyempurnaan terhadap Permendikbud No. 18 Tahun 2018 dengan mengeluarkan Permendikbud No. 20 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Permendikbud No. 51 Tahun 2018 Tentang PPDB, yang memberi penekanan pada dalam melaksanakan PPDB melalui jalur zonasi dengan kuota paling sedikit 80% dengan syarat berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling singkat 1 (satu) tahun sebelum pelaksanaan PPDB. Kemendikbud sudah memprediksi beberapa persoalan di lapangan, namun beberapa persoalan mendasar tetap menyeruak, membuat banyak orang tua maupun masyarakat pada umum berpikir bahwa sistem zonasi ini terkesan sesuatu yang ‘tiba-tiba’.
Masalah pertama, kurangnya sosialisasi sistem zonasi. Pengetahuan masyarakat umum tentang zonasi pada umumnya berasal dari berita media massa dan panitia di sekolah tempat mendaftar. Apabila di sekolah tempat mendaftar tidak tersedia petugas informasi yang memadai biasanya akan terjadi hiruk-pikuk. Informasi yang perlu disampaikan terutaa terkait dengan tujuan, juota, dan sanksi bagi pelanggaran aturan zonasi. Penyampaian informasi perlu untuk menghindari siswa/I ‘titipan’ di sekolah-sekolah yang sebelumnya dianggap favorit, juga untuk pendataan para pendaftar. Sosialisasi juga perlu dilakukan di sekolah asal, dalam hal ini Sekolah Dasar (SD) maupun Sekolah Menengah Pertama (SMP) asal. Masalah kedua adalah, pihak-pihak yang diundang dalam kegiatan sosialisasi aturan zonasi. Dimana informasi aturan zonasi perlu diketahui terutama oleh orang tua, namun pihak-pihak terkait, seperti komite sekolah, guru, serta tokoh masyarakat. Bentuk kegiatan sosialisasi pun tidak hanya sebatas surat edaran tapi lebih lanjut berupa pertemuan tatap muka.
Masalah ketiga, jumlah sekolah negeri pada jenjang SMP, SMA, dan SMK ternyata dalam cakupan kabupaten/kota maupun provinsi jumlahnya belum memadai. Kita melihat kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya tidak terlalu sulit memenuhi kebutuhan infrastruktur kelas dan sekolah karena persebarannya sudah lebih merata, namun di wilayah-wilayah lain di seluruh provinsi di Indonesia pasti terjadi permasalahan terkait pemerataan jumlah dan ketersediaan sekolah di tiap-tiap kecamatan. Permasalahan keempat, pada kualitas dan kompetensi guru juga belum ada pemerataan. Dimana guru-guru yang lebih kompeten biasanya berkumpul di sekolah-sekolah yang ada di pusat kota. Pada masalah keempat ini perlu dibangun suatu program peningkatan kompetensi guru di sekolah-sekolah denga kualitas yang dianggap ‘belum unggul’.
Produk Zonasi
Masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami secara langsung sistem zonasi melalui anak-anak mereka yang sedang mengenyam pendidikan di sekolah. Lembaga pendidikan (baca: sekolah) perlu meyakinkan masyarakat bahwa peserta didik hasil sistem zonasi ini terjamin untuk dididik sampai mneguasai empat kompetensi, yaitu spiritual, sikap, pengetahuan, dan ketrampilan sebagai mana amanat Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional..
Karena sebagaimana yang tertera dalam Permendikbud No.51 Tahun 2018, cakupan sistem zonasi ini akan diterapkan juga pada aspek guru, yaitu dengan pemenuhan kebutuhan guru, pemerataan distribusi guru, dan peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru. Lalu sistem zonasi juga akan diterapkan pada aspek sarana prasarana, yaitu dengan pemenuhan berbagai fasilitas sekolah dan prioritas pemberian bantuan bagi sekolah-sekolah yang masih memiliki kualitas “belum unggul”. Dan sistem zonasi akan diterapkan pada aspek anggaran, yaitu dengan pemberian beasiswa bagi peserta didik, serta prioritas pemberian bantuan bagi sekolah-sekolah dengan jumlah peserta didik yang paling banyak kurang mampu atau kurang berdaya.
Pada akhirnya, melalui sistem zonasi akan ada dampak pada upaya pemerataan akses pendidikan. Sehingga apabila penulis beranggapan faktor paling krusial dalam pembelajaran terdiri dari 1) peserta didik, dalam arti motivasi belajar peserta didik; 2) guru, dalam arti kompetensi yang dimiliki guru; dan 3) sarana prasarana, dalam arti fasilitas utama dan penunjang pembelajaran. Maka melalui sistem zonasi, unsur-unsur pendidik dan tenaga pendidik di sekolah akan mengalami ‘kocok ulang’ yang mengubah zona nyaman guru terhadap input peserta didik yang masuk. Di situlah tantangan pendidikan berada.
Ahmad Muttaqin, M.Pd
Guru SMAN 3 Cilegon