Keresahan harus dituntaskan. Seorang dosen yang cemas melihat pendidikan yang belum merata di penjuru Nusantara. Backpacker Teaching kemudian dibuat dan menjelma menjadi gerakan sosial pendidikan.
Dosen tersebut bernama Dr. Dirgantara Wicaksono. Usianya masih tergolong muda untuk seorang akademisi doktoral. Selain sebagai pengamat pendidikan yang wara-wiri diskusi pendidikan, ia pun punya program mendidik yang diasuh dan menjalar hingga sekarang: Backpacker Teaching.
Diawali dari keresahan, tutur Dirgantara. Kondisi pendidikan di Indonesia, baik sarana, bahan ajar, metodologi pengajaran hingga sumber daya pengajar masih jauh dari kata cukup. Di pulau Jawa yang dianggap pulau paling maju pendidikan pun masih ada anak yang masih belajar beratapkan langit. Tak berlama-lama, sang dosen pun urun mengajak mahasiswanya untuk berkontribusi memperbaiki negeri.
Medio 2016, Backpacker Teaching dibentuk. Ada 15 orang mahasiswa jadi sukarelawan waktu itu. Ketuanya Arief Tirtana (2016-2018) dan Wahyu Wanovian Hidayat (2018-kini). Satu-satunya pendanaan adalah iuran sesama anggota. Maklum, ini organisasi nirlaba. Tak ada topangan dana, meski tak menampik jika ada donator yang mau turut serta.
Kini, awal 2019 anggota sudah mencapai 900-an lebih. Tersebar di 15 propinsi se-Indonesia, dari ujung barat Aceh hingga ujung timur Makassar. Memang masih ada daerah yang belum digapai, tapi menjadi pelecut semangat untuk membantu mencerdaskan anak Indonesia.
Dirgantara menyatakan bangga dengan kontribusi anggotanya yang sebagian besar mahasiswa. Berbagai program dari skala kabupaten, region hingga nasional berjalan tanpa hambatan berarti. Baru-baru ini Backpacker Teaching telah menyelesaikan Proyek Nasional Ke-6 di SDN 02 Ngadas, Jarak Ijo, Malang. Proyek-proyek sebelumnya antara lain diselenggarakan di Bogor, Jogjakarta, Banten, Tegal dan perbatasan Entikong.
Tak hanya soal pengajaran, Backpacker Teaching pun berkecimpung dalam kegiatan sosial lain semisal pemulihan trauma bagi para penyintas pasca gempa Banten dan Lampung. Terkhusus anak-anak penyintas, diberikan pula peralatan sekolah hasil donasi dan pengajaran agar tidak ketinggalan pelajaran sekolah.

Kegiatan rutin pengajaran pula mereka lakukan di tiap wilayah. Ambil contoh di Jakarta. Backpacker Teaching mengajar anak-anak jalanan dan yang tak sekolah di RPTRA Lebak Bulus setiap minggu. Juga kegiatan Taman Baca di daerah Ciputat. Saat Ramadan tiba, organisasi ini melakukan kegiatan pesantren Ramadan di daerah Petamburan dan Pondok Ranji.
Dirgantara berharap program Backpacker Teaching terus lanjut sampai masalah buta huruf dan putus sekolah benar-benar tuntas. Sebagai warga negara sebaiknya tak hanya berpangku tangan pada pemerintah. “Jika bisa berkontribusi, lakukanlah”, ucap lulusan Sejarah UNJ ini.
Tugas pendidikan adalah investasi masa depan. Jangan sampai ada anak-anak Indonesia yang putus sekolah dan mengalami ketimpangan jurang pengetahuan dengan anak-anak bangsa lain.
Disarikan dari saluransatu.com dan berbagai sumber.